Antara Ayah dan Anak

45 7 1
                                    

Malam di hari Jumat kedua di bulan Oktober menjelang. Genemerlap lampu-lampu kendaraan yang memenuhi jalanan Jakarta terlihat jelas dari kamar hotel yang Jana dan ayahnya tempati sekarang. Anak itu duduk di atas kasur dan menghadap ke jendela.

"Ternyata dari atas bagus juga ya."

"Tapi kamu ga suka kalau ada di tengah-tengah sana?" balas Rahandika yang juga ikut-ikutan melihat ke arah luar membalas.

"Engga." Anak itu menggelengkan kepala.

"Kalau gitu kamu ga usah ikut jalan-jalan ke mal. Macet tuh." 

"Mau," Jana merengut sembari turun dari tempat tidur. Rahandika tertawa melihat anaknya bereaksi atas pernyataannya tadi. Dua bulan sabit tercetak di wajahnya.

"Besok kalau menang, kamu mau apa dari Papi?" pria itu mengalihkan pembicaraan agar anaknya tidak terlalu kesal karena sudah ia kerjai, "Ke Taman Mini?"

"Udah sering, Pih," Jana terdiam dan berpikir sebentar sebelum akhirnya membuat keputusan, "Pih, Pih, ke rumah Kakek aja!"

"Apa?" Rahandika membelalakkan mata.

"Jana lebih sering lihat Monas dari pada rumahnya Kakek abis pindah dulu. Besok juga pas ulang tahunnya Kakek 'kan? Nenek pasti masak banyak dan enak-enak. Jana mau makan nasi uduknya Nenek, Pih ...," Jana kembali menekuk bibirnya dan memperlihatkan matanya yang memohon pada sang ayah. Biasanya Rahandika tidak bisa menolak kalau anaknya itu sudah memanggil dirinya menggunakan nama dan memohon dengan wajah menggemaskan. Tetapi kali ini permintaannya benar-benar di luar dugaan.

Ke rumah keluarganya? Oh, itu neraka Jakarta untuknya!

"Ga ada permintaan lain, nih?" Jika boleh jujur, Rahandika lebih baik diminta mentraktir Jana, teman-temannya dan juga orang tua serta wali mereka steak wagyu daripada harus menginjakkan kaki dan kembali menatap wajah ayahnya.

Tok! Tok! Tok!

"Pak Rahandika sama Jana udah siap?" suara Eka memanggil namanya.

"Sudah, Pak!" Rahandika menjawab. Lalu ia segera memindahkan pandangan kepada anaknya, "Ayo Jana." Rombongan 4 anak dengan orang tua dan walinya masing-masing masuk ke mobil yang telah mereka sewa. Supir keluarga Danendra yang sekaligus menjadi wali Yodha itu membukakan jok belakang yang segera diisi oleh Rahandika, Jana dan juga Yodha. Bagian kedua diisi oleh Hera, ibu Sentana yang bernama Yuna, Sentana dan juga Jinora duduk di tengah. Eka duduk di samping kursi pengemudi.

Sepanjang perjalanan, semuanya sibuk dengan percakapan masing-masing. Rahandika menyimak apa yang dibicarakan oleh Yodha dan anaknya. Akan tetapi itu bukan hal yang ia mengerti, mereka berdua membicarakan Sadewa dan juga obsesinya dengan dunia Marvel. Dia kemudian mengarahkan pandangan jauh di kursi depan. Eka tampaknya sangat akrab dengan supir sekaligus wali dari Yodha, Waluyo.

Ah, ayah dan anak seharusnya begitu, bukan?

Ia baru tahu hari ini kalau ayah Eka kerja langsung di bawah keluarga Dandendra selama bertahun-tahun sebagai supir dan penjaga anak-anak mereka. Meski sudah lama tidak bertemu percakapan mereka hangat.

Bisakah ini terjadi besok, apabila dia sungguh akan kembali ke rumah keluarganya?

Sementara itu di kota Rejokerto yang berjarak cukup jauh dari Jakarta, Giyanta sudah bersiap untuk tidur lebih awal. Saat ia selesai berdoa dan hendak mematikan lampu, tiba-tiba saja Marendra membuka pintu kamarnya.

"Aku jadi boleh tidur sama Papa 'kan?" anak itu menyembulkan kepalanya.

"Boleh, sini," pria itu menepuk bagian kosong kasurnya dan membiarkan Marendra menempatinya. Ia beranjak dan mengambil boneka bola merah muda kecil yang ada di meja dan hendak mengembalikannya pada anak termudanya, "Ini Papa balikin Kirby-nya."

The CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang