Situasi sekarang benar-benar gawat bagi Rahandika.
"Papi 'kan udah janji sama Jana kemarin. Jadi, janji harus ditepati," anaknya merajuk, "Kemarin pertanyaan Papi 'kalau menang' bukan 'kalau juara 1'." Jana memang tidak salah, ia yang salah karena sudah menjanjikan anaknya sesuatu akan tetapi tidak sanggup mengabulkannya. Grup dance mereka memenangkan juara 3 di babak final, fakta ini sudah cukup membuat Jana berhak menagih janji ayahnya.
Rahandika menarik napas pelan dan kemudian menghembuskannya. Ia harus tenang sebelum menjawab anaknya, "Jana beneran sekangen itu sama masakannya Nenek?" Anaknya mengangguk semangat. Itu membuat Rahandika makin bimbang.
"Saya antar saja, Pak?" Waluyo mendekati Rahandika dan menawarkan bantuan.
"Ah, bagaimana yang lain nanti? Sepertinya saya diantarkan pinjam mobil saja," balas pria itu setelah berpikir cepat. Selain ia tidak ingin merepotkan Waluyo, Rahandika juga tidak ingin mengambil resiko ada orang yang tahu tentang keluarga besarnya.
"Nanti akan saya antarkan. Yodha ga apa di sini sebentar sama yang lain?"
"Tentu saja! Semoga perjalananmu ke rumah kakek nenekmu menyenangkan, Jana," Yodha segera melepas Jana setelah meyakinkan Waluyo kalau ia baik-baik saja bersama Sentana, Jinora dan orang tua mereka.
"Iya. Nanti aku ceritakan semuanya. Dah semua," Jana pun berpamitan pada teman-temannya yang lain sebelum benar-benar pergi bersama ayahnya dan juga Waluyo untuk meminjam mobil. Setelah selesai dengan urusan peminjaman mobil, Rahandika dan Jana langsung bergerak lagi. Dengan berat hati, pria itu mengantarkan anaknya menemui kakek dan neneknya.
"Papi udah nyiapin hadiah belum?"
"Hadiah?" Rahandika mengernyit.
"Iya. Papi lupa, ya? Ini 'kan hari ulang tahun Kakek!" Jana menautkan alisnya.
"Oh. Iya. Papi ga lupa," ia menjawab dengan datar. Rahandika bukannya lupa untuk membawa hadiah, ia memang tidak berniat membawa satupun. Lagipula untuk apa? Ayahnya itu cukup kaya untuk menghadiahi dirinya sendiri dengan pulau pribadi. Selain itu, dia juga tidak pantas mendapat hadiah darinya.
"Terus? Hadiahnya apa? Kok aku ga lihat, Pi?" Jana celingukan, mencari suatu barang yang mungkin dibungkus dengan kertas warna-warni atau ada di dalam tas kertas. Rahandika tidak menjawab dan kembali fokus pada jalanan, membiarkan anaknya masih bertanya-tanya.
Kehadiran mereka adalah hadiah? Tentunya bukan. Ayahnya tidak suka hal-hal klise seperti itu. Kalaupun dia mengatakan itu, pastilah hanya sekadar demi menyelamatkan muka. Sama seperti ketika ayahnya tiba-tiba menyumbang alat musik baru untuk band SMA-nya dulu. Pria itu ingin membungkam mereka dan tentunya menyelamatkan muka.
"Permisi, selamat sore. Ada kartu identitas diri?" kedatangannya di sambut oleh seorang satpam yang berjaga di gerbang.
"Ada. Ini," Rahandika langsung menyerahkan KTP-nya.
"Oh? Ini saya kembalikan. Segera masuk saja, Tuan Rahandika," satpam itu langsung mengembalikan KTP Rahandika dan memberi hormat dengan menundukkan kepalanya.
"Terima kasih," begitu gerbang dibuka, pria berambut merah itu segera mengendarai mobilnya untuk masuk ke dalam gerbang. Di dalam sana hanya ada satu rumah besar tempat keluarga Gunadhya tinggal. Ia juga sempat tinggal di sini beberapa tahun lalu setelah istrinya tiada. Akan tetapi tidak butuh waktu lama bagi Rahandika untuk segera pergi lagi.
Ia tidak tahan berada di sangkar emas ini. Namun, sekarang ia harus tahan untuk beberapa jam kedepan demi prioritasnya, anaknya.
"Nah udah sampai," Rahandika melepas sabuk pengaman yang tadi menahan anaknya dan membiarkannya turun dari mobil. Pria berambut merah itu menghela napas sekali lagi sebelum menggandeng anaknya dan berjalan menuju pintu rumah besar itu.

YOU ARE READING
The Cure
General FictionGiyanta dihadapkan dengan masa lalunya yang belum selesai. Ia pikir luka bisa sembuh seiring waktu berjalan. Sayangnya, ia juga lupa kalau luka dalam meninggalkan bekas yang jelas. Prioritasnya adalah anak-anaknya, meski itu artinya Giyanta terus lu...