dua puluh dua

27.8K 2.6K 89
                                    

"GUE GAK GILA, REGAN!"

Hanna berteriak murka setelah mendengar kalimat halus Regan mengenai ia yang lebih baik menemui psikiater.

"Lo kira gue gila?" Hanna menatap berang Regan yang menatapnya serba salah.

"Enggak, Sayang. Gak gitu. Kam-"

"Kalo emang enggak, terus ngapain nyuruh gue ketemu psikiater?" Hanna semakin menatap tajam Regan yang kalimatnya harus terpotong akibat ucapannya.

"Hanna, dengerin dulu penjelasan aku," Regan memegang lengan Hanna, berusaha menenangkan gadis itu.

"LEPAS!" Hanna menepis tangan Regan, ia memilih menidurkan kembali tubuhnya dan segera menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Ia tidak ingin diganggu.

Hanna merasa kesal sebab baru beberapa saat ia bangun, ia dipaksa untuk makan. Tak berselang lama, cowok itu malah menyuruhnya untuk pergi menemui psikiater.

Ia tidak gila.

Ia hanya ingin kembali ke dunianya. Kembali ke tubuh Kayla dan bertemu orang tua serta kakaknya.

"Hanna, aku nyaranin kamu ketemu psikiater bukan karena nganggep kamu gila, enggak. Aku takutnya kamu ada masalah yang gak berani atau gak pengen kamu ceritain baik ke aku atau Bunda. Seenggaknya, dengan kamu ketemu psikiater kamu bisa cerita masalah kamu tanpa ngerasa khawatir. Aku takut kamu stres karena banyak pikiran, Han," Regan menatap sosok berbalut selimut itu sendu.

"Aku gak sanggup kalo harus lihat kamu berusaha nyakitin diri sendiri apalagi liat kamu mau ngehilangin nyawa kamu sendiri, Han," Hanna di balik selimut itu sedikit goyah mendengar perkataan Regan yang terdengar putus asa.

Cowok yang senantiasa menatap selimut yang bergerak halus pertanda bahwa di dalamnya ada sosok manusia itu menghela nafas.

"Emangnya kamu mau mendem semua masalah kamu sendirian terus?" Regan masih berusaha terus membujuk.

"Kalau enggak, kamu cerita aja ke aku atau Bunda. Gak usah ke psikiater. Gimana?"

Hanna menghela nafas, sedari tadi ia menimbang apakah memang perlu ia bertemu dengan psikiater?

Ia memang ingin bebas menceritakan hal yang ia alami pada seseorang. Tentunya Regan adalah list terakhir yang menjadi pilihannya mengingat cowok itu adalah karakter yang berbahaya untuk Hanna asli.

Meski cowok itu tampak baik padanya, ia tidak tahu di dalamnya bagaimana.

Tapi, ia takut jika psikiater yang ia temui bukannya mempercayainya malah menganggap ia gila.

Karena ia tahu, apa yang ia alami adalah satu hal mustahil yang sulit diterima nalar manusia.

Dengan perlahan, Hanna mendorong selimutnya hingga menampakkan bagian atas tubuhnya. Ia melirik ke arah Regan dengan waspada.

"Iya, aku mau," gumamnya pelan.

Regan yang tidak cukup jelas mendengar gumaman itu mengerutkan keningnya penasara.

"Kenapa?"

"Iya, aku mau ketemu psikiater," lirihan yang lebih jelas terdengar, mengundang senyuman lega di bibir Regan.

••••

"Hanna?"

Gadis yang baru saja masuk ke dalam ruang psikiater anak dan remaja itu tersenyum menanggapi kala namanya disebut.

Melihat itu, sosok dokter berumur 26 tahun–Hanif mempersilahkan duduk.

"Iya, Dok," gadis itu menjawab setelah duduk di kursi konsultasi.

HannaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt