Empat Belas

3.7K 919 48
                                    

TENTU saja Yashica bisa merasakan upaya Sakti mendekatinya. Dalam kondisi normal, Yashica mungkin akan mencurigainya. Tapi dia sedang dikejar waktu, jadi usaha Sakti menipiskan jarak atas nama pertemanan adalah berkah karena Yashica tidak perlu repot-repot mencari cara untuk menembus batas atas top level manajemen dengan staf level bawah seperti dirinya. Toh motif Sakti mendekatinya adalah kerja sosial yang diperintahkan oleh moralnya, bukan karena tertarik pada Yashica. Tidak ada unsur romantisisme yang dirasakan Sakti. Yashica percaya itu.

Jadi, Yashica menurut saja ketika Sakti mengajaknya pulang dan makan malam bersama, walaupun dia harus repot naik taksi lagi setelah Sakti menurunkannya di depan gedung apartemen Ikram.

Hari ini adalah hari keempat mereka pulang bersama. Seperti biasa, Yashica membiarkan Sakti yang memilih tempat makan. Kejutannya, kali ini Sakti memilih restoran steik favorit Yashica. Dia sudah beberapa kali makan di tempat ini. Kalau Sakti juga suka tempat ini, untung saja mereka tidak pernah bertemu, karena Yashica akan sulit menjelaskan kenapa seorang office girl dengan gaji ala kadarnya bisa memanjakan lidah di tempat mahal seperti ini.

"Terserah Bapak saja," kata Yashica saat Sakti menyodorkan buku menu. Dia tidak mungkin menyebutkan appetizer, jenis daging steik yang diinginkannya, dan dessert yang menjadi favoritnya di tempat ini.

"Jangan panggil 'Bapak' kalau kita lagi di luar kayak gini," kata Sakti. "Di kantor nggak masalah, tapi kalau di luar gini, panggilan kayak gitu rasanya malah bikin jarak. Kita kan teman." Saksi bisa membayangkan tawa Petra yang menggelegar kalau mendengar kalimat yang baru saja dia ucapkan. Kalimat murahan klise yang biasa diucapkan seorang atasan kepada bawahan yang sedang berusaha didekatinya. Untung saja Yashica tidak menganggap posisi mereka berada di tahap itu.

Yashica meringis, tapi tidak menanggapi.

"Kalau kamu nggak enak panggil nama aja, panggil "mas" juga boleh. Apa aja asal jangan 'Pak', biar ngobrolnya lebih enak. Kamu juga nggak perlu bersikap formal."

Yashica tersenyum tipis. "Oke."

Sakti memilih makanan yang kira-kira cocok dengan selera Yashica karena perempuan itu bermain peran pura-pura bingung ketika disodorkan buku menu. "Di sini makanannya enak-enak," pancingnya. "Saya lumayan sering makan di sini."

Yashica hanya mengangguk. "Saya percaya pilihan, Mas Sakti. Permisi, saya ke mau toilet dulu."

Sakti mengawasi Yashica yang menuju toilet dengan langkah pasti, tanpa menanyakan arah pada pelayan. Yashica jelas melupakan detail itu. Padahal, sebagai orang yang memainkan peran awam dengan tempat ini, dia seharusnya bertanya. Sakti menyeringai lebar. Semakin mereka dekat, Yashica tampak semakin mengendurkan pertahanannya.

Dering telepon membuat Sakti mengalihkan perhatian pada kursi Yashica, di mana tas selempangnya diletakkan. Sumber bunyinya berasal dari sana, padahal ponsel Yashica berada di atas meja. Sakti mengawasi arah toilet. Yashica pasti butuh waktu beberapa menit untuk kembali ke meja ini. Sakti tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia bergerak cepat membuka tas Yashica dan melihat layar iPhone yang ada di sana menyala. Nama "Ikram" terpampang di situ.

Selain iPhone, di dalam tas itu ada kotak AirPods, juga beberapa skincare dan makeup khas perempuan. Merek-merek yang tertera dalam kemasannya adalah merek high end dari Eropa. Nah, ketahuan untuk yang kesekian kali! Sakti menyeringai lebar.

Seumur hidup, baru kali ini Sakti melanggar privasi seseorang. Dia bahkan tidak pernah mengintip di ponsel mantan pacar atau adiknya sekalipun. Tapi kali ini dia punya pembenaran. Mengintip adalah bagian dari pekerjaannya sebagai detektif. Kebanyakan detektif memang melanggar privasi untuk mendapatkan informasi.

Garis DarahWhere stories live. Discover now