Reflection

4 2 0
                                    

Character : Praditya Aghatra

Suara gemuruh petir menggema di semesta, kilat yang tercipta terlihat seperti berwarna ungu menyambar ke manapun mereka arah.

Mendung. Awan hitam menghiasi— lebih seperti merusak, indahnya langit yang menunjukkan cantiknya biru dan putih. Bulan yang awalnya percaya diri untuk menunjukkan dirinya, kini ia tersingkir oleh gelapnya awan hitam.

Di atas satu lapis plastik yang sangat tipis yang tergelar di pekarangan rumah, dua orang pria duduk di atasnya. Dengan emosi yang sama-sama sulit untuk dijabarkan, keduanya memejamkan mata dengan kepala yang menengadah ke langit.

"Kau tak ingin beranjak dan kembali? Petir bisa menyambar kita kapanpun mereka mau."

Salah satu pria dari dua pria berujar masih dengan posisi yang sama. Prasaka namanya, ia memberi pertanyaan dan pernyataan dalam kalimatnya.

Pria lain yang bernama Praditya menggeleng perlahan, menundukkan kepala untuk menoleh dan melihat Prasaka yang tetap di posisi yang sama.

"Aku tidak. Semuanya terdengar palsu," Praditya meluruskan kakinya yang awalnya ditekuk, ia membiarkan punggungnya terhuyung ke belakang; berbaring.

Mendengar satu ucapan itu lantas berhasil membuat Prasaka merubah atensinya, ia menatap Praditya yang berbaring dengan mata terpejam.

"Maksudmu?"

"Aku tidak ingin kembali, mereka palsu, kata-kata mereka, yang mereka lakukan, dan yang mereka berikan, semuanya kepalsuan,"

Prasaka menyimak dengan seksama, ikut berbaring di samping Praditya, menatap langit yang entah mengapa terlihat semakin gelap.

"Mereka mengatakan bahwa mereka mencintaiku," Praditya jeda kalimat.

"Tetapi apa yang mereka lakukan sama sekali tidak menunjukkannya."

"Mereka mengatakan bahwa aku adalah dunia mereka, tetapi bahkan satu garis pun mereka tidak mampu untuk menggapai dan memelukku yang kata mereka adalah dunia mereka."

Tes.

Praditya menyentuh pipinya yang terasa basah karena satu tetesan air, air dari langit.

Satu tetesan, dua tetesan, tiga tetesan, selanjutnya semakin banyak tetesan itu mengguyur bumi.

Praditya bangkit, ia mengulurkan tangannya untuk diraih oleh Prasaka.

"Gerimis, dan hujan beberapa detik lagi, kau ingin aku kembali bukan?"

"Aku tidak mengatakan itu."

Melihat tangannya yang terulur terabaikan, Praditya menghela napas, ia kembali mendudukkan dirinya di plastik tipis itu.

"Kau tahu? Langit tidak akan selamanya memberi awan hitam untuk bumi, ia bersikap adil terhadap dirinya dan apa yang seharusnya,"

"Tetapi mereka tidaklah sama, aku tidak mempercayai cinta. Mereka mengucapkan, bukan membuktikan."

Praditya tersenyum getir, ia memandang langit gelap yang menurunkan ribuan tetes hujan, membiarkan raganya basah kuyup.

"Praditya, hentikan."

"Apa? Kenapa aku? Bukankah seharusnya aku tetap seperti ini?"

"Kau menyakitiku, sialan."

Prasaka bangkit, ia mendorong Praditya hingga tersungkur.

"Aku menyakiti diriku sendiri,"

"Dan aku adalah kau!"

Seruan itu membuat Praditya tertawa, benarkah itu dirinya?

"Jikalau begitu, bolehkah aku tidak kembali saja dan tetap di sini untuk mendapatkan apa yang kau dapatkan?"

"Jikalau begitu, bolehkah aku tidak kembali saja dan tetap di sini untuk mendapatkan apa yang kau dapatkan?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ONE THINGWhere stories live. Discover now