𝐍º 𝟕. 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑢𝑎ℎ 𝑑𝑒𝑛𝑑𝑎𝑚

197 23 7
                                    

      PRAAAKKK BRAGGGG
Kursi kayu yang ringkih itu berantakan setelah membentur dinding putih yang sebagian catnya mengelupas. Wanita berumur berambut pirang memohon ampun pada lelaki didepannya namun tak berani mendekat. Tangannya menangkup sembari menggosokkan kedua permukaannya. Dia ketakutan setengah mati.

Setelah ketahuan akan pergi diam-diam. Tas yang akan dibawanya sudah berhamburan. Beberapa potong baju juga uang dalam nominal yang tidak sedikit.

Dari mana bibinya mendapatkan uang sebanyak ini?! Pikiran buruk menghantui Jeno dalam benaknya.
Tidak mungkin bibinya tega menjual Lucy pada prostitusi, kan? Uang yang dia kirim cukup untuk mereka bahkan lebih.

Tapi sedikitpun, wanita itu tidak mau mengatakan apapun selain kata maaf.

“Dimana bibi menyembunyikan Lucy?!”

“Jade... m-maaf..”

“Jawab!”

Jeno sudah mulai kehilangan kendali dengan membanting kursi dan barang-barang yang ada dirumah itu. Namun wanita itu tetap berpendirian sekalipun beberapa luka sudah didapatkannya. Dia apakan Lucy? Dimana dia?

“Maafff.... hiks, maafkan bibi..”

“Munafik!”
“Lalu untuk apa meminta maaf! Aku hanya ingin tau dimana dia! Kenapa bibi akan pergi secara diam-diam?Hah?!”

“Jen, tenanglah. Bibi Seol mungkin takut karna kau seperti ini makanya ingin pergi.” Mark menekan bahu Jeno untuk mengingatkan agar tenang.

Berbeda dengan keponakannya, Mark terlihat lebih tenang. Tapi bukan berarti dia orang baik yang akan melepaskannya begitu saja. Mereka sama.

“Bibi.. kami tidak ingin melukai bibi.. Kami hanya ingin tau dimana Lucy berada. Hanya itu saja.”

“Apa kalian akan membiarkanku pergi jika aku mengatakannya?”

“Ya..” Mark menjawab setelah melirik Jeno beberapa saat.

“D-dia... aku tidak tau dia dimana... dia belum pulang dari sekolah.”

Jeno sudah akan melempar meja, tapi ditahan lagi oleh Mark.
“Aku berbicara yang sebenarnya. Aku benar-benar tidak tau dimana dia.”

“Dan bibi tidak mencarinya?”

“M-maaf..” rasanya Jeno sangat muak mendengar kata maaf yang tiada arti. “A-aku pikir dia hanya bermain-main.”

“Dia mungkin sudah terlalu lelah belajar dan butuh hiburan.” Akhirnya si bibi mendapat alasan yang bagus.

“Lalu uang ini?”

Glek.

Sial. Dia melupakan hal ini.






      Hendery berkeliling rumah sakit. Bertanya pada bagian administrasi dan penjaga serta bagian medis. Yang didapatkannya mungkin akan memberikan dampak buruk untuk tuannya.

Dengan hati-hati dan tangan gemetar, pria itu memanggil nomor penting diponselnya.

“Tuan. Saya sudah mendapatkan informasi tentang nona Lucy.”

Semoga setelah ini, nyawanya masih bisa diampuni.




      dua hari berlalu dengan cepat.

Jeno membawa jasad Lucy untuk dikremasi. Drama mengamuk seorang pebisnis sukses dari luar negri mengacak-acak rumah sakit mendapat perhatian publik.

Kenapa tidak ada yang memberitahunya?! Kenapa bibinya menutupi hal ini?!

Sial diantara itu semua, bibi Seol berhasil kabur membawa serta uangnya.





      “Sekalipun sudah bisa pulang, kau tetap harus hati-hati.”

Jaemin mengangguk lucu, rambutnya yang hitam ikut bergerak.

“Aku ingin berkeliling. Sudah lama aku tidak melihat rumah kita.”

“Tentu, nak.” Goongmin melirik arlojinya. “Kau tidak masalah ayah tinggal, kan?”

“Aku bukan anak kecil, ayah. Ayah tidak bisa selalu bersamaku. Ayah harus bekerja.”

“Anakku sudah mulai perhatian rupanya.”

“Ayah!”

“Hahaha, baiklah. Ayah akan pulang cepat hari ini. Jangan terluka. Makan tepat waktu. Dan beberapa bulan lagi ayah akan menyiapkan guru untukmu, supaya bisa belajar.”

“Yayayaya... sana pergi.” Jaemin mengibaskan tangannya main-main seolah mengusir sang ayah. Dan Goongmin meninggalkannya setelah memberi kecupan berpisah.

Jaemin berbalik.

“Aku sudah dewasa. Tapi ayah selalu memperlakukanku seperti anak kecil.”

“Dia terlalu menyayangimu, Na.”

Jaemin terlonjak begitu ada suara yang membalas gerutuannya. Diujung koridor ada seseorang yang dikenalnya datang menghampiri.

“Haechan?! Kapan kau sampai? Ayah tidak mengatakannya.”

“Surpriseeeee ..... apa kabarmu adik kecil? Sudah lama kita tidak bertemu. Aku merindukanmu.” Haechan mendekap tubuh yang lebih kurus darinya dalam rengkuhan.

“Aku juga.”
“Kenapa tidak mengatakannya lebih dulu?”

“Jika aku mengatakannya, ini bukan kejutan bodoh!”

Jaemin mencubiti lengan sepupunya dengan brutal. Haechan hanya mengadu dan berpura-pura sakit.

“Selamat atas operasimu yang berjalan lancar. Kau sembuh sekarang.” Haechan kembali memeluknya sekilas.

Jaemin membalas dengan senyuman dan anggukan, mereka  berjalan beriringan hingga sampai kedalam kamar Jaemin sambil bercengkrama.

“Kau terlihat berbeda. Semakin cantik.” Jaemin tersipu mendapat pujian. Jarang-jarang seorang Haechan memujinya.

“Benarkah?”

“Ya. Tentu saja!” semangatnya. Bola matamu sangat berkilau... dan biru.”

Senyuman meluntur tanpa dipaksa.

Biru?

Jaemin berlari, bergegas bercermin didepan kaca walk in closet yang setinggi hampir dua meter.

Biru?

Kenapa biru?

Jaemin memandang aneh kornea matanya. Sebelumnya di rumah sakit dia belum melihatnya.

Kenapa seperti .. dia pernah melihat warna biru yang seperti ini? Biru agak keabu-abuan.

“Cantik.. tapi-”

menakutkan.

____________

♡ A ɴ ɢ ᴇ L ' s   T ᴇ ᴀ ʀ s ♡
____________

21/04/24

aneh gak sih penulisannya? aku nyoba nulis dengan versi berbeda

aneh gak sih penulisannya? aku nyoba nulis dengan versi berbeda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝙰𝚗𝚐𝚎𝙻'𝚜 𝚃𝚎𝚊𝚛𝚜 || 𝐁𝐋Where stories live. Discover now