𝐍º 𝟔. 𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎

143 21 0
                                    

      "Hendery, selidiki tentang adikku."

"Tapi Tuan.. bahkan polisi masih belum memberikan keterangan." Hendery menatap takut-takut pada Jeno yang kepalang emosi.

Tanpa memberikan kata. Hendery lebih memilih mengalah. "Akan saya periksa lebih rinci." Itulah yang membuatnya bisa pergi daripada harus menerima amukan.

Sang bibi yang melihatnya ikut gemetaran, namun mencoba menguasai keadaan.

"Jade, kita tanya saja pada teman-temannya disekolah. Atau guru juga wali kelasnya, mungkin Lucy bersama salah satu dari mereka."

"Lucy, gadis yang baik. Dia tidak akan pergi tanpa pamit."

Tenggorokannya tercekat, bibi Jade menahan jemarinya yang bergetar. Suara rendah itu menusuk begitu tajam.

"K-Kau istirahat saja dulu. Bukankah kau juga baru sampai."







      "Permisi. Apakah masih belum ada keterangan tentang gadis ini?" Hendery memperlihatkan sebuah foto dalam ponselnya, seorang gadis remaja dengan senyum lima jari yang cantik.

"Apakah dia keluargamu?" petugas polisi yang sedang berjaga mencermati foto itu.

"Ah, bisa dibilang begitu. Dia hilang beberapa waktu lalu, dan bibinya bilang sudah melapor. Kami sekeluarga sedang menunggu hasil pencarian."

"Siapa namanya?"

"Lucy. Lee Lucy."

"Orang luar negri ya?" petugas itupun mengotak atik komputernya untuk mencari file yang terkait.

"Benar."

"Sudah berapa lama dia menghilang?"

"Kemarin."

"Apa?"

"Apanya yang apa?"

"Kemarin katamu?"

"Benar. Apa ada yang salah?"

"Kau bilang sudah melapor."

"Benar. Bibinya melapor kemarin."

"Apa maksudmu?"

"Tolong katakan yang jelas, saya tidak mengerti."

"Kemarin tidak ada pelaporan orang hilang."

"Apa?! T-tapi bibi Je.. maksud saya bibi Lucy mengatakan sudah melapor dan kalian sempat mencarinya bersama."

"Sudah kubilang kemarin tidak ada laporan orang hilang satupun." Jika ada, dipastikan berkas dalam file dikomputernya akan muncul. Namun berapa kalipun dicek tidak ada keterangan apapun.

Suasana kantor polisi mendadak ricuh dengan perdebatan mereka. Salah seorang petugas polisi mendekati rekannya.

"Ada apa?"

"Jun, apa kemarin ada pencarian orang hilang?"

"Orang hilang?" Xiaojun mengernyit heran. Hendery menyodorkan ponselnya dengan fokus foto gadis remaja.

"Tunggu. Sepertinya aku pernah lihat gadis ini."

"Benarkah? Dimana?" Hendery serasa mendapat secercah harapan.

"Kemarin ada kecelakaan didekat rumah sakit Kangbuk. Mungkin saja gadis ini salah satu dari korban." Xiaojun kembali mengamati. "Ya, benar. Aku hapal dengan seragamnya. Beberapa siswa ada yang menjadi korban disana. Aku rasa kau harus memeriksanya di rumah sakit."







      "Aku bisa memainkan piano lagi."

"Tentu saja."

"Aku akan jalan-jalan dan mendaki gunung."

"Kau kan tidak pernah mendaki gunung."

"Pernah. Cuma sekali. Bersama ayah ... dan ibu." Suara Jaemin mendadak mengecil di akhir.

Jaehyun mengelus rambutnya dan merapikan poni yang memanjang. "Kenapa?"

"Aku rindu ibu."

Pergerakan Jaehyun terhenti. Lelaki itu memeluknya dengan erat. Menyalurkan kehangatan yang selalu Jaemin inginkan disaat kesepian.
"Semuanya baik-baik saja. Ibu sudah bahagia di surga."

"Apa aku boleh menangis?"

"Jaemin-ah.."

"Aku terlalu cengeng ya?"

"Tidak. Tidak ada yang salah dengan itu. Merindukan orang yang sudah meninggal adalah yang paling sakit."

See. Jaehyun dengan kesabarannya yang seluas samudra.

"Hyung.. Kadang aku merasa, aku tidak pantas untukmu."

"Ssssshh.. kenapa berpikir seperti itu?"

"Kau sangat sempurna. Kau baik hati. Jika aku buta selamanya apa kau masih mau disisiku?"

"Tentu saja."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Aku buta. Aku sama sekali tidak berguna. Aku bahkan tidak bisa mengontrol emosiku. Aku akan marah-marah tidak jelas. Karna semuanya tidak terlihat."

"Jaemin-ah.."

"Aku lebih banyak menampilkan sisi burukku daripada bersusah untuk menerima kenyataan. Aku bukan orang baik. Aku sangat menyusahkan. Bahkan ibu sampai meninggal."

"Heii.. dengar. Jangan katakan itu lagi. Ku mohon. Menjadi buta memang tidak semua orang bisa menerima itu. Kau tidak salah apapun. Tidak semua orang bisa tahan dengan gelap. Buta tidak menyenangkan. Buta menakutkan. Sekalipun aku tidak mengalaminya tapi aku tau kau sangat kesakitan. Jangan katakan itu."

"Aku menyesal. Seharusnya ibu juga bisa ada disini dan melihatku."

"Dia melihatmu... dengan cara yang berbeda."

"Jangan katakan ibu menjadi bintang! Aku bukan anak kecil, hyung."
Perlahan-lahan canggung dan suram teredam dengan tawa kecil. Tidak ada orang yang dengan mudah menerima semua hal secara mendadak. Jaemin belajar untuk tidak mudah melepaskan kemarahannya pada orang sekitar. Cara yang lebih baik agar tidak melukai orang yang dikasihinya.

____________

♡ A ɴ ɢ ᴇ L ' s T ᴇ ᴀ ʀ s ♡
____________

21/04/24

21/04/24

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝙰𝚗𝚐𝚎𝙻'𝚜 𝚃𝚎𝚊𝚛𝚜 || 𝐁𝐋Where stories live. Discover now