Bab 3. Adaptasi bikin kesal hati

356 87 24
                                    

Geya ... Geya, berasa kayak anak hilang. Celingak celinguk begitu.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Mengikuti langkah Naim dan Rini dari belakang, Geya terlihat menekuk wajahnya begitu dalam. Dia tidak menyangka pilihan untuk ikut makan bersama mereka, nyatanya adalah pilihan terburuk. Hanya bisa melihat Naim ditegur beberapa orang dari keluar lift, sampai keluar dari gedung, Geya tidak kuasa menutupi ekspresi bencinya diwajahnya. Dalam hatinya terus bersuara, mempertanyakan ketidak adilan ini. Mengapa laki-laki sekaku dan semenyebalkan Naim bisa dikenal oleh banyak orang. Bahkan teguran mereka tidak hanya sekedar mengenal Naim dari nama saja, melainkan bisa Geya lihat kedekatan mereka dari percakapan yang terjadi.

Saat langkah mereka sudah keluar dari gedung, sinar matahari langsung saja menodong kulit mereka, membakarnya, tanpa ampun sedikitpun. Sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, Naim sempat menengok ke belakang, memastikan Geya masih mengikuti langkahnya.

"Rin ...."

"Hm. Iya, Bang?"

"Ajak ngobrol tuh anak. Kasihan banget jalan sendirian di belakang."

Ikut menoleh, Rini, terlihat malas. Dari gestur tubuh Geya sangat jelas tergambar bila perempuan itu jarang sekali jalan dibawah sinar matahari sepanas ini. Terlihat menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan tangan, Rini hanya bisa beristighfar. Walau dia belum tahu apa agama yang Geya percayai, namun melihat cara perempuan itu ketakutan dengan panas matahari, membuat Rini menggelengkan kepala. Panas matahari saja, begitu Geya takuti, lalu bagaimana bisa perempuan itu menghadapi panasnya api neraka nanti?

"Lo aja, Bang! Males gue."

"Rin, jangan gitu. Dia tetap tim kita, kan? Kalau sama gue, enggak enak! Walau gue udah berusaha ajak dia ngomong dari tadi, cuma ... setiap jawaban yang keluar dari mulutnya malah buat gue emosi."

"Hahaha, awas cinta loh, Bang."

"Waduh, jangan didoain yang aneh-aneh lah."

"Loh, jatuh cinta bukan doa yang aneh-aneh. Cinta itu fitrah, Bang. Masa lo lupa sih? Waktu itu kan lo yang ngomong ke gue, karena menurut lo, gue cocok sama bang Agung. Hadeh, sama aja, kan."

"Emang kenapa lo sama Agung? Bagus lah kalau cocok."

"Bang Naim, jangan mulai deh!"

"Enggak enak, kan?"

"Eh, harusnya gue ya yang ngomong kayak gini. Udah ah, gue jalan duluan aja."

Mempercepat langkahnya, Rini meninggalkan Naim disaat laki-laki itu mulai menyalakan sebatang rokok yang sejak tadi sudah dikeluarkan dari saku celananya.

Sengaja menghentikan langkahnya, menyalakan rokok, sekaligus menunggu langkah Geya yang cukup jauh darinya, Naim kembali menengok ke belakang setelah menghisap kuat-kuat benda putih itu.

Mengepulkan asap rokok cukup banyak, akhirnya Geya menghampiri Naim yang masih memaku diposisinya.

"Kok berhenti?"

"Lo ketinggalan."

"Lo nungguin gue?"

"Enggak juga," sambutnya sambil menunjukkan sebatang rokok disela-sela jarinya.

Geya mencibir. Sedikitpun dia tidak merasa laki-laki merokok itu keren. Karena itulah, tidak ingin asap rokoknya terlalu banyak Geya hirup, tubuhnya menghindar. Menjaga jarak dengan Naim.

Coding CintaWhere stories live. Discover now