Sembunyi!

5 1 2
                                    

 Langit di pagi hari tidak lagi berwarna biru semenjak makhluk lambat pemakan otak itu mulai bermunculan belasan tahun lalu. Seperti wabah, mereka terus bermunculan. Dan seperti wabah pula, mereka tidak pernah berhenti.

Zombi bukanlah sebuah obrolan ringan yang bisa dibicarakan sewaktu senggang. Zombi sudah mewabah, dan manusia maupun alam tidak bisa menghentikannya. Mereka datang secara tiba-tiba seperti sebuah kobaran api yang menyambar minyak di lantai, kemudian mengambil alih bumi secara perlahan namun juga secepat kilat – mencekik manusia dan membunuh mereka sebagaimana oksigen direnggut dari manusia itu sendiri.

Tidak ada yang tahu bagaimana mereka tercipta, dan tidak ada yang tahu pula bagaimana cara melenyapkan mereka. Di sini, beberapa dari kami hanya berusaha untuk bertahan hidup, dan beberapa lainnya ingin lebih dari sekadar bertahan hidup. Zombi itu menyeramkan, namun manusia jauh lebih menyeramkan.

~~~

Dor-dor!

"Berhenti kau brengsek!" teriakan itu menggema di lorong gelap yang tadinya sunyi. Setelah teriakan dari orang itu, derap langkah dari belasan pasang kaki menyambut telinga dan terdengar semakin dekat di tiap detik yang berlalu.

Aku terengah-engah sambil memegangi mulut Samantha yang meringkuk di balik satu-satunya kolong meja yang dapat aku temukan untuk bersembunyi. Aku bisa melihat ketakutan sementara yang luar biasa pada sepasang mata berwarna cokelat itu dan merasakan mulutnya yang berusaha untuk berbicara di balik tangan kananku, seolah ingin memberitahu aku sesuatu hal yang lain.

Sementara itu, tatapanku masih tidak bisa lepas dari sekitar walau setelah suara langkah kaki itu mulai mereda. Aku mengintip melalui lubang-lubang di dinding dan sesekali menengok dari pojok tembok. Aku rasa mereka kehilangan kami di persimpangan lorong yang kami lalui.

Perlahan, detak jantungku mulai mereda seiring napas yang mulai kembali normal. Keadaannya sementara ini sudah kembali tenang. Samantha pada akhirnya menurunkan tanganku yang masih menempel di mulutnya ketika menyadari tubuhku yang sudah tidak lagi kaku seperti tadi, lalu tatapan itu berpaling pada lengan kiriku.

"Lenganmu!" suaranya ditahan, namun ekspresi itu tidak bisa lekang dari khawatir. "Kau tertembak!" tambahnya tak kalah panik dari kalimat sebelumnya.

Aku lantas menengok ke arah lengan kiriku. Dan benar saja, lenganku ternyata tertembak. Menyadari hal tersebut, rasa sakit yang sebelumnya tidak kurasakan itu muncul tanpa peringatan. Darah sudah mengecap di balik pakaian dan jaket yang aku kenakan—yang buru-buru aku lepaskan.

Samantha lantas memusatkan perhatiannya pada lenganku. Setelah jaket itu pada akhirnya terlepas, dia mengambil korek api dan menyalakannya dengan hati-hati di balik kolong meja tempat dia masih meringkuk. Saking gelapnya, satu-satunya sumber cahaya tersebut lalu menerangi sebagian besar dari kami berdua, lalu gadis itu mengarahkan korek tersebut ke bagian lenganku.

Dia memberiku korek tersebut setelah mengamati lenganku dengan singkat, kemudian melipat baju yang menutupi lenganku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menggigit bibir menahan rasa sakit yang muncul sembari memperhatikan wajah Samantha yang sangat serius.

"Apakah parah?" tanyaku berbisik. Seperti tremor, tangan kananku yang memegangi korek tidak bisa diam dengan tenang, membuat bayangan yang tercipta dari kobaran api kecil itu bergoyang-goyang.

Dia menggeleng kecil, lalu mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah gunting dan kain putih yang tidak begitu bersih, yang kemudian dia potong memanjang. "Untungnya, kau hanya terserempet peluru," dia meyakinkanku dengan kalimat lembut. "Aku hanya perlu memerban lenganmu."

Aku menghela napas lega. Aku belum pernah tertembak dan tidak mempunyai rencana untuk itu, namun terserempet peluru saja rasanya sudah sesakit ini. Aku tidak bisa membayangkan jika benar-benar tertembak peluru.

Ketika Samantha menyelesaikan perban di lenganku, rasa sakit di lenganku perlahan mulai mereda, walau nyerinya masih ketinggalan. Korek yang tadi menyala pun sudah mati dan kembali ke kantongnya, saat ini kami hanya memanfaatkan cahaya samar dari bulan yang menembus kaca jendela dan lubang-lubang di dinding.

Setelah beberapa menit menunggu, aku memberanikan diri untuk berdiri. Suaranya sangat hening, dan aku rasa sekelompok orang yang mengejar kami sudah kehilangan jejak—mengingat bangunan kantor ini cukup besar—atau setidaknya bertemu dengan zombi dan memutuskan pergi karena mendengar suara tembakan tadi. Kedua opsi tersebut sama-sama berbahayanya karena kami hanya bermodalkan pisau untuk mempertahankan diri.

"Aku rasa sudah aman," kataku pada Samantha yang masih meringkuk di kolong meja. "Kita harus mencari Jamie."

"Kau yakin kita sudah aman?" walau sedikit ragu, Samantha pada akhirnya keluar dari kolong itu. Dia mendekatkan tubuhnya pada jendela dan mencoba melihat keluar, namun debu tebal yang menempel di kaca pun tidak bisa digosok oleh tangan kecil itu.

Gadis itu lalu beralih padaku, sepertinya menunggu sebuah jawaban dari pertanyaan yang dia sampaikan padaku.

"Kau tahu "aman" bukanlah sesuatu yang ada di dalam kamus hidup kita," kataku. "Aku berjanji akan menghajar kakakmu ketika kita menemukan dia."

"Dia memang bodoh. Kalau begitu, ayo kita pergi dari sini."

Aku lantas membuka pintu yang membatasi ruangan kami dengan lorong di luar. Dengan menelan ludah, aku melangkahkan kaki...

just unmeaningful of collective short storiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang