Bab 2. Queen Geya

Start from the beginning
                                    

Refleks kaget terlihat sekali dari ekspresi Dimas. Bahkan yang lebih mengejutkannya, Dimas menghempaskan tangan Geya kuat-kuat, seolah takut Geya menularkan virus berbahaya pada tubuhnya. Padahal kenyataannya Geya hampir jatuh jika tidak bertumpu pada sesuatu.

"Waduh, pegang-pegang," seru Dimas tidak suka.

"Ish, siapa yang mau pegang-pegang sih? Gue mau jatuh, anjir!"

Diperhatikan baik-baik, Dimas kembali berkomentar. "Udah tahu duduk dikursi plastik, diem-diem duduknya," sahutnya terlihat kesal.

Geya mencibir dengan sebal. Padahal dimatanya Dimas tidak sedikitpun tampan, dengan tubuh tinggi besar, menurut Geya, Dimas lebih mirip ke arah kingkong yang hidupnya di hutan. Benar-benar kurang ajar sekali isi pikirannya, namun semua itu karena Dimas yang mengawalinya. Pegangan itu atas dasar ketidak sengajaan, tapi mengapa respon Dimas terlihat sangat jijik padanya?

Mendelik tidak suka, pertengkaran ini berhasil dihentikan saat Naim berjalan melewati depan tubuh Dimas sambil menepuk bahu laki-laki itu. Terlihat menggaruk belakang kepalanya, Naim berjalan santai melewati lorong kubikel, menuju ke arah belakang di mana terdapat mushola kecil disetiap lantainya.

Menatap Naim, mengikuti pergerakannya, Geya melihat ada beberapa karyawan lain yang menegur laki-laki itu saat melangkah menuju ke suatu tempat.

"Sholat, Bang?"

"Iya, sholat dulu baru makan."

"Makan di belakang, kan? Gue mau tanya sesuatu."

"Ya, makan tempat biasa. Nanti gue susul ke sana."

"Oke."

Percakapan itu tidak hanya diperhatikan oleh Geya, namun juga menjadi perhatian tim Naim lainnya. Bahkan Dimas yang tadi memperdebatkan pegangan Geya ditangannya turut memerhatikan gerak gerik Naim.

"Mas, itu bang Naim mau sholat, ya? Dia makan di belakang?"

"Hm. Tempat biasa."

"Yaudah, gue nanti nyusul sama bang Naim deh. Belum kelar kerjaan gue."

"Lo nungguin dia sholat?" tanya Agung, tim Naim lainnya yang memiliki ukuran tubuh paling kecil. Walau usianya tidak beda jauh dengan Naim, namun karena bentuk tubuhnya, Agung malah terlihat seperti karyawan fresh graduate.

"Iya. Biar bareng aja ke belakangnya."

"Yaudah, kita duluan, ya!" ucap Juan yang tiba-tiba ikut menanggapi.

Melihat tiga laki-laki mulai bergerak, Geya semakin tidak tahu akan makan siang di mana dia saat ini. Menunggu Rini mengajaknya makan bersama, rasanya amat sangat mustahil. Karena dari awal Geya duduk di antara Rini dan Naim, terasa seperti ada perasaan tidak suka yang Rini tunjukkan kepadanya.

Karena tidak tahu harus makan di mana, Geya memilih sibuk dengan ponselnya. Dia berpindah ke kursi Naim, duduk dengan nyaman di sana, sambil merenggangkan otot-otot punggungnya yang terasa sakit akibat duduk dikursi plastik hampir setengah hari ini. Mengeluarkan ponsel, membalas beberapa pesan yang dikirimkan teman serta ibunya, tak lama Geya mendengar suara berat Naim menegurnya.

Terlihat jauh lebih segar, Naim menatap Geya dengan ekspresi bingung. "Lo enggak makan?"

"Mau makan. Tapi gue enggak tahu kantinnya di mana!" jawabnya malas. Disaat Geya pikir Naim akan mengusirnya, Geya malah melihat Naim menggeser kursi plastik yang sebelumnya Geya duduki tuk mendekat ke arah Rini.

Tidak sadar bila Naim sudah duduk di sampingnya, akhirnya Naim mulai bersuara. "Udah ketemu flownya?"

"Ada beberapa SRF yang mau gue tanyain lagi ke user, Bang. Nanti lo temani, bisa? Gue takut enggak nyambung sama beberapa hal yang mereka mau."

"Mau meeting? Jam berapa?"

"Abis maksi deh. Paling jam 2an. Abis sholat gue mau coba execute lagi. Kalau masih salah flownya, baru gue undang user buat meeting."

"Yaudah, lo info aja. Kalau misalkan gue enggak bisa, lo coba ajak Agung."

"Oke."

Hanya bisa diam, menjadi pendengar percakapan Naim dan Rini, Geya menebak bagaimana posisi Rini, bekerja ditengah para laki-laki. Dari cara semua laki-laki dalam timnya memperlakukan Rini dengan baik, Geya mendadak merasa iri. Iri dengan semua perhatian itu yang seharusnya bisa ia dapatkan juga, bahkan jauh lebih banya. Karena dari penampilan saja, Rini sedikitpun tidak bisa dibandingkan dengannya.

"Akh, gila! HC di kantor ini MAGABUT banget! Masa mereka enggak kasih tahu di mana lokasi kantin! Wah, kacau sih," gumamnya dengan suara cukup kencang.

Selesai memakai sepatunya, Naim menatap Geya, memberikan respon atas komentar Geya mengenai pekerjaan HC di sini.

"Lo punya mulut, kan? Nanya kalau enggak tahu. Jangan cuma bisa salahin orang. Karena yang gue tahu, HC punya banyak pekerjaan penting lain, dibanding ngurusin lo tahu area kantin atau enggak."

"Dih! Gitu sih, yang namanya HC atau Human Capital, ya tugasnya ngurusin orang! Gimana sih? Aneh banget komen lo," sembur Geya tidak mau kalah.

Beristighfar di dalam hatinya, dan berusaha semampu yang Naim bisa untuk menghindari perdebatan, terutama perdebatan dengan seorang perempuan, Naim mencoba menurunkan volume suaranya tuk mengajak Geya makan di belakang gedung, di mana banyak penjual makanan yang membandrol dagangan mereka dengan harga yang ramah di kantong para pekerja yang gajinya tak seberapa.

"Lo mau ikut? Makan bareng gue sama yang lain. Cuma gue makannya di belakang. Bukan di kantin. Harus jalan dulu keluar gedung. Panas-panasan dan bakalan bau asap. Tapi kalau soal rasa, gue jamin lo bakalan ketagihan. Gimana?"

Terlihat menimbang, dari pada dia tidak makan seharian, Geya mengangguk setuju. Dia mulai bersiap tuk mengikuti langkah Naim dan juga Rini.

"Lo yakin, kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Mending ganti Sepatu lo, pakai sendal jepit gue aja. Dari pada abis makan siang, lo minta digendong, mendingan antisipasi lebih dulu."

"ENGGAK, YA! Gue enggak senorak itu, pakai heels kecapekan sampai harus digendong!"

"Yaudah kalau enggak mau."

Coding CintaWhere stories live. Discover now