01. Teori Cinta Erich Fromm

38 5 0
                                    

Hujan turun lebih awal dari biasanya. Biasanya, hujan akan turun saat orang-orang terlelap tidur malam. Kini baru pukul setengah lima sore, hujan sudah mengguyur Jakarta. Seorang gadis terlihat berlarian di bawah hujan untuk sampai rumahnya. Sesampainya di rumah, seorang perempuan tua langsung lari membawa payung untuk membuka gerbang.

Darmi, asisten rumah tangga keluarga Dharmawangsa itu menyambut anak majikannya dengan khawatir. "Mbak Gista kok gak pulang bareng Mbak Frissy tadi? Kehujanan dari mana, Mbak?" Tanyanya saat mereka sampai di teras.

"Frissy aku suruh pulang duluan, Mbok. Aku ada kerja kelompok. Tadi kehujanan dari depan komplek sih, karena kan angkotnya berhenti di depan sana," jawab Gistara.

"Papa sama mama sudah pulang, Mbok?" Tanyanya kemudian.

"Belum, Mbak. Tadi ibu telpon ke saya, katanya suruh siapin makanan buat kalian berdua. Bapak sama ibu pulang telat, ada rapat mendadak sama klien."

"Ah syukur deh. Kalau papa tau aku pulang hujan-hujanan, pasti diomelin. Mbok jangan bilang-bilang ya?!"

Darmi tersenyum mengiyakan permintaan majikan kecilnya. "Ya sudah, ayo masuk dulu. Bajunya langsung masukin ke mesin cuci ya, Mbak. Nanti langsung saya giling, biar gak ketahuan ibu bapak," ujar Darmi.

Setelah membersihkan diri, Darmi mengajak dua anak manjikannya itu untuk makan malam. Frissy dan Gistara, keduanya meminta Darmi untuk menemani mereka makan malam ini, karena orang tuanya tidak ada. Darmi yang awalnya sungkan, bisa dibujuk oleh Frissy.

"Mbok, aku mau tanya ya. Mbok dulu pasti pernah jatuh cinta dong, iya kan?" Frissy bertanya pada Darmi saat mereka bertiga belum selesai makan. Darmi mengangguk setuju untuk pertanyaan Frissy.

"Menurut Mbok Darmi, orang yang terus-terusan ditolak cintanya, tapi tetap berjuang, itu bodoh atau gimana?" Tanyanya kemudian, lirikannya terarah pada Gista.

"Lo nyindir gue?!" Gistara merasa demikian.

"Yeu, siapa yang nyindir sih. Orang gue cuma tanya. Kalau lo merasa, ya maaf."

"Menurut saya, berjuang untuk apa yang dicintai itu tidak salah, Mbak. Bagus malah. Saya pernah baca teori cinta Erich Fromm, katanya, cinta itu tindakan aktif, bukan pasif. Jadi, perjuangan itu masuk bagian cinta itu sendiri."

"Itu dengerin, Friss! Cinta itu tindakan aktif, bukan pasif! Jadi, gak ada salahnya dong, gue memperjuangkan cinta gue ke Dipta." Gistara merasa terbakar semangatnya.

"Iya tau, tapi lo juga harus menggaris bawahi bahwa Dipta gak cinta sama lo. Buktinya, dia gak aktif berjuang kayak lo kan? Dia bahkan gak peduli sama lo. Mau lo jatuh bangun cari perhatian dia, Dipta tetaplah Dipta, yang sampai kapan pun, gak akan pernah ngelirik lo, Gis."

"Kok lo ngomongnya gitu sih?!" Gista tidak terima.

"He! Gue ngomong gini karena gue mau lo sadar ya! Gue gak terima, Dipta terus-terusan buat lo sakit. Gue sayang sama lo, Gis. Berhenti sakiti diri lo sendiri untuk hal sebodoh ini. Banyak cowok di luar sana, kenapa harus Dipta?"

"Ya karena gue maunya Dipta. Gimana dong?"

"Batu emang ini anak ya!" Frissy hampir menyerah menyadarkan adiknya. Pasalnya, mau dihantam fakta sekeras apa pun, adiknya itu akan tetap memperjuangkan cinta Dipta.

"Tapi begini, Mbak. Berjuang itu juga ada batasnya. Kalau sudah berjuang, tapi tetap gak bisa didapat, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, perjuangannya belum maksimal. Atau kedua, itu tidak sepatutnya diperjuangkan. Karena memang bukan milik kita," tambah Darmi. Hal itu membuat Gista terdiam sesaat.

"Lo denger itu!"

Gista masih diam, menatap kosong piring yang ada di depannya. "Simpel, berarti perjuangan gue kurang. Gitu aja kan?" Jawabnya, kemudian beranjak dari tempat duduknya. "Terima kasih makan malamnya, Mbok Darmi. Terima kasih juga wejangannya. Lain kali, gak usah repot-repot."

STOP LOVING YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang