****


Putra pulang ke rumahnya tepat di jam sembilan malam. Suasana rumah sudah sepi karena Mami pasti sudah tidur jam segini. Tapi tak tahu dengan Sera. Putra langsung bergegas ke kamarnya saja, melihat pintu kamar Sera juga sudah tertutup rapat.
Tapi tiba-tiba, pintunya terbuka lebar. Memberikan bunyi khas decitan pintu yang terdengar oleh telinga Putra. Lelaki itu mengurungkan diri untuk masuk ke kamarnya dan menyapa sepupunya itu.
"Ser— eh, woy! Kenapa lu? Nangis?"
Putra bertanya panik. Melihat mata sembab Sera dan pipinya yang basah membuat Putra menunduk sedikit untuk melihat wajah Sera yang menunduk. Sera juga ikut panik dan buru-buru menghapus air matanya di sana.
Sera mendongak ketika Putra menanyakan hal yang sama lagi. "Nggak apa-apa, Put," cicitnya.
Putra jelas berdecak tak suka. Nggak apa-apa bagaimana? Sudah jelas Sera ketahuan menangis seperti itu. "Yang bener aja, Ser? Lo tinggal bilang alasannya ke gua. Abis nonton drakor? Film? Atau abis call sama orang tua lo? Kenapa, Ser?"
Sera jujur tak menyukai sifat Putra yang amat kepo seperti ini. Menurutnya itu sangat menyebalkan. Karena seperti yang kalian tahu, jika Putra mempunyai keingintahuan atas sesuatu, maka Putra akan mengetahui sesuatu itu juga setelahnya entah dengan cara apapun.
"Ser," panggil Putra lagi.
"Iya udah iya, nanti gue cerita. Tapi lo jangan ngetawain gue!" Sera akhirnya pasrah dan dengan wajah cemberutnya, Sera menuding telunjuknya ke arah Putra.
Putra mengangguk. "Apa?"
"Nanti dulu gue mau cuci muka," ucap Sera kemudian berlalu dari hadapan Putra. Putra memutuskan untuk memakan martabaknya di ruang keluarga. Padahal tadinya, martabak itu akan ia makan di kamarnya saat belajar tengah malam nanti.
Putra menunggu Sera sekitar lima menit, lalu gadis itu akhirnya muncul lagi. "Nih, martabak," tawar Putra saat Sera mendudukkan diri di sebelahnya.
Sera menggeleng saja. "Nggak napsu. Lo aja."
Putra mengangkat bahu acuh. "Jadi gimana? Apa yang buat gue ketawa setelah mendengar cerita lo ini? Hmm," Putra berlagak seperti memikirkan sesuatu yang penting. "Ah! Gue tau!" serunya kemudian lantas membuat Sera menoleh takut.
"Lo nangisin Nathan?" tebak Putra tidak jelas. Sungguh tidak jelas. Sera langsung memukul kepala Putra sembari mendesis. "Gila," katanya.
Putra tertawa. "Terus apa dong?" tanyanya masih dengan mulut penuh martabak manis Om Bewok.
Sera menyandarkan tubuhnya di sofa milik Putra. Sambil menghela napas beberapa kali, Sera menatap lurus ke depan. Mengabaikan tatapan Putra yang kini juga berubah serius setelah melihat kesedihan lagi-lagi terpancar di wajah sepupunya itu. Dan untuk kedua kalinya, Putra tak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"What happened?"
Sera menghela napas lagi. "Gue .... barusan buka twitter—
"Ah, Sera Elizaaa." Putra berdecak keras. "Udah gua bilang kan lo jangan buka sosial media dulu, orang-orang pada ngomongin lo di sana. Semua ketikan mereka jahat-jahat. Sekarang apa? Lo tau semua kan—
"Gue penasaran, Put!" sanggah Sera. "Cuma diem aja dan nggak ngapa-ngapain buat gue makin takut. Gue bingung mau bersikap kayak gimana lagi abis ini karena gue nggak tau pasti orang-orang mandang gue gimana setelah gue turun peringkat kemarin."
"Udahlah, Ser. Lupain yang udah berlalu. Fokus sama tujuan lo yang sekarang buat perbaiki keadaan. Walaupun gue yakin ini bukan suatu kebetulan, karena gue yang paling tau potensi lo gimana sejauh ini."
Putra benar. Kadang Sera berpikir bahwa ini semua bukan sebuah kebetulan. Atau memang kebetulan yang disengaja? Ah, rasanya Sera sudah sangat percaya diri dengan apa yang ia miliki. Tapi kenapa hasilnya sungguh berbeda dengan apa yang ia harapkan?
Putra menyerongkan badannya ke samping, menatap Sera seutuhnya. "Lo mau minta bantuan phoenix?"
Sera sontak menggeleng kuat. "Nggak ah, gue nggak mau ngerepotin mereka lagi. Udah cukup lo aja yang tau kalau gue kepikiran hal ini. Mereka jangan, gue nggak mau mereka ikut kepikiran juga," tolaknya.
Putra bergumam. Sera bahkan tidak tahu kenyataan bahwa anak phoenix pun masih memikirkan hal ini sendirian. Hanya saja, mereka tak saling bicara. Putra bisa tahu dengan hanya melihat gerak-gerik Nathan yang berusaha membuat Sera tersenyum lagi, atau sikap konyol Ragas untuk memiliki niat yang sama dengan Nathan.
Serta ujaran langsung dari Giu tadi, saat dirinya bertemu dengan Giu di depan komplek. Giu juga ... diam-diam mengkhawatirkan Sera. Begitu juga dengan Putra. Mereka semua, memiliki perasaan yang sama.
Tapi Sera tak tahu itu.
"Tapi ... gimana kalau diam-diam mereka juga khawatir sama lo? Mereka mikirin lo selama ini tanpa lo tau?"
Sera menoleh kepada Putra. Apa benar yang dikatakannya itu? Kalau iya, Sera akan sangat merasa bersalah karenanya. Sera terdiam lagi. Tapi Putra sudah tidak tahan. Putra mengambil ponsel miliknya dan menekan tombol panggilan grup phoenix.
Ponsel Sera langsung berbunyi di sana. Sera panik begitu melihat Putra melakukan panggilan grup itu. "Putra!" Sera mencoba mencegah Putra dengan merebut ponsel sepupunya itu tapi usahanya tak berbuah manis.
Suara berat Nathan terdengar di kedua ponsel mereka. "Is there any problem?"
Sera melotot mendengarnya. Gadis itu melemas kala suara Ragas juga tiba-tiba terdengar dari ponsel mereka. "YOW WASAPP GUYS! Ada apa nih call malem-malem?"
Putra mengulum bibirnya, menahan tawa. Sebetulnya ia tak yakin dengan rencana untuk menelepon teman-temannya ini malam-malam begini. Tapi mau bagaimana lagi? Putra butuh solusi secepatnya dari mereka tentang Sera.
Baru Putra ingin membalas pertanyaan Nathan dan Ragas, suara cantik Giu juga terdengar. "Haiii, we have a space tonight? Siapa yang call duluan? Putra?"
Putra berdehem. "Iya, gua yang call kalian duluan. Kalian free? Gua mau ngomong," ucap Putra makin membuat Sera pasrah saja dengan kelakuan sepupunya itu.
"Of course! Kenapa?"
"Gua free terus, ada apa nih?"
"Sera mana?"
Pertanyaan terakhir dari Nathan membuat Sera menoleh ke arah ponselnya sendiri. Sera berusaha tersenyum walau ia tahu senyumannya itu tak akan terlihat oleh teman-temannya di sana. "Haii!" sapanya ramah, seperti biasanya.
"Sera abis nangis," ucap Putra, melirik ke arah gadis itu. Sera memasang jari telunjuk ke bibirnya. Ah, Putra ini. Tak bisa menjaga rahasia.
Tapi kan, tujuan Putra menelepon mereka untuk memberitahukan hal ini juga? Jadi, Sera bisa apa?
Langsung saja suara heboh Giu terdengar dari sana. Pertanyaan beruntun dari Ragas dan Nathan pun hampir bertabrakan. Mereka membuka suara bersamaan.
"Sera kenapaaa?"
"Nangis? Nangisin apa?"
"Hahahaha akhirnya ketua kelas Alpha Centauri bisa nangis juga."
Putra bercerita panjang lebar kepada ketiga temannya di sana. Sera hanya bisa menggigit kuku jari jempolnya mendengar Putra berbicara. Seolah hal ini adalah hal yang sangat penting untuk dibicarakan mereka malam-malam begini.
"Astagaa, Seraaa jangan sedih mulu ih gue kan udah bilang," kata Giu di seberang sana.
"Gua juga ikut kepikiran, jujur," sahut Ragas. "Samaa, please. Kayak aneh aja gituu," seru Giu lagi.
Sera menghela napas. "Kan," cicitnya menatap Putra kesal. "Udahlah guys kalian nggak harus mikirin masalah gue. Biar gue ajaa, yaaa," lanjutnya.
"Nggak bisa," sanggah Nathan. "Coba dah Ser lo besok bawa rapot lo. Gua mau liat, boleh nggak?"
Pertanyaan Ragas tadi membuat Sera dan Putra saling menatap. "Buat apa?" tanya Sera. "Tapi nggak apa-apa dah, bawa aja kata gua Ser," ucap Putra tiba-tiba setuju dengan perintah Ragas.
"Eh jangan gitu lahh." Giu jadi tak enak hati. "Kasian masa Sera nya."
"Buat mastiin aja, Gi. Nggak gua apa-apain, kok. Emang lo nggak penasaran nilai Sera gimana?"
Mereka berlima terdiam lagi setelah kalimat Ragas berakhir tadi. Tak ada yang berani membuka suara, sampai akhirnya Sera menggigit bibir bawahnya ragu. "Oke, besok gue bawa rapot gue."


Alpha CentauriWhere stories live. Discover now