Permintaan Umi dan Abah

6 2 5
                                    

Tok… tok… tok…

“Dek, makan malam dulu yuk,” ucap Emir seraya mengetuk pintu kamar Ghiska.

Semenjak kejadian tadi sore, putri Tuan Luzman itu mengurung diri di kamar. Bahkan tidak kunjung keluar sampai jam makan malam tiba. Hal tersebut tentunya membuat Emir khawatir.

Sayangnya Ghiska tidak pernah menyahuti ajakan pria yang kini jadi suaminya itu. Di dalam kamar, wanita berkulit putih itu sibuk telponan dengan Alvan. Dia meminta maaf karena sudah tidak acara tadi sore.

Samar-samar Emir mendengar suara Ghiska yang tengah berbincang asik, hingga ajakannya terabaikan. Sakit hati. Tentunya, bagaimana tidak sakit hati mendengar istrinya sibuk bersenda gurau lewat ponsel dengan pria lain, sementara dirinya yang notabene seorang suami malah diabaikan.

Tidak. Emir tidak menuntut agar Ghiska akan melayani dan mengurusnya layaknya seorang istri pada umumnya. Dia hanya berharap sedikit ada kepedulian akan ajakan, tawaran, atau pembicaraan yang dia mulai.  Bukan diabaikan bagaikan patung tak bernyawa.

“Ya sudah, Mas makan dulu ya. Nanti kalau kamu lapar, makannya aku taruh di meja seperti biasa,” pungkas Emir yang akhirnya menyerah karena tidak berhasil mengajak makan malam bersama.

Dengan langkah yang cukup malas, Emir berjalan menuju meja makan. Dia nikmati makan malam yang dia pesan melalui delivery seorang diri.

Ingin sekali rasanya Emir merasakan masakan rumahan, masakan dari tangan seorang istri. Akan tetapi hal tersebut sepertinya hanya mimpi baginya. Jangankan memasak, Ghiska bahkan tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu dan sebagainya.

Drrrttt… drrrtttt…

Sebuah getaran benda pipih yang diletakkan di sebelah peralatan makan membuat Emir mengalihkan perhatian. Netranya memicing saat membaca nama kontak yang tengah menunggu sambungan teleponnya diangkat.

Sejenak ekor mata Emir melirik ke arah jarum jam. Baru lewat waktu isya, tumben sangat ada telepon dari rumah orang tuanya. Apakah ada yang penting?

Dengan cepat pria yang mengenakan kaos berwarna abu muda itu menekan ikon hijau lalu menempelkan ponselnya ke telinga.

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam… alhamdulilah, akhirnya Umi mendengar suaramu, Nak.”

Seulas senyum terpancar dari pria yang memiliki bibir tebal itu. Entah kapan terakhir kali dia tersenyum, semenjak menikahi sang putri sultan, Gus yang terkenal dengan keramahan dan murah senyum tersebut seakan kehilangan jati dirinya.

Bahkan Emir belum berani menerima panggilan ceramah seperti sebelumnya. Putra Kyai Suhud itu bertekad tidak akan menerima panggilan ceramah terlebih dahulu, sebelum bisa membuat Ghiska berubah menjadi lebih baik lagi.

Emir tidak ingin dicap sebagai Gus ataupun kyai yang ‘jarkoni’ dalam bahasa jawanya, dimana berarti bisa mengajarkan tapi tidak bisa melaksanakan. Sebuah pertanyaan dari pegawai rumah makan tempo hari cukup menampar Gus muda itu.

Dimana dia pernah mengajarkan untuk para wanita diharapkan bisa menjadi istri yang baik dan sholehah, bisa membuat suami nyaman di rumah dengan menyediakan makanan kesukaan tanpa harus suami pergi keluar.

Akan tetapi pada kenyataannya, saat ini Emir malah selalu membeli makanan di luar setelah resmi memiliki istri. Sejak saat itu Emir selalu berpikir dua kali untuk menerima panggilan ceramah hingga mengambil keputusan tersebut.

“Ada apa, Umi?” sahut Emir setelah beberapa saat pikirannya berkelana.

“Ada apa. Kamu yang ada apa? Masa semenjak menikah tidak pernah lagi datang ke rumah. Sibuk banget?”

Emir memijat pelan keningnya. Mungkin iya sibuk, tapi bukan sibuk dalam arti tertentu karena pada kenyataannya dia hanya sibuk memikirkan cara dan mengerahkan usaha untuk membuat istrinya berubah. Sayangnya belum berhasil.

“Mmm… keadaan beberapa toko memang sedang butuh perhatian khusus, Umi. Jadi maaf belum sempat ke rumah.”

“Ah, kamu. Bukannya setiap toko sudah ada pegawainya? Tinggalin barang sehari saja masa nggak bisa? Ajaklah Nak Ghiska kesini, biar dia mengenal orang-orang pesantren juga.”

Uhuk…

Emir yang semula sedang minum mendadak tersedak saat uminya meminta Ghiska diajak ke pesantren. Sungguh permintaan yang amat sulit. Mana mungkin Ghiska mau diajak ke pesantren? Sementara diajak makan malam bersama saja sangat sulit.

“Mmm… i-iya, Umi. Besok-besok Emir usahakan. Saat ini Ghiska sedang sibuk dengan persiapan kuliahnya.”

Beruntung Emir memiliki alasan yang tepat untuk menolak permintaan uminya secara halus. Ghiska memang sudah mulai sibuk dengan persiapan kampusnya.

“Ooh… gitu? Ya sudah, nanti kalau waktunya sudah longgar, kesini ya. Abah juga kangen sama kamu itu.”

“Iya, Umi.”

Umi Zulfa pun mengakhiri percakapan dengan salam setelah keinginannya tersampaikan. Kyai Suhud tidak bisa turut berbicara karena sedang ada pengajian rutin di masjid pesantren, beliau hanya menitipkan salam untuk anak dan menantunya.

Emir menghela nafas panjang. Tubuhnya dihempaskan ke sandaran kursi. Sungguh mendadak nafsu makannya hilang setelah mendengar permintaan sang umi. Pria berhidung mancung itu berkali-kali memijat kening memikirkan cara bagaimana bisa mengajak Ghiska pulang ke rumah orang tuanya.

Srak… srak… srak…

Sebuah langkah kaki membuat Emir menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Ghiska telah keluar dan tengah berjalan ke arahnya. Tanpa basa-basi Ghiska langsung mengambil makanan yang memang disiapkan Emir untuknya.

Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut gadis bertubuh jenjang itu. Bahkan untuk sekedar menatap Emir sang suami saja seakan tak sudi.

“Kamu mau kemana, Dek? Makanlah disini,” cegat Emir saat melihat Ghiska membawa makanan dan minuman pergi.

“Sorry ya, nggak sudi makan satu meja denganmu.”

Dengan ketus Ghiska menyahut, bahkan tatapan gadis yang kini mengenakan baby doll berwarna maroon itu seakan jijik pada Emir.

“Oh iya, Umi sama Abah meminta kita datang berkunjung ke pesantren. Kira-kira kapan kamu ada waktu?”

Pertanyaan Emir membuat langkah Ghiska kembali terhenti. “Menikah denganmu saja aku terpaksa. Jangan harap aku akan menganggap keluargamu seperti keluargaku juga. Jangan pernah mimpi!”

Blarrrr…

Sudah sering Ghiska melontarkan kata-kata yang menyakitkan pada Emir. Akan tetapi kali ini benar-benar terasa sakitnya, karena sudah menyangkut kedua orangtuanya. Gus muda itu tidak masalah jika dihina dan direndahkan. Akan tetapi jika sudah menyangkut kedua orangtuanya, ada rasa tidak terima yang meronta.

Akan tetapi belum sempat Emir menyahuti ucapan, Ghiska sudah bergegas menuju kamarnya. Hingga hanya punggungnya saja yang bisa Emir saksikan dan perlahan hilang dibalik pintu.

Fiuuhh…

“Berikan aku kesabaran ya Alloh, dan tolong sentuh hatinya. Lembutkan hatinya agar tidak mengeras layaknya batu. Aku hampir menyerah dan putus asa dalam membimbingnya.”

Emir selalu memanjatkan do’a setiap kali mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari istrinya. Seperti yang pernah Emir pelajar dan dia ajarkan pada jamaahnya, jika menasehati seseorang dengan kata-kata sudah tidak mempan, maka hanya do’a yang bisa dipanjatkan. Meminta kepada Sang Pemilik kehidupan untuk melembutkan hati umatnya tersebut.

****


Imam untuk Putri Sultan Where stories live. Discover now