Istri Durhaka

33 30 1
                                    

Lima belas menit berlalu, Ghiska sudah tidak tahan lagi menahan rasa laparnya. Chatting dengan Alvan yang semula dirasa begitu asyik, kini berubah haluan membuat gadis berambut lurus itu jengkel.

Ya, Ghiska adalah tipe orang yang jika lapar menghampiri maka emosinya memuncak. Sehingga hal-hal yang semula begitu asyik pun bisa membuatnya marah.

Setelah melemparkan ponsel ke kasur, gadis berkulit putih itu berjalan mengendap-endap keluar kamar, menuruni tangga dengan begitu pelan sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar. Sadar Emir sudah tidak di meja makan, dia bergegas membuka lemari tempat biasa untuk menyimpan makanan.

“Wah, apa ini? Enak banget kayanya, bikin makin laper aja,” gumam Ghiska saat aroma makanan menyeruak ke seluruh ruangan begitu lemari dibuka.

Tanpa pikir panjang Ghiska langsung mengambil piring yang sudah berbaris rapi di tempat penirisan. Padahal sebelumnya tidak ada peralatan makan apapun disana. Semua tersimpan rapi di lemari. Emir lah yang mengeluarkan dan mencuci semua peralatan makan dan masak.

Meskipun benda-benda tersebut bersih, akan tetapi karena tidak digunakan dalam jangka waktu lama, Emir memilih untuk membersihkannya demi keamanan dan kesehatan juga.

“Waw, ada jus!”

Ghiska berseru dengan gembira saat menemukan segelas jus jambu di kulkas. Dia langsung menyambar minuman tersebut dan menyantapnya bersama makanan yang baru saja dituangkan ke dalam wadah.

“Ternyata pria matre itu berguna juga.”

Bagi Ghiska, Emir tidak lebih dari pria biasa yang matre karena tahu dirinya adalah Putri Luzman, orang terkaya di Asia. Belum lagi tindakan Emir yang menegur dan membuat video tentang tingkahnya bersama teman-teman saat masih SMA. Sungguh gadis itu menyimpan dendam kesumat.

Jangankan menganggap Emir dan memperlakukan layaknya suami pada umumnya, bahkan memperlakukan sebagai manusia saja tidak. Ghiska selalu ingin membuat Emir tersiksa dan akhirnya menyerah menjadi suaminya.

“Alhamdulillah, akhirnya kamu turun juga. Aku sampai khawatir kamu kenapa-kenapa karena tidak menyahut pas aku panggil.”

Uhuk!

Ghiska tersedak saat tiba-tiba Emir datang dan menegurnya. Hal tersebut membuat Emir merasa bersalah dan segera mengambilkan air minum.

Akan tetapi niat baik pria berhidung mancung itu ditolak mentah-mentah. Ghiska menampik gelas yang disodorkan hingga terjatuh dan menyebabkan bunyi gaduh.

“Maksud kamu apa? Nggak ikhlas kasih aku makan sampe bikin aku keselek? Papaku bisa ganti semuanya sepuluh kali lipat!”

“Nggak. Nggak begitu, Ghiska. Ka-ka…

“Kalau begitu nggak usah bikin kaget bisa kan?”

Ghiska memotong ucapan Emir yang bahkan belum selesai. Hal tersebut membuat harga diri Emir sebagai lelaki sekaligus sebagai seorang suami merasa diinjak-injak. Tidak dihormati bahkan tidak dianggap seperti itu.

“Cukup, Ghiska! Aku ini suami kamu. Tolong hargai sedikit!”

Untuk pertama kalinya Emir berbicara tegas tapi tidak meninggikan suara. Pria mana yang tidak sakit hati dibentak dan dihina oleh seorang wanita yang mana adalah istrinya sendiri?

Cuih…

Ghiska meludah. “Sampai kapanpun aku tidak akan sudi menganggap kamu sebagai suamiku. Kamu hanya pria matre yang berusaha masuk ke dalam keluarga Luzman.”

Merasa terganggu dengan kedatangan Emir, Ghiska memilih pergi ke kamar dengan membawa makanan dan minuman yang belum sempat habis tentunya.

Emir hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. “Astaghfirullahal’adzim. Ampuni aku ya Alloh, belum bisa menuntun istriku menjadi lebih baik.”

Pria beralis tebal itu bergumam sambil menengadahkan kepala serta memejamkan matanya. Selain terluka akan hinaan Ghiska, dia juga merasa berdosa akan tingkah istrinya itu. Seperti kita tahu sendiri, segala dosa wanita yang sudah berumah tangga adalah tanggung jawab suami.

Namun meskipun demikian, bukannya membuat Emir merasa lelah dan menyerah yang ada putra dari Kyai Suhud dan Nyai Zulfa itu malah semakin tertantang. Dia menganggap bahwa Ghiska ada cobaan dalam hidupnya, bagaimana hidup Ghiska kedepannya adalah tergantung dirinya pula.

Mungkin ada sedikit luka dan kecewa atas perlakuan sang istri, tapi kesabaran Emir masih seluas samudera. Yang bisa dilakukan pria itu hanyalah sabar dan selalu berserah diri kepada Alloh SWT.

Emir yakin suatu saat nanti Ghiska bisa berubah, walaupun saatnya itu belum bisa dipastikan kapan akan tiba. Akan tetapi layaknya sebuah batu yang keras jika ditetesi air setiap hari, pasti akan terkikis juga. Begitu pula dengan sifat keras Ghiska yang pasti lama kelamaan akan bisa diluluhkan.

Hari pertama di rumah Jl.Bintang berlalu cukup melelahkan bagi seorang Emir. Bagaimana tidak? Dia harus merangkap pekerjaan suami sekaligus istri seorang diri. Sementara istrinya leha-leha di dalam kamar, bersenda gurau dengan kekasihnya lewat ponsel.

Hingga pagi menjelang pun Emir tidak mendapati istrinya keluar kamar. Bahkan ajakannya untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah tidak mendapatkan respon.

Setelah toko tutup akibat acara pernikahan, kini tiba waktunya Emir untuk kembali membuka toko. Sebenarnya dia hanya datang untuk mengecek, karena sudah ada para pegawai yang bertugas. Karena acara pernikahan dia sendiri, pegawai pun diliburkan beberapa hari.

Hoammm…

“Hei, matre. Kamu sudah siapin sarapan apa untukku?”

Sebuah suara menguap dan pertanyaan khas dari orang yang baru bangun tidur membuat Emir menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Ghiska sedang berdiri di ujung tangga sambil sesekali menggeliat meregangkan tangan.

Sebuah pertanyaan yang terdengar konyol dari seorang istri. Seharusnya dia yang bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami. Ini malah bertanya pada suaminya menu sarapan untuknya.

Sejatinya Emir yang tidak suka berdebat apalagi bertengkar di pagi hari, pria yang sudah mengenakan baju koko berwarna hijau mint itu hanya geleng-geleng kepala sembari menghela nafas.

“Aku tidak menyiapkan sarapan apapun. Tadi hanya beli bubur ayam, aku taruh di meja. Kamu bisa panaskan sendiri.”

Pandangan Ghiska langsung tertuju pada meja makan. “Cuma bubur ayam?”

“Iya. Bagaimana kalau kamu ikut ke toko. Nanti pulangnya kita belanja untuk mengisi keperluan dapur dan lainnya.”

Sebuah tawaran yang terdengar menyenangkan bukan? Apalagi bagi pengantin baru seperti mereka. Berbelanja bersama, memilih bahan makanan sesuai selera masing-masing, mencari perlengkapan rumah yang sekiranya kurang.

Ah, sayangnya itu hanya ada dalam angan-angan Emir saja. Pasalnya pernikahan yang dia alami bukanlah pernikahan bahagia pada umumnya, melainkan pernikahan yang penuh menguji kesabaran.

“Kita? Kamu aja kali. Aku mah ogah. Apa kata dunia nanti? Seorang Putri Luzman berbelanja bahan masakan?”

Ghiska menolak mentah-mentah, gaya berbicaranya pun seakan belanja adalah pekerjaan yang paling hina. Padahal itu hal yang paling menyenangkan bagi kaum istri pada umumnya.

“Emang apa salahnya dengan belanja? Kita akan belanja di supermarket kok, bukan di pasar. Kamu tidak akan kepanasan ataupun kotor.” Emir masih mencoba bernegosiasi.

“Jangan memaksa ya! Memangnya siapa kamu berani mengajakku seperti itu? Aku ini diciptakan untuk menjadi tuan putri, kamu tau ‘kan artinya? Segala sesuatunya terima beres.”

“Sudah sana, jika mau pergi. Muak setiap menit harus liat wajahmu,” lanjut Ghiska mengusir.

****


Imam untuk Putri Sultan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang