Status di atas Kertas

37 32 1
                                    

"Ghiska… bangun yuk, kita sholat subuh," lirih Gus Emir seraya mengguncang tubuh gadis yang telah resmi menjadi istrinya.

Gelar suami dan istri bagi Gus Emir dan Ghiska hanyalah status, karena sampai detik ini mereka masih hidup masing-masing. Bahkan untuk tidur saja tidak satu ranjang, melainkan Gus Emir disuruh untuk tidur di sofa.

Tentunya hal tersebut tanpa sepengetahuan Tuan Faisal dan Nyonya Diana. Ghiska sudah meminta kesepakatan dengan Gus Emir agar hal-hal tersebut hanya rahasia mereka berdua.

"Eeuummhh…" Ghiska melenguh dan meregangkan tubuh. "Apa sih? Aku masih ngantuk tau," lanjutnya yang kemudian berbalik badan.

Gus Emir hanya menghela nafas sambil menggeleng pelan, tapi dia masih mencoba untuk membangunkan sang istri. Karena sholat lima waktu adalah kewajiban semua muslim, dia tidak ingin memiliki istri yang lalai dalam sholat.

"Ghiska… Ayo bangun dulu, habis sholat boleh deh lanjutin tidurnya," ucap Gus Emir mencoba bernegosiasi.

Sayangnya tawaran tersebut pun tidak diindahkan oleh putri Luzman. Gadis berwajah tirus itu malah semakin pulas dalam mengarungi dunia mimpi.

Hal itu membuat pria berbadan tegap itu memutar otak, bagaimana caranya agar Ghiska mau bangun dan sholat subuh. Mendadak sebuah ide terlintas di benak Gus Emir, kedua sudut bibirnya terangkat dan wajahnya pun berbinar.

"Maaf jika sedikit mengejutkanmu istriku, tapi kamu yang memaksaku untuk melakukan ini," lirih Gus Emir seraya mendekatkan diri pada sang istri.

Cup!

Satu kecupan mendarat di kening Ghiska, sontak saja hal itu membuat sang empunya mengerjapkan mata dan terbuka. Iris coklat gadis itu membulat sempurna, bahkan hampir saja lepas dari tempatnya.

"Hei! apa-apaan kamu?" seru Ghiska seraya bangkit dari tidurnya.

Kedua tangannya bergerak mengusap kening yang baru saja dikecup Gus Emir. Wajahnya langsung merah padam karena tidak suka dengan perlakuan pria tampan tersebut.

"Berani-beraninya kamu mencium keningku! Kamu pikir kamu itu siapa? Hah!" tanya Ghiska berapi-api.

"Astaghfirullah… Ghiska, biar begini aku ini suami kamu. Jadi sah saja kalau aku menyentuh bagian tubuhmu."

"Tidak! Kamu bukan suamiku! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi jadi istri kamu."

Gadis berkulit putih itu kemudian beranjak menuju kamar mandi. Gus Emir hanya menghela nafas, bersabar mendapatkan perilaku yang didapatkan dari sang istri.

Akibat insiden pagi ini, suasana hati Ghiska sungguh berantakan. Dia memasang wajah yang muram, seakan menabuh gendera perang dengan Gus Emir.

Bahkan saat di meja makan bersama kedua orang tuanya, dia tidak begitu peduli dengan suaminya. Ghiska tidak melayani Gus Emir layaknya seorang istri pada umumnya.

Hal tersebut membuat Tuan Faisal dan Nyonya Diana beradu tatap. Mereka saling memberi kode, bertanya apa yang tengah terjadi. Tapi keduanya pun hanya mengedikkan bahu, karena tidak mengerti dengan gelagat yang ditunjukkan Ghiska maupun Gus Emir.

"Ghiska… itu suaminya tidak diambilkan nasi atau sayur gitu?" tanya Nyonya Diana dengan suara yang sangat pelan.

Baik Nyonya Diana maupun Tuan Faisal tahu betul karakter Ghiska, putri tunggal mereka itu tidak bisa dibentak jika sedang ngambek. Kecuali jika menjawal seperti saat akan dijodohkan, itu beda lagi ceritanya.

"Tidak papa kok, Ma. Emir bisa ambil sendiri," sahut Gus Emir mendahului.

Ghiska yang sudah menikmati sarapannya hanya melirik ke arah sang suami yang sedang mengambil nasi beserta sayur dan lauk pauk. "Tuh, kan, Mama dengar sendiri?" ucapnya dengan begitu santai.

Akhirnya Nyonya Diana hanya mengangguk paham dan tidak berani untuk bertanya-tanya lagi. Acara sarapan berlangsung dengan sangat hening, tidak ada yang saling berbicara lagi. Hanya ada suara denting sendok yang saling bersahutan.

"Mmm… Ma, Pa. Ghiska sama Mas Emir mau nempatin rumah yang ada Jl. Bintang boleh ya?" celetuk Ghiska tiba-tiba.

Mereka sudah hampir selesai sarapan, hingga ucapan sang putri membuat semua terkejut termasuk Gus Emir sendiri. Pasalnya sebelumnya Ghiska tidak bilang apapun perihal pindah rumah.

"Kenapa, Nak? Disini juga luas, masih cukup untuk tinggal kita berempat."

Tentunya Tuan Faisal tidak begitu saja mengizinkan. Selain letak rumah tersebut cukup jauh, dia juga sudah terbiasa hidup berdekatan dengan putrinya, meskipun kadang sikap sang putri sering membuat naik darah.

"Ya…

Ghiska menjelaskan bahwa saat ini dia sudah berumah tangga. Alangkah baiknya kehidupan keluarga dimulai dengan mandiri. Jadi tidak apapun serba tergantung pada orang tua.

Di rumah sana nantinya peran Ghiska dan Gus Emir sebagai pasangan akan berfungsi, mereka bisa bekerja sama dalam urusan rumah, kebutuhan ini itu dan banyak lagi.

"Masya Allah… ternyata pernikahan ini membuat putri kita menjadi begitu dewasa ya, Ma? Papa tidak menyangka," jawab Tuan Faisal dengan wajah yang berseri.

"Iya, Pa. Mama juga bangga, ternyata keputusan kita untuk menikahkan Ghiska cukup dini membawa berkah."

Sebagai sumber yang sedang dibicarakan, Ghiska hanya mengulum senyum seraya melirik ke arah Gus Emir. Dia menatap tajam ke arah pria itu, diminta untuk setuju dengan gagasannya.

Putra Kyai Suhud itu memicingkan mata, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dibalik permintaan istrinya. Tapi ada benarnya juga jika dia bersama sang istri untuk tinggal sendiri.

"Jadi bagaimana Gus Emir? Apakah ini benar kesepakatan kalian berdua?"

"Emir, saja, Pa. Aku, kan, sudah jadi anak Papa sama Mama. Jadi tidak perlu menambahkan Gus seperti itu."

"Mmm… Ya, ya, ya. Jadi bagaimana, Nak Emir?" ucap Tuan Faisal meralat kata-katanya.

"Iya, Pa. Lebih baik memang seperti itu. Dalam agama pun dianjurkan setiap pasangan yang sudah berkeluarga, jika ada, alangkah baiknya hidup di rumah sendiri. Tapi…

" Tapi kenapa, Nak Emir?"

Ghiska langsung terbelalak mendengar kata 'tapi' keluar dari mulut Gus Emir. Dia sangat takut jika suaminya itu akan mengadukan semua yang telah terjadi diantara mereka berdua.

Putra Kyai Suhud itu menyatakan keberatannya, karena harus menumpang di rumah keluarga Luzman. Sebenarnya dianjurkan adalah rumah milik pasangan berdua yang didapat dari hasil jerih payah bersama. Atau kalau bisa rumah sang suami sendiri, dihadiahkan kepada istrinya.

Namun sayangnya, Gus Emir belum bisa melakukan itu semua. Pernikahan yang mendadak, membuat dia belum memiliki tabungan yang cukup.

Terlebih dia hanya memiliki usaha toko alat tulis dan kelontong, disamping kegiatannya berdakwah dari satu tempat ke tempat lain.Mendengar alasan tersebut membuat keluarga Luzman tergelak.

"Untuk masalah tersebut jangan khawatir, karena semua milik kami juga nantinya akan menjadi milik Ghiska bersama suami dan anak-anak nya. Jadi tidak perlu merasa tidak enak seperti itu," papar Tuan Faisal.

Ghiska menatap tajam ke arah Gus Emir, saat mendengar papanya mengatakan semua harta kekayaan keluarga Luzman akan menjadi miliknya bersama Gus Emir.

'Ini, kan, yang kamu mau?' batinnya seakan menghina Gus Emir.

***

Imam untuk Putri Sultan Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon