03. Seorang Gitaris yang Tinggal Sendiri

7 0 0
                                    

Kalau ada seseorang yang bisa menggambarkan istilah "anak rumahan" dengan tepat, maka sudah pasti Jihoon-lah orangnya. Oh, perkenalkan. Lee Jihoon, seorang penggila musik yang (kelihatannya) pengangguran. Padahal, dia adalah salah satu orang kaya yang bekerja dalam rumah dengan hanya mengetik, membuat musik, dan voila, jutaan won mengalir dalam rekening.

Alasannya untuk pindah ke kamar kos-kosan kecil bukanlah sebab ia tidak punya uang dan ingin menghemat seperti rata-rata penghuni di sini, melainkan sebab ia bosan dan ingin mencari suasana yang baru. Bisakah kau percaya itu?

Awal Seokmin mendengarnya, jelas ia tidak percaya.

Maksudnya, Lee Jihoon yang terlihat bukanlah seperti orang-orang kaya yang ia sering lihat jalan mondar-mandir di daerahn Gangnam, dengan tampilan stylish dan barang mewah mereka. Lee Jihoon di mata Seokmin hanyalah seorang pemuda seperempat baya dengan janggut tipis dan rambut berminyak yang sering diikat satu sebab terlalu panjang dan mengganggu mata.

Ia sering memakai kaos kedodoran dan celana pendek yang sering ternoda saos. Antara jorok, malas, atau memang terlalu sibuk untuk memainkan gitarnya, Seokmin tak tahu. Yang jelas, Jihoon tidak terlihat seperti orang kaya baginya.

Sampai peristiwa itu terjadi.

"Oi, Seokmin! Kau baru pulang sekolah?" Jihoon memanggil dari dalam kamar. Pintunya setengah terbuka dan Seokmin melongok masuk.

"Kak, kau di dalam?"

"Ya. Kemarilah!"

Seokmin bingung mengapa pintu terbuka dan beberapa kardus diletakkan di depan. Jadi ia melangkah dengan penasaran. "Ada apa dengan barang-barang di depan? Apa ada yang mau pindah?"

"Tidak, tentu tidak." Jihoon tengah mengangkat kardus-kardus lama berisikan kaset bekas. Ia menoleh sebentar untuk melihat Seokmin. "Tolong angkatkan ini keluar. Aku ingin membereskan koleksi-koleksi lama ini."

Dan, ia melakukannya.

Seokmin hendak pulang, tapi setiap mengingat bahwa bila ia pulang ia harus bertemu Mingyu dengan segala permintaannya, Seokmin lebih memilih untuk membantu Jihoon saja. Setidaknya, Jihoon jarang protes terhadap kinerjanya. Ia juga tidak banyak request.

Setelah lima belas menit membantu, Jihoon memberikannya sebuah kotak.

Seokmin mengernyit, mengira bahwa ada kaset bekas yang tertinggal. "Apa kau mau aku mengeluarkannya juga?"

Tapi yang ditanya hanya menggeleng aras-arasan. "Oh, tidak. Itu buatmu."

"Buatku?"

Seokmin membukanya. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat itu. Ia mengira itu hanya berisi barang-barang receh, tetapi di dalamnya adalah Sepatu Nike dengan model terbaru. Seingatnya, itu seharga jutaan won. Bahkan bila ia menabung tiga bulan penuh, uang jajannya tidak akan cukup untuk membeli sepatu itu.

Ia memelotot menatap Jihoon.

"Ada banyak. Aku tidak sengaja membeli ukuran yang besar."

"K-kau serius?" Seokmin nyaris memekik.

Jihoon memicingkan mata. "Kau?" katanya tak percaya. "Beraninya kau berbicara banmal padaku yang lebih tua!"

"Oh, m-maaf, kak. Maksudku, kakak serius? Ini Sepatu yang mahal! Aku tidak akan bisa membeli ini walau menghemat tiga bulan."

Jihoon hanya mengendik santai. "Tidak usah berhemat tiga bulan, kau sudah bisa mengenakannya sekarang."

"Yey!" Seokmin bersorak girang. Ia memeluk sepatu itu bak anaknya sendiri. "Terima kasih, Kak! Kakak yang terbaik!"

Hari itu ia pulang dengan langkah mengendap-endap, sengaja menyembunyikan sepatunya di kolong kasur agar tidak ketahuan Mingyu. Persetan apa pekerjaan Jihoon, yang jelas ia adalah hyung terbaik yang pernah Seokmin kenal—salah satu alasan ia tidak menyesal walau harus tinggal dalam kos-kosan murah di daerah pinggiran. []

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fighting - Seventeen FanfictionWhere stories live. Discover now