3

901 105 10
                                    

Lelaki itu menatap Sirius lalu mengalihkan pandangan ke api yang menyala, membakar tumpukan dedaunan kering yang sudah dikumpulkan oleh tukang kebun. Di balik tumpukan daun-daun itu, ada tas cokelat Harry yang berisi pakaiannya.

“Jangan sampai ada yang tersisa, pastikan itu.” gumamnya tegas.

Sirius menganggukkan kepalanya, “Baik, Tuan Voldemort.”

Lelaki itu mengernyit mendengar panggilan itu, lalu tertawa terbahak-bahak, “Betapa aku merindukan panggilan itu. Dan hanya kau, Sirius, pelayanku yang setia yang berani memanggilku seperti itu.”

“Aku selalu setia kepada kalian berdua.” jawab Sirius, suaranya masih datar. Voldemort tersenyum lambat-lambat, kebiasaannya, kalau dia ingin memerangkap seseorang.

“Benarkah? Mungkin kau memang setia pada Tom. Tapi padaku?” dengan pelan Voldemort beranjak tepat di hadapan Sirius yang mulai kehilangan topeng datarnya, pelayan tua itu mulai kelihatan gelisah.

“Aku setia kepada kalian berdua, aku pastikan itu.” jawab Sirius cepat-cepat.

“Kau memang harus setia kepadaku,” gumam Voldemort dengan nada malasnya yang biasa, “Karena kalau tidak … Aku akan marah. Dan kalau aku marah … Ah, tidak perlu ku jelaskan, kau sudah tahu bukan?” Voldemort tersenyum sangat manis.

Wajah Sirius pucat pasi, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dia tidak suka kalau harus terpaksa mendampingi dan berbicara dengan tuannya yang satu ini. Rasanya seperti berhadapan dengan serigala buas, yang memutuskan untuk bermain-main dulu sebelum memangsa korbannya.

Ah …. Kenapa Tuan Tom tidak muncul-muncul?

“Aku bersumpah tidak akan berkhianat.” gumam Sirius akhirnya.

Voldemort terkekeh. “Ya … Ya … Karena kalau tidak, aku akan pastikan tidak akan ada yang selamat dari kecelakaan yang kedua kalinya,” Voldemort menoleh, senyumnya hilang dan menatap Sirius tajam, “Kecelakaan yang pertama itu hanyalah peringatan. Menunjukkan apa yang bisa kulakukan kepada keluargamu kalau kau sampai berani berulah lagi, tapi aku tidak akan main-main pada kecelakaan yang kedua, kau tentunya mengerti, kan?”

Sirius mengernyit, lalu cepat-cepat menganggukkan kepalanya. Anak gadisnya dan menantunya mengalami kecelakaan parah di jalan pulang menuju rumah mereka tiga tahun lalu. Sebuah mobil dengan sengaja menabrakkan diri ke mobil mereka. Pengemudi mobil itu mati seketika, tetapi anak dan menantunya bisa diselamatkan meskipun terluka parah. Dan semua itu terjadi setelah Sirius mencoba mengingatkan kakek Harry bahwa ada bahaya yang mengintai cucu mereka.

Senyum Voldemort muncul lagi melihat kernyitan Sirius, dia lalu menatap Sirius ramah, “Bukankah kau seharusnya berterimakasih padaku karena kebaikan hatiku?” gumamnya ramah.

Sirius segera menganggukkan kepalanya, takut kalau dia tidak segera menjawab, tuannya yang menakutkan ini akan marah, “Te … Terima kasih, Tuan Voldemort.”

Voldemort terkekeh mendengarnya, tampak puas. “Dan kudengar anak perempuanmu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, ya? Cucu pertamamu?”

Sirius langsung pucat pasi begitu Voldemort mengucapkan hal itu di depannya. Tidak mungkin kan tuannya ini tega menyakiti bayi kecil yang tidak berdaya? Tapi Sirius kemudian menatap mata yang bersinar keji itu dan menyadari kalau Voldemort pasti mampu melakukannya. Lelaki ini tidak punya setitikpun belas kasihan di hatinya.

“Aku bersumpah akan setia kepada mu, Tuan Voldemort. Tapi aku mohon, jangan sakiti cucuku. Dia masih kecil.”

“Hei … Kau menghinaku,” Voldemort terkekeh, “Aku sedang berpikir untuk mengirimkan kartu ucapan dan hadiah untuk anak dan cucumu. Lagipula kau tidak berpikir aku tega menyakiti anak kecil, bukan?” Sirius menatap Voldemort dan bulu kuduknya berdiri. Voldemort mampu, dan dengan kata-katanya yang tersirat itu, Voldemort memastikan kalau Sirius tahu bahwa Voldemort mampu menyakiti anak kecil yang paling tidak berdosa sekalipun.

From The Darkest Side | Tomarry [ON GOING]Where stories live. Discover now