PART 1: CHAPTER 4

6 1 0
                                    

Dari kejauhan, bersembunyi di balik semak-semak, Ron dan Adi memantau Cantik. Dedahan dedaunan dan cabang-cabang pohon adalah lapisan pelindung, seolah-olah mereka adalah sayap lembut yang melindungi mereka dari pantauan anak-anak OSIS. Bibir Ron menipis, dan otaknya dipenuhi dengan berbagai posibilitas yang akan menempatkan mereka dalam bahaya yang parah. Karena begitulah cara kerja otaknya; semua hal buruk akan diperhatikan, dan dilebihkan; semua hal baik, tidak diperhatikan, tidak dipedulikan, dan dianggap fiksi.

Orang-orang menyebut sifat ini pesimis, tapi Ron menganggap sifat tersebut sifat realistis. Dia tidak memiliki waktu untuk tenang, untuk menunggu, untuk membiarkan takdir mengarahkan jalannya. Selalu berencana, dan selalu membuat rencana jaga-jaga rencananya gagal—itulah motto hidupnya. Karena sampai kapanpun juga, ada satu rencana pasti akan ada yang gagal. Pertanyaannya: yang mana?

Punggung Cantik membelakangi mereka, jadi Ron tidak bisa melihat ekspresinya, tetapi dia tidak perlu melihat wajahnya agar dia tahu bahwa Cantik pasti merasa sangat, amat tidak nyaman.

Di pinggir dia, dengan wajah polosnya yang wajib ditonjok, Adi bertanya, "Emang mereka teh saling kenal, atawa kumaha?" (Atawa kumaha = atau gimana.)

Ron mengerutkan alisnya. Kok, dia bisa tidak tahu, ya? "Bukan cuma kenal aja, cok." Adi menatapnya. Ron menghembuskan nafas. Wow, dia betul-betul tidak tahu. Beneran NPC, ni orang. "Dulu teh mereka pacaran, yang bener-bener serius. Kek, ke kantin bareng, pulang-pergi bareng, callan tiap malem sampei begadang."

Populasi dari murid-murid sekolah dibagi menjadi 2 jenis: orang-orang yang mengidealisasikan hubungan mereka, dan orang-orang yang muak dengan hubungan mereka. Setiap kali ada cowok yang mendekati cewek, teman-temannya selalu mengingatkannya, "Jangan kayak Karl, ya..." Dan setiap kali ada cewek yang naksir pada cowok, teman-temannya selalu mengingatkannya, "Mau segimanapun itu cowok, dia bukan Karl..."

Sudah jelas sekali bahwa Karl lebih menginginkan Cantik daripada kebalikannya. Setiap kali Karl memandangnya, mata dia seperti mata Shah Rukh Khan di film Om Shanti Om. Sementara, Cantik memandangnya balik seolah-olah Karl adalah film Oppenheimer. Memang, Cantik tertarik, tapi se-tertariknya dia dengan film itu, masih ada film Barbie, yang penuh dengan warna pink, estetik lucu, dan outfit yang wajib dimasukkan ke dalam Pinterest board-nya. Dalam kasus ini, Teddy-lah film Barbie tersebut.

Ron sendiri percaya bahwa Cantik tidak memiliki perasaan asli terhadap Karl. Mungkin dia berpikir Karl memiliki wajah yang enak untuk dipandang, tapi itu saja. Tidak ada sifat lain dari Karl yang membuatnya lebih "wah" daripada cowok lain.

Sepertinya Adi memiliki teori yang sama, karena dia bilang, "Oh, Cantik mutusin ya?"

Memang, benar. Cantik memutuskan Karl.

Tetapi, sayangnya, ceritanya tidak sesimpel itu.

SEMENTARA...

Karl tahu dia seharusnya menenangkan diri dia sendiri. Menarik nafas yang dalam, dan mengeluarkan nafas yang panjang. Mencoba menggunakan otaknya, bukan perasaannya.

Tapi dia hanya manusia.

Dan dia sedang menghadapi wanita yang telah meretakkan hatinya. Setiap detik terasa seperti angin sepoi yang dingin yang menusuk hatinya. Di dada Karl tersiratkan kabut yang tebal. Dia terombang-ambing antara rasa kehilangan, kemarahan, dan keinginan untuk melupakan dan dorongan untuk memahami apa yang telah terjadi.

Jujur saja, dia tidak ingin memahami apa yang telah terjadi. Dia tidak ingin memahami apapun. Kabutnya terlalu tebal, dan kabutnya merampas keinginannya untuk menjadi lelaki yang dewasa. "Bisa-bisanya kamu ngedeketin aku gini," dia bilang, kesinisannya bagaikan ular yang mendesis, penuh dengan bisa.

Kabur Dari PenjaraWhere stories live. Discover now