2

1 1 0
                                    

"So, euh...gadis Prancis," Chester memulai. "Berapa lama program pertukaran pelajarmu disini?" Sebutan Chester untuknya membuat Hazel mendongakkan kepalanya dan menatap Chester. Gadis Prancis? Boleh juga, batin Hazel. "Hm...dua bulan," namun beberapa saat kemudian, Hazel tertawa dan Chester yang melihatnya—tanpa sadar membuatnya ikut tertawa juga. "Hey, apa yang membuatmu tertawa?" Tawa Hazel perlahan mereda, dan ia kembali menatap Chester. "Heh, tadi kau memanggilku nerd, dan sekarang gadis Prancis. Padahal aku sudah memperkenalkan diriku di kelas tadi," ucap Hazel yang kembali terkekeh. "Tapi bukan berarti aku marah saat kau memanggilku begitu. Aku merasa panggilan itu sangat lucu."

Chester menatap Hazel yang sudah berhenti tertawa, teringat peristiwa tadi pagi saat ia menabrak Hazel dengan keras. Ia mengusap belakang lehernya. "Hey, soal tadi pagi...sorry. Aku tidak pernah meminta maaf pada orang yang sudah ku tabrak, tapi kini aku merasa bersalah karena sudah menabrakmu sekeras itu." Hazel menoleh ke Chester, menghembuskan napasnya dan tersenyum. "Sudah lah, lupakan saja. Lagipula, tidak baik menyimpan kenangan buruk." Chester kembali menatap Hazel, ekspresinya tidak berubah. "Dan untuk panggilan nerd itu...aku tidak berniat mengejekmu. Aku hanya tidak tahu namamu." Chester berdalih. "Kau tidak tahu? Serius," Hazel berkedip beberapa kali, sebelum terkekeh lagi. "Apa 'Hazel' sulit untuk diingat?" Mendengar nada bercanda Hazel, membuat ekspresi Chester kembali rileks. "Nama yang sangat indah dan mudah untuk diingat. Bangku belakang sangat ribut sampai aku tidak mendengar namamu." Hazel mengibaskan tangannya, tidak masalah dengan itu. "Tidak masalah. Dan...namamu?" Hazel mengulurkan tangannya, dan Chester menjabat tangannya. "Chester. Oh ya, bagaimana opinimu tentang diriku? Apakah aku sudah membuat kesan pertama yang bagus sejauh ini?"

"Hmm, yah, sedikit. Walaupun kau membuat kesan 'pembuli' di awal karena memanggilku nerd." Hazel mengendikkan bahu, namun tetap tersenyum. "Heh, aku tidak bisa tidak memanggilmu nerd. Kau adalah nerd yang manis." Ucapan Chester membuat Hazel terdiam sementara, tidak bisa menahan senyumnya dan perlahan pipinya merona. Chester yang melihatnya pun tersenyum miring, dan senyum Hazel membuat perasaannya senang. "Kau terlihat manis saat tersenyum. Kau tahu? Jika aku tidak dalam hubungan sekarang, aku pasti akan mengajakmu kencan." Chester berkata, kembali merangkul Hazel dan menariknya lebih dekat. "Oh? Kau sudah memiliki kekasih?" Chester mengangguk. "Ya. Dia adalah gadis tercantik di sekolah ini. Hebat kan? Kami sudah bersama selama satu bulan sekarang." Hazel menepuk tangannya. "Wow! Selamat kalau begitu! Tapi jika dia melihat kita berdua, dia mungkin akan marah. Jadi kau harus pergi." Chester mengibaskan tangannya, memberi gestur agar tetap berjalan.

"Aku mengenalnya. Dia bukan tipe orang yang posesif terhadap kekasihnya, jadi tidak masalah jika aku menemani teman perempuanku pulang," Ucapnya sembari mengedipkan sebelah matanya. "Tapi aku berkata jujur. Jika aku tidak dalam hubungan sekarang, aku akan mengajakmu kencan." Hazel menunduk, mengendikkan bahunya dan tersenyum tipis.

"Mungkin di kehidupan lain."

Chester menghela napasnya dengan dramatis. "Yah, mungkin di kehidupan lain. By the way, kau tidak berencana menghabiskan waktu di Jakarta hanya untuk belajar, kan?" Hazel mendongak, menaikkan alisnya. "Hm? Memangnya kenapa?" Chester tersenyum lebar, tetap menatap ke depan. "Aku berencana mengajakmu ke tempat-tempat indah di Jakarta setiap hari minggu. Bagaimana?" Tanpa mereka ketahui, seseorang mengamati mereka dari jauh, namun memilih untuk diam.

Hazel mendongak, menatap Chester dengan mata berbinar. "Kau serius?" Chester mengangguk, dan tanpa mereka sadari, mereka sudah sampai di depan rumah tempat Hazel tinggal selama dua bulan ke depan. "Akan ku pastikan waktumu disini tidak membosankan." Ucap Chester dengan menepuk pelan kepala Hazel. "Aku akan sangat menantinya!" Jawab Hazel antusias. Sadar ia telah sampai di rumahnya, Hazel menatap Chester. "Aku akan masuk. Keluarga disini pasti menungguku." Chester mengangguk. "Kalau begitu, see you on Sunday." Hazel melambaikan tangan, dan Chester berbalik pergi.

Di malam hari, Chester menunggu seseorang di café dengan bosan. "Sayang!" Chester mendongak, dan perempuan itu langsung memeluk Chester. "Maaf karena aku terlambat." Chester menepuk punggungnya pelan. "Tidak masalah, Aireen. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu." Aireen melepas Chester, dan duduk di depannya. "Kau yang terbaik! Aku memang sudah lapar," Ketika makanan telah disajikan, Aireen memandangnya dengan ragu. "Uhm...tadi sore, kau bicara dengan siapa?" Chester mengunyah makanannya, dan menjawab dengan mulut berisi makanan. "Ah, itu, murid pertukaran pelajar dari Prancis. Namanya Hazel. Dia akan belajar di kelasku selama dua bulan." Aireen mengangguk mengerti, kemudian memakan makanannya. "Hm...Dua bulan ya? Itu waktu yang cukup lama."

Chester menelan makanannya, dan menatap Aireen. "Itu tergolong waktu yang singkat, lho. Memangnya kenapa?" Aireen menunduk, perlahan ikut menyantap makanannya. "Kau terlihat sangat dekat dengannya." Chester terdiam, namun terkekeh setelahnya. "Jangan bilang kau cemburu? Tenang saja, dia hanya temanku. Aku jamin." Aireen cemberut, alisnya menekuk. "Aku tidak cemburu! Aku hanya bertanya saja." Dari dalam lubuk hatinya, Aireen merasa sedikit lega. Namun masih tetap ada rasa tidak tenang di hatinya.

Sesuai janjinya, Chester menjemput Hazel ke rumahnya di hari Minggu. Chester mengetuk pintu, dan dibuka oleh wanita pemilik rumah. "Ah, kau pasti anak yang diceritakan Hazel itu, ya." Chester menatap wanita itu dengan bingung. Namun sebelum sempat menjawab, Hazel keluar dengan semangat. "Hi! I didn't expect you to actually come!" Chester tersenyum, hampir menampakkan giginya. "I also didn't expect you to actually get ready." Hazel terkekeh, dan menghadap wanita yang ia anggap seperti bibinya.

"Auntie, Dia adalah Chester. Aku akan pergi dengannya." Wanita itu hanya tersenyum dan mengangguk, lalu menatap Chester. "Nak Chester, tolong jaga Hazel dengan baik, ya. Dia masih baru disini, dan juga belum terlalu mengerti Bahasa Indonesia. Jangan biarkan dia sendirian." Chester kemudian tersenyum meyakinkan. "Tenang saja, bi. Aku tidak akan membiarkan gadis Prancis yang lugu ini sendirian di kota Jakarta." Hazel yang tidak mengerti, hanya bisa memandang mereka. "Kalian bicara apa?" Bibinya terkekeh, kemudian menggeleng. "Tidak ada. Jangan pulang terlalu malam, ya." Hazel mengangguk, dan memeluk bibinya, kemudian berjalan dengan Chester. "Aku pergi dulu!"

Adrian & AdrienneWhere stories live. Discover now