VII. Suara yang Tak Terjawab

36 11 7
                                    

“𝖄𝖔𝖚 𝖍𝖆𝖛𝖊 𝖙𝖔 𝖑𝖎𝖘𝖙𝖊𝖓 𝖙𝖔 𝖙𝖍𝖊 𝖘𝖔𝖚𝖑𝖘'𝖘 𝖛𝖔𝖎𝖈𝖊𝖘.”

Ranjang kamarnya yang empuk menjadi satu-satunya tujuan Luna saat ini

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

Ranjang kamarnya yang empuk menjadi satu-satunya tujuan Luna saat ini. Ia meraskan seolah-olah tubuhnya menua dalam satu hari. Otot-ototnya pegal akibat duduk tegak dalam posisi bersila selama lebih dari dua jam tanpa istirahat. Sementara jantungnya sedari tadi dipermainkan oleh Lucius. Entah berapa kali dia sudah berusaha membunuh Luna.

Gadis itu harus waspada. Hari-hari latihannya bersama Lucius jauh dari kata menyenangkan, mungkin bisa disebut mimpi buruk. Dia yang dianggap sempurna sebagai mentor oleh Kepala Akademi itu hanyalah pembunuh berkedok pelatih. Hari ini Lucius bahkan mencoba menabrakkan sapu terbangnya berulang kali ke arah Luna dalam pelajaran terbang. Untung saja Luna pandai berkelit, kalau tidak sekarang tubuhnya sudah berakhir entah di unit kesehatan atau mungkin di akhirat. Sebab terjatuh dari ketinggian sepuluh meter di atas permukaan tanah dapat membuatnya cidera berat atau meregang nyawa.

Luna tidak pernah menjadi gadis yang gemar mengadu. Tapi masalah ini berbeda, menyangkut nyawa. Ketika dia menceritakan masalah ini pada Odelia, sang Kepala Akademi harusnya memperhatikan dan prihatin kepadanya, lalu mencari penyihir pengganti untuk mentor Luna yang baru. Namun Odelia yang memang agak ... 'berbeda' dari penyihir kebanyakan justru tertawa mendengar cerita Luna. Dia menganggap Lucius hanya ingin mendisiplinkan gadis itu dan membuatnya agar menguasai pelajaran dengan cepat hanya saja caranya agak ekstrem.

Agak ekstrem. Ya, nyaris membunuh dengan sengaja adalah tindakan yang agak ekstrem.

Untuk yang kedua kalinya, dia menganggap bibinya memang agak sinting.

Mengingat esok hari dia harus bangun dan kembali bertemu dengan si pemuda sombong yang kapan saja bisa membunuhnya kalau dia tak melakukan latihan dengan sungguh-sungguh, membuat Luna tak ingin tinggal lebih lama di Althoria.

Dia ingin pulang. Dia rindu Bibi Lia. Dia ingin memanggang kue lagi. Tinggal di dunia yang sepenuhnya asing bagi Luna membuat gadis itu merasa kesepian. Terlalu banyak orang yang membencinya hanya karena statusnya sebagai penyihir hitam. Luna tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Sebab dia mungkin akan berlaku sama begitu mendengar istilah 'penyihir hitam'.

"Omong-omong bagaimana kabar Bibi sekarang ya?" gumam Luna.

Tubuhnya terbaring di atas ranjang dengan posisi menyerupai bintang laut. Helaan napas beratnya membuat gadis itu terlihat seperti nenek-nenek. Jam dinding belum menunjukkan pukul delapan, tapi dia benar-benar sudah mengantuk. Tenaganya sudah terkuras habis.

Aileen keluar dari kamar mandi. Aroma kamboja dan vanilla menguar dari tubuhnya yang baru saja berendam di taburan bunga Loubris. Gadis itu kemudian terhenti dan menatap heran ke arah Luna. "Em ... kau baik-baik saja?"

Luna hanya menoleh ke arah suara dan mengacungkan tangan. Jempol dan telunjuknya saling bersentuhan, membentuk lingkaran. "Yeah, kurasa."

"Ayo, kita pergi ke cafetaria. Mungkin setelah itu kau akan merasa lebih baik. Kau belum makan malam kan?" tanya Aileen nampak bersemangat sebelum suara gemuruh terdengar nyaring dari perutnya. Kemudian gadis itu hanya menyeringai malu. "Aku sudah lapar."

The Altered History of AlthoriaDär berättelser lever. Upptäck nu