OSS #1: Senin Tak Sesuai Ekspektasi

122 12 13
                                    


KONON, Senin adalah musuh sejuta umat.

Datangnya lebih cepat padahal tiada di tunggu-tunggu.

Sebagai remaja tujuh belas tahun yang melabeli dirinya si pecinta hari libur, Bayu tentu masuk kategori orang-orang yang kurang menyukai hari Senin. Namun, tidak seperti sang adik yang mengeluh dengan wajah masam serta tubuh yang malas-malasan menuju kamar mandi, Bayu menyambut pagi itu dengan ceria. Ia tentu lebih suka menghabiskan waktu untuk bermain game atau tidur seharian tanpa diganggu daripada berpakaian rapi di pagi hari untuk kemudian berangkat ke sekolah. Baginya setidak suka apa pun pada hari Senin, ia tetap tidak boleh mengukir ekspresi kecut. Awali harimu dengan riang, sebab mood yang bagus kemungkinan besar dapat membawa dampak baik untukmu juga. Gitu sih kalau kata Budhe penjual es cincau di rumah sebelah. Lantas hal itu Bayu terapkan setiap hari.

Pemikiran yang sangat positif. Bima-adik Bayu-mencibir sedetik kemudian, "nggak ngaruh."

Bocah itu menaruh setengah potongan nugget ayam ke atas gunungan nasi di sendoknya, dengan mulut terbuka lebar, menyuapnya lahap. Pipinya yang gembil semakin besar saat mengunyah, seakan sewaktu-waktu bisa saja meledak. Abah yang duduk di sebelah bocah itu tak tahan untuk tidak menempelkan jarinya pada pipi sang cucu. Pria tua itu terkekeh, mendapat kesenangannya sendiri. Orang-orang di sekeliling meja terbahak-kecuali si anak sulung-kontras dengan Bima yang merengut.

"Mau nyambut dengan ceria atau enggak, buatku hari Senin itu tetap nyebelin! Senin itu musuh, titik!" ujar Bima setelah menelan kunyahan dalam mulutnya. "Masa, pelajaran pertamanya MTK sih? Aku nggak suka banget."

"Oh, jadi gara-gara itu kamu nggak suka hari Senin?" kata Bayu. Bima mengangguk kuat-kuat. "Terus hari ini ada ulangan harian-duh, malesin banget! Nggak tahu ya, aku ngerasa hari ini bakal nyebelin, deh. Makanya, dari sekarang aku nggak mau berekspektasi lebih."

Kekehan yang sarat oleh rasa gemas lagi-lagi memenuhi meja makan. Bayu tak bisa menahan untuk tidak mencubit pipi gembul adiknya. "Yah, kalau gitu sih, Mas juga bakal sebel. Tapi Mas nggak bakal kayak kamu yang pagi-pagi udah masang muka cemberut. Jelek loh kelihatannya, kayak boneka mampang."

Tak!

Ibu menepuk dahi Bayu dengan gagang centong nasi. Sementara Bima mencoba meredam emosinya dengan melahap dua nugget sekaligus.

"Soalnya lebih baik nyambut dengan ceria daripada utamain prasangka jelek padahal hari ini belum tentu hari yang buruk. Siapa tahu nanti ketiban duit sepuluh milyar."

Ibu dan Bima kompak mendelik, ayah urung menyuap nasi, abah tercengang serta Banu mendecih-meski suaranya hampir tak terdengar.

"Tumben ngomongnya bener, Mas?" ayah berceletuk sepersekian detik kemudian. Masih setengah terkejut.

"Iya. Lagi kerasukan orang bijak, soalnya," balas Bayu enteng.

Bima masih terus berargumentasi tentang ketidaksukaannya pada Senin bahkan hingga sarapan pagi itu usai. Ah, kalau Senin itu manusia, kemungkinan besar telinganya sudah berdarah-darah karena tak henti di cerca masyarakat dunia. Bapak, Ibu serta Abah menanggapi dengan tawa. Asik mendengarkan kalimat-kalimat yang di lontarkan si paling muda. Sementara kakak laki-laki Bayu enggan turut menyumbangkan sepatah kata sedari tadi. Ia hanya melengos kemudian bangkit lebih dulu memasuki kamarnya kembali.

Pagi itu terlewati sebagaimana biasanya. Meski timbul kerutan di dahi para orangtua ketika menyadari bahwa Bayu sudah kelewat siap untuk berangkat. Jarum jam baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas dan sungguh, biasanya seusai sarapan Bayu Abrizam akan mencuri beberapa menit menonton tayangan kartun dan baru bertolak ke sekolah pukul tujuh kurang lima.

Our Sparkling SeasonМесто, где живут истории. Откройте их для себя