Love Code in Last Autumn

11 3 0
                                    

Musim gugur di Paris selalu memiliki pesona yang tak tergantikan. Daun-daun berwarna-warni jatuh dengan lembut, menciptakan suasana romantis yang sulit untuk diabaikan. Di tengah keindahan musim ini, ada dua orang Indonesia yang sedang mengalami patah hati karena dikhianati oleh pasangan mereka. Takdir mempertemukan mereka di kota cinta ini.

Si perempuan bernama Maira, seorang wanita muda yang ceria dan penuh semangat. Dia datang ke Paris untuk melupakan luka hatinya dan menemukan kedamaian. Di sisi lain, ada laki-laki bernama Rama, seorang pria yang tampan dan berbakat. Dia juga mencari penghiburan di Paris setelah hubungannya yang lama berakhir tragis.

Ketika takdir mempertemukan mereka di sebuah kafe yang nyaman di Montmartre, mereka merasa seperti memiliki ikatan yang tak terduga. Keduanya saling berbagi cerita dan merasa terhubung satu sama lain karena pengalaman yang serupa. Mereka memutuskan untuk menjelajah Paris bersama-sama, mencoba melupakan kekecewaan dan menikmati momen-momen indah yang ditawarkan oleh kota cinta ini. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota yang penuh dengan keajaiban ini. Dari Menara Eiffel yang megah hingga jalan-jalan kecil yang indah di sekitar Sungai Seine, mereka menemukan keindahan baru dalam setiap sudut kota ini.

Selama beberapa hari, mereka mengunjungi tempat-tempat ikonik seperti Louvre dan Notre-Dame. Mereka menikmati pemandangan yang menakjubkan, juga menikmati makanan lezat di kafe-kafe kecil yang tersembunyi di sudut-sudut kota.

Semakin mereka mengenal satu sama lain, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perkenalan di antara mereka. Benih cinta tumbuh dengan cepat, mengisi hati mereka dengan kehangatan dan kebahagiaan. Mereka saling mendukung dan menghibur satu sama lain, membantu satu sama lain untuk sembuh dari luka masa lalu. Baik Maira mau pun Rama memang tak gamblang mengatakan pada satu sama lain. Tak ada kata-kata ‘aku jatuh cinta padamu' atau ‘aku menyukaimu dan ingin punya hubungan spesial denganmu'. Mereka hanya merasakannya. Juga menjalani apa adanya, membiarkan alurnya mengalir dengan sendirinya. Seakan masih tak terlalu mempermasalahkan perihal status hubungan, mengingat keduanya juga baru-baru ini pulih dari akibat hubungan yang menyakitkan.

“Mai, jujur aku senang karena ketemu kamu di sini. Aku pikir tadinya aku bakal jalan-jalan sendirian di Paris sambil mengumpat kenangan mantan.”
“Aku juga sempat mikir begitu tadinya, Ram. Tapi, sekarang ini, aku pikir musim gugur itu juga ternyata bisa menggugurkan patah hati.”
“Karena ada aku, Mai?”
“Hm, mungkin itu salah satunya. Tapi, lebih ke karena di sini banyak tempat-tempat indah yang bisa ngalihin pikiran dari masa lalu menyedihkan.”
“Lalu, rencana kamu setelah ini apa?”
“Rencana? Mungkin, setelah puas jalan-jalan di Paris, aku harus pulang ke Indonesia. Gak mungkin juga aku menetap di sini. Aku mau lanjut urus toko bunga aku di Indonesia, kembangin toko itu jadi lebih besar. Terus, rencana kamu?”
“Mungkin sama. Pulang. Menetap di Paris kayaknya memang menyenangkan. Tapi, lebih baik pulang ke negeri sendiri, sih. Aku mau lanjutin mimpiku di Indonesia aja. Jadi fotografer ternama.”
“Ah, Ram. Aku yakin kamu pasti bisa wujudin mimpi kamu itu. Selama kita jalan-jalan di sini, aku lihat kamu sering ambil foto pake kamera kamu itu dan hasilnya keren-keren. Kamu memang berbakat, sih. Hm, kalo gitu, kita bisa pulang bareng ke Indonesia, dong?”
“Ide bagus. Biar ada teman pulang juga. Dan, aku harap kita masih bisa sering ketemu begitu kita ada di Indonesia.”
“Aku juga berharap begitu. Hm, kamu bisa foto-fotoin toko bunga aku nanti, Ram. Aku punya banyak bunga cantik yang bisa kamu jadikan objek foto.”

Keduanya saling melempar senyum, lalu merencanakan kapan tepatnya hari kepulangan mereka. Ketika mereka hendak beranjak meninggalkan tempat mereka mengobrol, Rama tak sengaja menjatuhkan sebuah kertas catatan kecil dari saku jaketnya. Maira yang mengambilnya dari bawah sempat membaca isinya.

“Eh, ini punya kamu, Ram? Apa ini? 9.12.15.22.5.21. Angka apa? Em, ini semacam angka keberuntungan?” tebak Maira.
Rama mengambil kembali miliknya dari tangan Maira. “Bisa dibilang begitu. Akan beruntung kalo kukasih ke orang yang tepat.”
“Ha, maksudnya?”
“Udah, abaikan aja. Katanya mau jalan-jalan lagi?” Rama tak mau membahasnya lebih jauh. Jujur saja, sebenarnya kertas itu sudah lama ingin ia berikan pada Maira. Namun, Rama masih ragu apakah itu saat yang tepat. Makanya, masih saja tersimpan sendiri.

***

Saat hari di mana mereka berencana pulang bersama itu tiba, Maira bingung karena Rama tak kunjung datang menemuinya di tempat mereka janjian. Padahal sebentar lagi jam penerbangan mereka. Maira memutuskan mencoba pergi ke tempat penginapan Rama. Rama sempat memberitahunya di mana tempat itu.

Maira sampai di depan rumah penginapan kecil yang Rama maksud. Sepi, karena Rama memang menginap sendirian. Begitu tahu pintunya tak dikunci, Maira memutuskan masuk untuk mencari Rama. Gadis itu sampai di kamar Rama. Ia melihat koper Rama sudah siap, tetapi Rama justru terbaring di tempat tidurnya. Maira mengira Rama ketiduran.

Namun, ketika hendak membangunkan Rama, ia tersentak. Maira merasakan tubuh Rama begitu dingin dan kaku. Dalam sekejap, air mata lolos dari mata Maira. “Rama, kamu kenapa?”
Maira mendapati Rama sudah tak lagi bernapas, nadi dan jantungnya tak lagi berdenyut. Ada obat-obatan di atas nakas, juga sebuah amplop panjang bertuliskan ‘untuk Maira'. Maira berteriak seraya menangis. Ia lantas meminta bantuan orang sekitar untuk membawa Rama ke rumah sakit.

Tak ada yang bisa diubah. Rama memang benar-benar sudah mengembuskan napas terakhirnya. Maira dihantam pilu sendirian. Dari obat-obatan yang ia tunjukkan pada dokter, dokter mengindikasikan kalau selama ini Rama mungkin mengidap semacam penyakit kanker otak yang serius. Maira berencana akan menghubungi keluarga Rama di Indonesia lewat ponsel Rama agar mereka bisa menjemput Rama untuk dibawa pulang.

Sambil menunggu pihak rumah sakit menyiapkan kepulangan mendiang Rama, di ruang tunggu rumah sakit, Maira membuka amplop yang tadi ia temukan di atas nakas. Di dalamnya ternyata berisi foto-foto yang Rama ambil selama mereka jalan-jalan. Potret beberapa bangunan dan pemandangan indah Paris, gambar mereka berdua yang sempat berfoto bersama, bahkan ada beberapa foto Maira yang dirinya sendiri tak sadar kapan Rama diam-diam mengambilnya. Dan, di belakang salah satu foto dirinya, Maira menemukan tulisan. Beberapa angka yang sempat Maira lihat sebelumnya.

“Angka ini lagi? Apa maksud Rama?”

Namun, kali ini, di bawah tulisan angka 9.12.15.22.5.21 itu ada sebuah tulisan petunjuk yang berbunyi ‘angka menjadi kata'. Maira langsung terpikirkan sesuatu dan mulai menghitung. Ia menjajarkan tiap huruf abjad yang ia temukan sesuai urutan hitungan itu.

“Kalo memang benar, 9.12.15.22.5.21 itu... I.L.O.V.E.U?” Menyadari itu, Maira makin merasa sesak, tangisnya makin deras. Ya, itu yang selama ini ingin Rama katakan pada Maira. “I love you too, Ram,” gumam Maira sambil terus memandangi potret mereka berdua.

Pada hari yang tak terlupakan itu, Rama pergi dengan tenang, meninggalkan Maira dengan kenangan yang indah dan hati yang penuh cinta. Maira akan membawa pulang kenangan indah dari musim gugur di Paris dan cinta yang mereka bagi satu sama lain.

Kisah cinta mereka mungkin singkat, tapi pengaruhnya tak terlupakan. Bagi Maira, musim gugur memang bisa menggugurkan patah hati. Namun, tak ia sangka, musim ini juga sekaligus bisa menggugurkan harapan cinta yang bahkan baru bersemi dan belum sempat terucap.

--end.

Love Code in Last AutumnWhere stories live. Discover now