tiwifl|| 14

1.5K 312 11
                                    

"Kamu beneran nggak pa-pa di rumah sendirian, Va? Ibu bisa tinggal di sini biar Bapak yang pulang ke rumah, sampai nanti Mas Hans pulang, baru Ibu pulang. Gimana?"

Aku tersenyum lebar, menggelengkan kepala. "Ibuuu, Reva nggak pa-pa, udah ilang kok pusingnya. Nanti dibawa gerak-gerak bersih-bersih rumah juga sehat lagi. Ibu-Bapak, kan, mau kedatangan tamu di rumah, masa cuma Bapak yang nemuin?"

"Atau kamu ikut aja, ya?"

Aku tertawa pelan. "Reva ada yang mau dikerjain juga, Bu."

Napasnya terdengar berhembus, lalu aku merasakan pelukan hangat dari Ibu. "Yasudah, tapi kalau butuh apa-apa jangan sungkan buat hubungi Ibu dan Bapak, ya?"

Aku mengangguk.

"Beneran lho ini?"

"Iya, Bu. Pasti."

"Kalau dirasa sendirian di rumah melelahkan, bilang sama Mas Hans atau Mbak Raras, nanti dia bisa bantu yang cari ART-nya."

"Iya, Bu."

"Yasudah, Ibu pamit pulang, hati-hati, yaaa. Jangan capek-capek, makannya beli aja, banyak makanan sehat sekarang. Itu bumbu yang sudah Ibu bikin bisa kamu pakai beberapa hari ke depan, dinikmati yaaa."

"Iya, Bu, terima kasih banyak, yaaa." Aku mencium tangannya, kemudian gantian mencium tangan Bapak yang memang tak sebanyak bicara seperti Ibu. Sangat lumrah.

Begitu memastikan mobil mereka hilang dari pandangan, aku kembali menutup gerbang dan tak lupa menguncinya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah tergesa-gesa untuk siap mengabari temanku bahwa aku akhirnya bisa punya waktu luang. Well, mungkin ini terdengar seperti menantu kurang ajar karena merasa bahagia ketika mereka pulang ke rumahnya. Aku tidak bermaksud seburuk itu, aku awalnya memang ragu atas perasaanku ketika mereka datang tanpa memberi tahu lebih dulu, tapi begitu tinggal serumah dengan mereka, sedekat itu, meski mungkin hanya semalam, aku bisa merasakan mereka sungguh orang baik. Mama-Papa tak keliru untuk yang satu ini, walaupun aku tahu Mama Hans dan Papanya jelas bukan manusia sempurna juga.

Sembari menunggu kedatangan dua sahabatku, aku bergegas menyiapkan minuman dan camilan untuk kami nikmati nanti. Sementara untuk makan siang, aku sudah memiliki ide untuk memesan online saja, karena memasak membutuhkan waktu banyak dan aku tidak mau menghabiskan waktu bersama mereka di dapur. Waktu kami mungkin tak bisa sama persis seperti sebelum aku tinggal di rumah ini.

Ketika membuka pintu gerbang, aku tertawa melihat kepala Arka nyembul di sebelah kiri dariku dan kepala Laila menyembul dari pintu mobil mereka sebelah lainnya. Aku melambaikan tangan karena sadar betul mereka mungkin benar-benar tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Benar saja, begitu mobilnya terparkir di driveway dengan alasan supaya nanti bisa cepat saat keluar, mereka turun dengan tergesa-gesa dan menghampiriku.

"What the hell is going on?!" Laila berkacak pinggang, melotot tajam seolah aku muridnya yang baru melakukan kesalahan fatal—oh, zaman sekarang sepertinya sudah tidak ada lagi guru segalak ini. "Rerey, bilang kalau ini cuma kerjaan iseng nyokap bokap lo yang tiba-tiba beliin lo rumah. Gue tahu uang mereka sebanyak itu, kan? Iya, kan? Jadi, walaupun anaknya nggak ngapa-ngapain, literally nggak ngapa-ngapain, duitnya selalu ada."

Aku tertawa lebar. "Pertama, mereka nggak sebanyak uang yang lo pikir itu, yaaa. Kedua, mereka nggak seiseng itu tiba-tiba beliin gue rumah. Ini beneran rumah suami gue."

"Nggak gue masih menolak percaya."

Aku terkejut ketika tiba-tiba Arka meraih tanganku dan memperlihatkan cincin di jariku pada Laila dan dirinya sendiri tentu saja. "La, ini sebelumnya dipake nggak sama Rerey?"

this is what it feels like || tiwiflWhere stories live. Discover now