tiwifl || 12

1.6K 347 18
                                    

Setelah drama panjang mendengar semua arahan dari Hans lewat telepon, aku akhirnya mengembuskan napas panjang karena merasa begitu lega. Karena akhirnya bisa menemukannya, yang sedang berdiri dengan payung yang berusaha melindungi tubuhnya. Dia juga sepertinya menyadari mobilku, tatapannya tak beralih, dan ketika mobilku berhasil memasuki gerbang deretan ruko itu, dia mendekat. Membungkukkan tubuhnya.

Aku membuka kaca jendela dan tersenyum lebar. "Mas."

Dia mengangguk. Lalu berbicara pada Bagas. "Kamu pindah ke belakang ya, Gas. Om yang nyetir, biar Kak Reva pindah situ."

"Okay, Om." Remaja itu melepas seat belt, melangkah ke belakang.

Sekarang gantian aku yang pindah ke kursi depan penumpang, sembari terus memandangi Hans yang berusaha masuk ke mobil tanpa terkena hujan. Tapi mustahil, dia tetap terkena percikan air ketika harus menutup kembali payung, lalu meletakkannya di bawah kaki. Aku berhutang budi padanya hari ini, aku akan membalasnya nanti, entah dengan makanan terbaikku atau memberinya sesuatu.

"Mas Hans, makasih banyak mau jemput aku dan Bagas ke sini."

Hans menoleh, diam menatapku sebentar, beralih melihat ... kedua kepalan tanganku di paha, lalu dia mengangguk. Sekarang ia menelengkan kepalanya menatap Bagas entah memastikan apa. "Mau mampir lagi atau pulang?"

"Bagas masih mau sesuatu?" tanyaku, karena kalau aku pribadi sudah tidak ada keinginan ke mana pun. Aku hanya ingin pulang, membersihkan diri, memakai pakaian hangat, lalu membuat teh chamomile dan menikmatinya di sofa kamar, menatap hujan jatuh dari jendela. Kamar Hans punya desain yang sempurna untuk menikmati keindahan alam atau hanya menikmati waktu sendiri.

"Aku mau pulang aja, Kak, Om."

Maka mobil kami kembali bergabung dengan rentetan kendaraan di jalan raya, menemui beberapa kali lampu merah, belokan kanan-kiri, sebelum akhirnya sampai di ... shit, aku melirik Hans karena penasaran akan reaksinya. Aku belum pernah mendengar lelaki ini mengumpat atau semacamnya, tapi situasi kami ini menurutku wajar memantik sedikit emosi dari manusia biasa. Hujan masih lebat, tidak memiliki orang lain di rumah, pagar kondisi terkunci.

Tapi ternyata dia memang sedikit berbeda dari manusia biasa sepertiku. Tanpa mengeluh, entah mungkin dia melakukannya di dalam hati, dia hendak membuka pintu mobil, tetapi aku sangat mengapresiasi gerak cepatku yang menahan lengannya. Dia menatapku bingung.

"Biar aku aja, Mas, yang turun."

"Masih hujan."

Aku tertawa. "Kalau kamu yang turun, hujannya reda?"

Bibirnya yang sedikit keunguan itu terbuka, kemudian terkatup lagi dan membentuk senyum tipis. Tangannya menyentuh tanganku yang masih menahan lengannya, aku bahkan baru menyadari itu, dan refleks menarik tanganku sambil meringis. Hans membuka mulutnya lagi, "Aku aja nggak pa-pa, pagernya agak berat kalau basah."

Oh really?

"Aku yang payungin?"

"Cuma sebentar. Kamu tunggu di sini sama Bagas."

Aku tidak membantah lagi, mengucapkan terima kasih, dan menganggukkan kepala. Kemudian tidak berkedip terus menatapnya yang turun dari mobil, hujan-hujanan yang dia klaim hanya sebentar tadi, sampai di pagar dan membukanya, mendorong ... wait a minute, apakah dia sungguh-sungguh ketika bilang agak berat saat dalam kondisi basah? Maksudnya ... pagarnya bermasalah? Aku menoleh ke belakang, "Gas, aku turun dulu bantuin Mas Hans, ya? Om-mu, maksudku."

"Aku aja gimana, Kak?"

"Eh nggak usah, serius. Kamu besok masih sekolah, jangan ujan-ujanan, tunggu di sini, yaaa." Begitu melihat kepalanya mengangguk, aku langsung membuka pintu mobil dan berlari menghampiri Hans. Senyumku lebar ketika melihat matanya sedikit membelalak. "Mas, aku bantuin."

this is what it feels like || tiwiflWhere stories live. Discover now