CHAPTER 1. Embrace of Eternal Comfort.

185 19 23
                                    

     Semuanya gelap, begitulah yang ada di kepala Harry sepanjang kebingungannya, pusaran kegelapan yang terus mengitari kepalanya, tepat ketika ia merasakan kembali sesuatu di masa lalu yang kembali berjalan mengikuti benang-benang kehidupan di kepalanya seakan ingin mengingatkannya kembali tentang hal-hal yang telah terjadi.

     Teriakan yang sangat besar terdengar di gendang telinganya, sebuah suara berat yang sangat ia benci, mencoba menyamarkan sebuah gerakan tangan yang ia lakukan untuk mengeluarkan matra non-verbal yang seketika langsung di tangkis oleh Harry.

     Harry sudah membuka matanya, melihat tegas dengan penuh ketidaksukaan pada sebuah sosok berkerudung di hadapannya, mengacungkan tongkatnya untuk mengeluarkan kutukan pembunuh dengan suara lantang yang menguar keseluruh area, bunga api kehijauan keluar dari tongkat itu, namun di tangkis oleh bunga api lain yang berwarna merah menyala, datang dari tongkat laki-laki di depannya, Harry Potter.

     Untuk sesaat keduanya seakan tidak memedulikan sekitar, bahkan tidak peduli mengenai menang atau kalah, kekuasaan atau keterpurukan, namun membunuh salah satu di antara. 

     Mata merah Voldemort merah menyala, menatap nanar penuh perhatian pada rival duelnya saat ini. Mata merahnya sewarna dengan bunga api yang datang melawannya itu.

     Mata Harry Potter memandang penuh keberanian pada sosok yang telah bertanggung jawab atas ribuan nyawa yang telah pergi itu. kedua manik matanya menunjukkan ketangguhan, namun lembut seakan tidak memiliki kebencian. Warnanya hijau Zamrud cemerlang, benar-benar sewarna dengan warna bunga api yang keluar dari tongkat sihir lawannya kali ini.

     Buang api terus berdorongan, saling melawan, namun tidak ada yang bisa melawan. Hingga sesuatu yang tiba-tiba mengejutkan kedua insan tersebut, membuat pertarungan berhenti sejenak, dan kedua matra yang awalnya saling bertabrakan kini menghilang, sama dengan kedua pikiran laki-laki itu yang masih mencerna apa yang sedang terjadi. Hingga akhirnya keduanya sadar, bahwa horcrux terakhir telah di musnahkan, dan hanya tersisa satu jiwa keji yang benar-benar berbentuk seonggok daging tanpa jiwa.

     Keduanyapun melanjutkan pertarungan tersebut. Tongkat sihir kedua belah pihak mengacung dengan lancarnya, merapalkan kedua mantra yang langsung saling bersambutan di tengah-tengah keduanya, kedua bunga api dengan warna mencolok saling bertabrakan namun tidak berselang lama karena bunga api berwarna merah lebih mendominasi hingga akhirnya tidak menyisakan bunga api hijau itu lagi dan menembus laki-laki di seberangnya itu.

     Waktu seakan berhenti, namun tidak menarik eksistensi dari orang-orang untuk menyaksikan kejadian itu tepat dengan kedua mata mereka sendiri di depan aula besar. Semua mata benar-benar menatap dalam kejadian tersebut, bahkan membulat ketika tubuh sosok makhluk tanpa hidung dan bermata ular itu hancur seketika, layaknya debu yang beterbangan, tidak menyisakan apapun.

     Semua orang bersorak, mengumandangkan kemenangan. Para Death Easter yang sisa benar-benar membulatkan kedua mata mereka seketika, menyaksikan tuan mereka, orang yang selama ini benar-benar mereka puja kini hancur menjadi debu tanpa tersisa apapun, mematung tidak dapat melakukan apapun. 

     Semua kumandang kemenangan mengisi pagi itu, pagi indah tepat ketika matahari menampakkan dirinya dengan sempurna di ufuk timur, membuka hari mereka dengan kemenangan, menjadi pagi dari segala awal yang baru bagi mereka.

     Namun di antara semua sorakan kegembiraan itu, ada satu hal yang mereka lupakan, pahlawan dunia sihir yang telah mengalahkan penyihir jahat itu, Harry Potter, kini benar-benar mematung di tengah-tengah arena. Wajahnya pucat, rambutnya hitam legam, bibirnya seputih salju bulan desember, dan kedua mata zambrudnya kini berubah menjadi hijau terang. Tidak ada yang benar-benar menyadari hal tersebut saat itu, tidak kecuali sepasang manik abu kebiruan yang menatap dalam laki-laki tersebut.

Destiny's Second ChancesWhere stories live. Discover now