The Soulmate Theory

318 74 26
                                    

Ponsel di tangan Yayan bergetar panjang saat hendak memasuki lobi gedung apartemen. Alih-alih nama marketing developer, Yayan justru mendapati nama ayahnya tertera di layar. Sambil menghela napas panjang, lelaki itu menekan ikon hijau dan menerima panggilan tersebut.

"Ya, Paps?"

"Koen nontok apartemen, tho?[1]" todong ayahnya, tanpa basa-basi.

Kening Yayan otomatis berkerut. Dari mana ayahnya tahu soal kegiatannya hari ini?

"Paps tau dari mana?" tanya Yayan serta-merta.

"Pak Dono, lah!"

Nama orang yang mau ditemui Yayan nanti juga Dono. "Paps kenal sama Pak Dono?"

Tawa Rudi Tanuwijaya berderai di ujung sana. "Deweke koncoku sing tuku apartemen neng Jakarta![2]"

Langkah Yayan kontan terhenti. "Kenapa Paps nggak pernah bilang-bilang punya unit apartemen di Tamansari?"

Demi Tuhan, mengumpat untuk ayahnya dosa atau tidak, sih?

Seandainya tahu ayahnya sudah punya apartemen di situ, Yayan tidak usah sampai repot-repot ngekos di kosan Bu Tut dari zaman kuliah. Luntang-lantung jadi barista di coffee shop demi menambah angka nol di rekeningnya atau gila-gilaan nyari paid internship di tahun terakhirnya. Yayan juga tidak perlu melipir ke tukang jamu si Mbok bareng teman-temannya hanya perkara ruang tamu kosan yang penuh.

"Ya ono yang susah ngopo pake cara gampang?" balas Rudi jemawa.

Yayan refleks mengurut dada.

Sayangnya, pria ini punya kuasa mencoret nama Yayan dari kartu keluarga Tanuwijaya atau dari daftar ahli waris dalam surat wasiat. Alhasil, Yayan tak bisa seenaknya menyemprot pria ini.

"Lagian, kalau dikasih tau dari awal, pasti kamu nggak bakal nabung, tho?" tambah Rudi lugas. Kemudian, "Opo koen tuku apartemenku?[3]"

"Serius, Paps? Ini buat anak sendiri, lho!"

Mulut Yayan ternganga. Masa, buat anak sendiri bayar?

"Lho, Papa kan ndak ngasih apartemene sukarela ke kamu. Wis, ah! Nontok dulu unit apartemen ne. Harga iso didiskusikan—[4]"

"Nego harga bisa juga, Paps?" potong Yayan cepat.

"Tergantung kemampuan negosiasi kamu nanti." Rudi langsung memutuskan sambungan telepon.

Yayan berdecak.

Tanpa basa-basi lagi, dia menghampiri seorang pria berpolo hitam yang diduganya sebagai Pak Dono.

"Pak Dono?"

"Mas Yayan," Pak Dono beranjak dari kursi dan menjabat tangan Yayan. Senyumnya merekah. "Pak Rudi bilang Anda adalah putranya."

"Unit yang mau Bapak tunjukin punya ayah saya atau—"

"Tergantung pilihan Masnya aja. Saya bawa beberapa kunci unit yang bisa dilihat-lihat. Mas boleh langsung ke unit punya Bapak, atau melihat unit-unit lain," terang Pak Dono ramah. "Yah, pasti beda kelasnya kalau unit milik Pak Rudi."

"Spek yang saya minta gimana, Pak?"

"Kalau unit milik Pak Rudi emang jauh dari spek yang Mas Yayan mau."

"Jauhnya di atas atau di bawah?"

Pak Dono meringis. "Unit milik Pak Rudi sih jauh di atas spek permintaan Mas Yayan. Jauh banget."

"Lihat spek saya dulu deh, Pak. Dari situ, baru kita lihat unit apartemen ayah saya," putus Yayan akhirnya.

***

The Teasing GameNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ