Prologue. The Oracle's Curse

166 30 23
                                    

"𝕿𝖎𝖒𝖊 𝖜𝖎𝖑𝖑 𝖗𝖊𝖛𝖊𝖆𝖑 𝖙𝖍𝖊 𝖍𝖎𝖘𝖙𝖔𝖗𝖞 𝖎𝖙𝖘𝖊𝖑𝖋."

Awan berkumpul di atmosfer, membuat langit berwarna kelabu---nyaris hitam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Awan berkumpul di atmosfer, membuat langit berwarna kelabu---nyaris hitam. Suara berisik gemuruh petir menusuk telinga. Pohon-pohon berbatang tinggi meliuk-liuk di udara, seakan siap ditumbangkan angin yang bertiup terlalu kencang. Alam seolah-olah tengah memperingati manusia bahwa dunia akan segera disambut badai hebat. Semua ini disebabkan oleh keresahan hati sang Dewa Ramalan, yang direspon oleh alam semesta.

Jauh dari bumi, dunia yang disebut Alam para Dewa, Caellum, nampak damai. Sebenarnya Caellum tidak memiliki langit. Hanya hamparan warna putih di angkasa sejauh mata memandang. Terdapat istana megah dengan gaya arsitektur bizantium yang dibangun di atas pulau, mengambang di udara. Dindingnya berwarna putih dan berlapis emas. Kau tidak akan pernah bisa menemukan istana semegah itu di manapun. Para Dewa, atau penguasa alam, tinggal di sana selama lebih dari ratusan abad. Ketika kau memasuki istana, kau akan menemukan ruangan dengan pintu emas raksasa yang terletak di ujung lorong pertama setelah melewati lobi dan pintu gerbang istana.

Itulah ruangan milik sang Dewa Ramalan.

Ruangan sebesar bioskop itu amat gelap, penerangan hanya bersumber dari sebuah kuali berisi cairan kekuningan bercahaya yang penuh. Sosok itu duduk di atas kursinya yang berlapiskan emas, terletak tepat di depan kuali. Bersih dan mengkilap, dihiasi ornamen berwarna putih cerah. Kepalanya menunduk untuk melihat lebih jelas pantulan kejadian dalam cairan kekuningan di kuali berukuran besar itu---sebenarnya jika diperhatikan lebih mirip melihat pantulan rekaan film proyektor dalam air, hanya saja berwarna kekuningan dan sedikit bergelombang.

Dia menghela napas setelah melihat pantulan kejadian di dalam kuali, kekhawatirannya menjadi kenyataan. "Ini perkara sulit," gumamnya seraya melipat tangan di depan dada.

Bibirnya terkatup namun mata sosok itu membelalak lebar kala mendapati orang yang tengah diamatinya dalam kuali tengah mengiris leher seorang wanita bersurai perak dengan belati. Darah menetes dan meluncur masuk ke dalam tabung kaca kecil yang ia tekankan ke leher wanita itu. Terdengar erangan kesakitan sebelum orang tersebut menusukkan belati ke jantung korbannya.

Dewa Ramalan kemudian mendengar pintu ruangannya berderak terbuka. Seorang wanita dengan surai perak nyaris abu yang digulung tinggi memasuki ruangan. Gaunnya panjang berwarna putih, berkibar pelan seiring langkahnya mendekat. Netra biru mudanya bersinar dalam gelap. Sorot mata yang biasanya teduh dan penuh kasih sayang itu kini dikuasai amarah.

"Rhymos," panggil wanita itu. "Kau harus segera menurunkan ramalan."

Pria berjubah putih keemasan bernama Rhymos---para manusia sering menyebutnya The God of Oracles---hanya menolehkan kepalanya sesaat dan kembali berfokus pada kuali emas. "Aku tahu, biarkan aku mengamatinya sedikit lebih lama lagi."

"Aku memang menciptakan mereka dengan kelebihan sejak lahir, yakni inti sihir di jantung mereka. Tapi ...." Dewi Kehidupan---The Goddess of Life, Dydite, mengibaskan jubah emas panjangnya yang menggantung di bahu, mengeluarkan cahaya berpendar keemasan. Ikut melihat pantulan cairan di kuali emas, sang Dewi mulai mengeraskan suaranya. "Dia sudah membunuh banyak sekali kaumnya demi mencapai tujuannya, Rhymos! Berani sekali seorang manusia melampauiku!"

The Altered History of AlthoriaWhere stories live. Discover now