02.

371 3 0
                                    

Selamat Membaca!




Mora berjalan mendekati Saga, ini bukan percobaan pertama yang ia lakukan untuk memanggil pemuda itu. Mungkin Mora telah bolak-balik sebanyak 4 kali sebelum akhirnya Saga berbalik menatap Mora saat menyadari kehadiran gadis itu.

Saga segera bangkit dari duduknya, berjalan ke arah meja makan tanpa menunggu komentar Mora lebih lanjut. Berhubung Saga pemakan segalanya, ia mengambil semua lauk yang disediakan Mora hingga piringnya membentuk gunung.

“Lo kenapa diam di situ? Lo gak lapar?” Tanya Saga menyadari bahwa Mora belum duduk juga.

“Lo jangan sering-sering ke club sendiri. Kalau lo emang butuh bangat ngewe, kabarin gue aja. Apartemen gue di lantai atas.” Saga vulgar seperti biasa.

“Gak kok, kak.” Canggung Mora.

“Kalau patah hati gak usah sampai segitunya. Gak ada yang tau orang sehat apa enggak. Apalagi kalau lo cari yang om-om. HIV lo yang ada.” Saga memberikan wejangan seperti seorang bapak ke anaknya.

“Nama kakak siapa?” Tanya Mora malu-malu. Saga juga baru sadar bahwa suara gadis ini terlalu lembut, sampai-sampai Saga mendengarnya seperti desahan.

“Hah?” Saga salah tingkah saat tersadar dari pikiran kotornya.

“Nama Kakak siapa?”

“Nama gue Saga. Gak usah panggil Kakak, gak ada kakak yang mau menyetubuhi adik sendiri.” Kalau sekadar suka yah bisa jadi.

Saga melirik piring gadis itu yang hanya berisi secuil nasi dan sesendok sayur. “Makanan apaan dikit gitu? Lo harus makan yang banyak biar kuat desah.” Saga menambah nasi untuk Mora. “Habisin. Lo gak usah galau, ntar juga terbiasa.” Lagi-lagi Saga berkomentar saat melihat raut wajah gadis itu berubah murung. Mungkin teringat akan si doi yang meninggal itu.

Saga menyelesaikan acara makannya lebih dulu kemudian memantau Mora yang berniat menyisakan makanannya. Saga siap siaga memaksa gadis itu menghabiskan makanan tersebut. Setelah Mora menghabiskan makanannya, Saga memindahkan semua piring kotor tak lupa mencuci. Jika di rumah mungkin Saga harus dipaksa dulu oleh Zuya. Berhubung ini adalah kediaman orang asing, Saga melakukan pekerjaan itu secara sukarela.

“Lo jangan sedih terus. Jangan cari om-om lagi. Sama gue aja kalau emang kepengen.” Saga mengelus kecil puncak kepala gadis itu dan mengambil jaket serta kunci mobilnya
“Gue balik.” Saga berlalu begitu saja membuat Mora mengikut di belakang secara tak sadar. Menyadari itu, Saga berbalik menatap Mora dengan tatapan seolah berkata, “Lo kenapa ikutin gue?”

Gadis itu gelagapan sendiri saat ditatap Saga. Saga tersenyum singkat dan melangkah mengecup bibir gadis itu. “Sebagai perpisahan, tubuh lo enak kapan-kapan main lagi.”

Saga melangkah mundur lalu membuka pintu dan menghilang dari pandangan Mora.

Mora tersenyum tipis meratapi kebodohannya. “Kalau mama tau soal ini, aku bisa mati.” Mora meringis di tempatnya.

Yah memang Mora yang mencari om-om semalam, tapi maksudnya tuh bukan orang yang berkeliaran di sekitar Mora. Bukannya seunit apartemen begini.

Mora membaringkan tubuhnya di atas sofa bed yang telah menjadi saksi adu kelamin mereka semalam. Memikirkan banyak hal, termasuk sentuhan tangan Saga yang masih terasa di tubuh Mora, terlebih selangkangannya yang perih luar biasa membuat Mora ingin menangis saja rasanya. Jika bukan penasaran dengan Saga, mungkin Mora lebih memilih bersembunyi di dalam kamar agar tidak terlihat oleh Saga. Sialnya, Mora penasaran dengan pemuda itu. Lebih sial lagi saat mengetahui bahwa Saga juga tinggal di apartemen ini.

Tendensi Where stories live. Discover now