10. Segelintir Kesedihan

516 109 2
                                    

Kondisi kesehatan anggota keluarga kekaisaran, termasuk riwayat penyakit yang dideritanya, adalah rahasia negara. Tidak sembarang orang boleh mengetahuinya, apalagi membicarakannya secara terbuka.

Karena itu, selain Kaisar dan tabib istana, apa nama penyakit misterius yang menggerogoti tubuh sang Permaisuri tidak diketahui oleh siapa pun.

Bahkan oleh putranya, Magnus, sekalipun.

Yang ia tahu hanya lah ibunya yang sakit dan harus terus menjalani proses pengobatan eksklusif selama beberapa tahun terakhir.

Hingga akhirnya ia harus menghadiri acara pemakaman ibunya ... tepat tiga minggu sebelum hari pesta ulang tahunnya dilaksanakan.

Ayahnya, sang Kaisar, hanya memberi beberapa kalimat sebagai penghormatan terakhir kepada istrinya dengan cuek dan dingin. Setelah meletakkan segenggam bunga ke dalam peti mati, ia kemudian pergi.

Ayahnya menanggapi kematian ibunya dengan acuh tak acuh. Hal itu membuat kebencian yang selama ini tertanam dan mengakar di dalam hati Magnus jadi semakin kuat dan bergejolak.

Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun.

Ia tidak bisa berlari mengejar sang ayah untuk kemudian meninju wajahnya keras-keras sesuka hati.

Magnus, sebagai satu-satunya putra mendiang, menjadi pemimpin acara pemakaman. Ia harus berada di sisi peti mati ibunya di sepanjang prosesi mendung itu berlangsung.

Ibunya adalah orang yang baik. Terbukti dari terdengar banyaknya tangisan akibat kepergiannya. Suara pilu penuh kesedihan, menyuarakan rasa kehilangan yang tulus.

Ibunya adalah seorang permaisuri yang dicintai. Terbukti dari semua rakyat kekaisaran yang ikut berkabung dan berbelasungkawa. Sama-sama berdoa agar jiwa Permaisuri bisa melangkah ringan menuju nirwana.

"Jadilah tegar. Jadilah kuat. Apa pun yang terjadi, kau harus tetap berdiri kokoh ... karena kelak kau akan menjadi seorang pemimpin. Berjuanglah demi rakyatmu, demi orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu. Kau ... pasti akan menjadi penguasa yang hebat, putraku."

Itu kalimat terakhir yang Magnus dengar sebelum ibunya mengembuskan deru napas terakhir.

Karena itu, hingga detik itu, ia terus berusaha untuk tetap kokoh.

Ucapan belasungkawa dan kata-kata penghiburan yang ia terima hanya ia tanggapi sekenanya. Ia tengah bertarung melawan dirinya sendiri. Berusaha bertahan untuk tetap tegar hingga akhir.

"Yang Mulia Pangeran Magnus ..."

Namun, semua usahanya akhirnya sia-sia.

Ketika sang paman, adik kandung ibunya, satu-satunya saudara yang dimiliki mendiang permaisuri, datang ke hadapannya, air mata Magnus sontak meleleh dari matanya yang telah lama memerah tanpa bisa ia kendalikan.

Pria tiga puluh tahun itu terus bergerak memangkas jarak, hingga akhirnya ia memeluk tubuh keponakannya dengan erat juga menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

"Tidak apa-apa, keluarkan saja. Jika kau terlalu banyak menahan diri seperti ini, akhirnya tidak akan baik."

Akibat kalimat itu, Magnus yang semula hanya meneteskan air mata tanpa suara kini mulai terisak. Ia menangis tersedu-sedu. Suara sesenggukannya yang lirih dan pilu menyeruak ke segala penjuru.

***

"Aku ingin pestanya dibatalkan, Ayah. Aku tidak butuh pesta ulang tahun."

Limited TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang