9. Pangeran Terlantar

543 109 7
                                    

Suhu udara semakin dingin ketika malam semakin larut. Hal itu yang membuat Sophia masih terjaga hingga saat ini. Karena ia kedinginan.

Untuk mengakali hawa dingin yang terus menusuk-nusuk kulitnya, Sophia duduk di kursi yang sengaja ia taruh di depan perapian dengan tubuh ia tutupi rapat-rapat dengan selimut.

Pintu kamar tiba-tiba diketuk dari luar, disusul suara bariton yang terdengar meminta izin. Membuat Sophia menoleh, menatap ambang pintu yang masih tertutup rapat.

"Nona Sophia, ini aku. Aku membawakan kayu bakar tambahan. Bolehkah aku masuk?"

Meski tidak menyebutkan namanya, Sophia tahu jika pria yang baru saja berbicara kepadanya adalah Magnus.

"Ya, Yang Mulia."

Sophia menyahut sembari bangkit dari kursinya, hendak pergi membukakan pintu. Namun, Magnus sudah lebih dulu membukanya dan berjalan masuk dengan membawa sekeranjang penuh potongan kayu sebelum Sophia sempat bergerak dari tempatnya.

"Malam ini lebih dingin dari kemarin ya?"

Sophia mengangguk kecil. "Iya."

Gadis itu segera mengulurkan tangannya, ingin mengambil alih keranjang tersebut. Namun, Magnus tidak memberikannya, justru menaruhnya sendiri di dekat perapian.

"Haruskah aku tambah beberapa potong ke dalam perapian sekarang?"

"Tidak perlu. Saya akan melakukannya sendiri nanti."

"Begitukah? Baiklah."

Setelah dialog singkat itu, Magnus kemudian bangkit, kembali berdiri tegap.

"Kenapa anda yang mengantar ini sendiri? Bukankah ini tugas para pelayan?" tanya Sophia—akhirnya memulai percakapan lebih dulu.

"Sebagai tuan rumah, aku harus turun tangan langsung untuk melayani Tuan Putri Kekaisaran negeri seberang dengan baik," sahut Magnus, setengah bercanda.

"Jangan seperti ini, Yang Mulia. Saya bukan siapa-siapa lagi sekarang. Anda lah Pangeran Kekaisaran yang sesungguhnya. Seharusnya anda dilayani, bukan melayani."

"Maka aku pun begitu. Sama sepertimu, sekarang, aku bukan lagi Pangeran Kekaisaran. Aku hanya seorang pemimpin wilayah terpencil."

"Meski begitu, tetap saja ini terlalu ..."

Setidaknya Magnus masih memiliki status yang melekat pada dirinya. Masih memiliki kekuatan dan kekuasaan meski skalanya tidaklah besar. Sedangkan Sophia, ia tidak memiliki apa-apa lagi sekarang, sama sekali.

"Terlepas dari siapa pun dirimu, dan status apa yang kau miliki, aku akan selalu berusaha memperlakukanmu dengan baik sebagai bentuk rasa terima kasih karena kau sudah banyak membantu memecahkan masalah-masalah paling krusial di Winterfall."

"Saya hanya membayar makanan dan kamar yang saya terima saja."

"Kau sangat berlebihan."

Magnus merasa, kamar tamu kastel ini dan setiap makanan yang bisa disediakan untuk Sophia tidaklah sebanding dengan apa yang ia terima dari gadis itu. Jadi, jika menyebutnya sebagai cara membayar, itu sangat berlebihan.

"Tidak ada yang namanya berlebihan. Sebuah uluran tangan nilainya akan selalu berbeda di mata tiap orang."

Kalimat itu berhasil membuat Magnus tertegun sejenak.

"Lagi pula, permasalahannya bahkan belum benar-benar teratasi. Saya baru memberikan ide, hasilnya masih belum ada," sambung Sophia lagi.

"Tapi, tetap saja. Karena aku berhutang budi—Winterfall berhutang budi—maka aku akan selalu berterima kasih kepadamu. Dengan cara apa pun yang bisa kulakukan."

Limited TimeOnde as histórias ganham vida. Descobre agora