Catatan Keempatbelas

105 11 1
                                    

Hendakkah saya mati atau hidup, setidaknya saya pernah berdiri untuk tanah air saya sendiri.

.

.

.

Suara gemuruh tembak memenuhi malam di mana seharusnya para warga beristirahat, harus dikejutkan dengan peperangan yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Para Pasulit berjaga tak ada yang tidur hari itu juga, segala senjata siap, pakaian anti peluru, suasana area benar - benar tidak aman, kecuali posko kesehatan.

Mereka semua mengungsi di sana, menyaksikan para Pasulit keluar masuk posko untuk mendapat perawatan atas luka mereka. Banyak juga Pasulit yang sudah gugur begitu saja di tangan para pengkhianat, menghasilkan suara tangis perih dari sebagian keluarga mereka yang menyaksikan.

Jujur saja, Wistara yang sejak tadi menyaksikan rasanya tak tega, rasa khawatir terhadap Syandana dan putrinya mendadak datang kembali. Ia tak tenang, rasa ingin ikut turun ke medan pertempuran setelah pelatihannya bersama Garvi membuncah, tapi, ia sangat menyadari bahwa ia tak punya apa - apa saat ini.

Tak ada pistol, tak ada senjata mumpuni, yang ada hanya dirinya dan rasa khawatirnya. Kalya di sana pun tak akan bisa membantu, bahkan kini Kalya dengan segala traumanya itu tengah menangis dalam pelukannya dengan telinga yang ia tutupi rapat - rapat.

"Wistara!"

Wistara berjengit kaget mendengar suara Harsa yang berteriak kencang memanggilnya seraya masuk dalam tempatnya dan Kalya. Harsa membawa Frisa yang menangis dalam dekapannya, rasa khawatir itu berbuah rasa lega melihat Frisa tak terluka sama sekali dalam dekapan Harsa, tapi, ia masih tak dapat membawa Frisa dalam gendongannya karena Kalya masih membutuhkannya.

"Maaf baru bisa ngunjungin kamu di sini, dan maaf juga baru bisa bawa Frisa karena situasi luar emang sehancur itu," Harsa berucap dengan napas yang memburu, ia yang merasa kakinya melemas jatuh terduduk sebab habis lari menyelinap menghindari kekacauan yang ada di luar membawa Frisa.

"Gak papa... Harsa?" Harsa mengangguk kala Wistara menyebut namanya.

Wistara dan Harsa tidak sedekat itu, ia juga hanya tahu Harsa sebatas nama dan penyandang sebutan tunangan Garvi. Wistara hanya melihat wajah Harsa beberapa kali, karena itu ia tidak terlalu mengenali Harsa, apalagi dengan gaya rambut Harsa yang semula berwarna biru gelap kini menjadi pirang.

Sekalipun mereka tak bicara, tapi, suara kekacauan di luar selalu berhasil memecah keheningan. Bahkan hingga Kalya tertidur dan Wistara bisa menggendong Frisa untuk menenangkan Frisa dari suara tembakan yang sangat traumatis suara itu tak kunjung berhenti.

"Wistara... sebenarnya ada apa?" Harsa memberanikan diri bertanya, malah membuat Wistara kini menukik alisnya bertanya mendengar pertanyaan Harsa.

"Maksudmu? Kejadian ini?" Harsa mengangguk, membuahkan tawa dari mulut Wistara yang membuat Harsa kebingungan, tapi, Wistara tetap menjawab disertai tawa, "Ya... begitu deh, dendam internal yang membuahkan kejadian luar biasa dan menghancurkan negara."

"Gak tau apa yang ada di pikiran mereka, tapi, demi dendam pun segala hal dihalalkan. Aku gak tau dendam apa yang mereka punya sampai segininya, bunuh bunuh orang, mungkin buat mereka keren, tapi, melanggar betul hak asasi manusia," Wistara menjawab dengan geram, tapi, tetap disertai senyuman manis yang terlihat sendu di mata Harsa.

Mereka lantas diam, percakapan mereka berakhir di sana. Wistara yang merasa sesak dan Harsa yang tak mau mengusiknya, benar - benar hening hingga rasanya telinga mereka tak mendengar suara kekacauan di luar.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant