Catatan Ketigabelas

140 15 1
                                    

Lalu.. apa maknanya?

.

.

.

Syandana kembali ke markas setelah menjenguk Wistara di posko kesehatan, disambut oleh Frisa yang melompat turun dari gendongan Harsa sebab merasa senang sang ayah akhirnya datang. Frisa segera melompat ke gendongan Syandana setelah Syandana berlutut dan merentangkan kedua tangannya, Frisa merindukan ayahnya walau ayahnya hanya pergi sebentar.

Tak lupa Syandana berucap terima kasih pada Harsa yang sudah sukarela menjaga Frisa, lalu pergi masuk ke dalam ke arah kamar tidurnya sebab hari sudah malam dan Frisa terlihat sudah mengantuk. Frisa mengoceh banyak hari ini, benar - benar layaknya tak kehabisan energi walau matanya sudah terpejam sempurna. Syandana terkekeh, gemas Syandana melihat putrinya yang masih mengoceh walau matanya terpejam, benar - benar mengingatkannya pada Wistara.

Syandana memindahkan tubuh Frisa yang masih mengoceh ke ranjang tempatnya tidur selama berjaga di markas, dan Frisa masih saja mengoceh walau bahasanya mulai tak jelas. Frisa terus berkata kalau ia merindukan Wistara juga Syandana untuk bersama dengan bahasa yang membuat Syandana pusing mendengarnya, Frisa terus berkata ia ingin berlibur bertiga dengan Syandana dan Wistara hingga ia akhirnya tertidur.

Rasanya, hati Syandana sakit mendengar ocehan Frisa. Seraya mengusap surai Frisa, ia berjanji pada hatinya agar secepatnya memberi aman pada negeri ini, agar ia bisa menuruti impian Frisa maupun semua anak yang harus lahir saat insiden ini dan tak bisa mengetahui dunia luar selain area evakuasi.

Televisi rasanya tak cukup, hanya memberi gambaran tentang apa yang terjadi di luar, yang membuat otak anak muda terasa hampir meledak mendengarnya. Bahkan, kejadian ini harus masuk dalam ranah sejarah kelam layaknya kejadian pemberontakan komunis dan krisis moneter.

Ia lantas mengecup kening Frisa dan berdiri dari duduknya, mengingat ia harus berjaga malam ini bersama yang lainnya. Ia hendak berjalan ke depan markas hingga tiba - tiba Surendra yang kebetulan juga lewat dari arah depan menghentikan bahunya, membuat Syandana menatap Surendra dengan tatapan bertanya. 

Surendra mengode Syandana untuk kembali ke kamar mereka, dan tanpa merasa terpaksa Syandana mengikuti arahan kode Surendra. Kala kini mereka berada dalam kamar, Surendra mengeluarkan sebuah buku diary yang terbungkus kain, sangat Syandana ketahui bahwa diary tersebut adalah buku diary milik Wistara yang tak akan Wistara buka pada siapapun kecuali Kalya.

"Buku ini, menyimpan segala jawaban yang berputar dalam kepala."

Syandana dibuat heran oleh ucapan Surendra, maka ketika Surendra menyerahkan buku tersebut pada Syandana, segera Syandana terima dan buka. Dalam hatinya, Syandana meminta maaf pada Wistara sebab telah membuka buku yang Wistara katakan memiliki banyak rahasia besar.

Pada halaman awal, Syandana tak menemukan kejanggalan, hanya tulisan tentang Wistara sehari - harinya. Menggerutui sang ayah yang diketahui dulu sebagai menteri pertahanan dan jarang pulang, menceritakan tentang ibunya yang memasak untuknya meski kesibukan melanda, bahkan juga bercerita tentang pacar pertama masa sekolahnya.

Syandana menahan senyumnya, betapa menggemaskan Wistara dengan tulisan rapinya. Dengan apik Wistara menceritakan bagaimana masa sekolahnya berjalan, tentang keluarganya, benar - benar sosok yang memiliki banyak cerita. Bahkan, Syandana menemukan bahwa Wistara menggerutui perjodohan mereka berdua. Dalam bukunya, terdapat ratusan sumpah serapah untuk Syandana.

'Awas saja laki - laki sok keren itu kalau sampai dia merendahkanku! Pasti dia menerima karena kasihan, kan? Cih!' 

'Mentang - mentang tak punya orangtua bukan berarti aku tidak bisa hidup sendiri, bahkan aku punya Kalya dan pacarku, kenapa mereka masih kukuh? Layaknya aku mati andai aku hanya dengan mereka berdua'

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang