Catatan Kesepuluh

165 18 3
                                    

Mungkin masalah kita rumit, tapi saya tahu, saya tidak sendiri.

An : intense kissing scene.

.

.

.

"Kamu mau menangis sampai berapa jam lagi, sayang?"

Ini sudah hampir dua jam sejak kedatangan Syandana secara tiba - tiba di kamar rawat Wistara, dan tangisan Wistara langsung pecah melihat betapa banyak luka di tubuh Syandana. Beruntung Frisa masih bersama Kalya, jadi Frisa tidak akan kebingungan harus melihat Wistara menangis keras di dekapan Syandana.

"Orang mana yang ga nangis tahu suaminya hampir mati? Jahat banget pertanyaannya," Syandana terkekeh mendengar ucapan Wistara dengan suara seraknya itu, lantas ia dengan lembut mengusap punggung Wistara yang bergetar sebab menangisi dirinya.

"Sudah, buktinya saya hidup, ini belum apa - apa, mereka belum menyerang terlalu besar," Syandana menjeda ucapannya, lantas ia tangkup wajah Wistara serta ia kecupi wajah cantik Wistara yang sembab karena menangis terlalu lama, "cantiknya saya, mamanya Frisa, sayangnya saya, menangisnya sudah cukup, ya? Apa ga capek?"

"Capek," Wistara melengkungkan bibir bawahnya, membuat Syandana gemas lantas ia kecup bibir pucat Wistara.

"Berhenti nangisnya, ya?"

Tapi yang Syandana dapat bukanlah Wistara yang berhenti menangis, malah semakin keras suara tangis Wistara dalam dekapannya. Syandana menghela napas berat, ia sudah tidak bisa apa - apa kalau begini, ia hanya akan menunggu Wistara selesai menangis dan hanya berusaha menenangkan Wistara dengan mengusap punggung Wistara.

Syandana sesekali membisiki kata penenang untuk Wistara, dan rupanya itu cukup bekerja hingga Wistara kini sedikit tenang. Perjuangannya mendapat izin untuk menemui Wistara cukup berat baginya, tapi bersama Surendra dan Garvi, ia berhasil mendapat waktu tiga hari untuk bersama Wistara, sama hal nya dengan dua temannya itu, sekaligus untuk pemulihan.

Syandana dengan pakaian yang cukup membuat satu rumah sakit tercengang karena cukup menampakkan betapa kekar lengan serta bahu lebarnya, faktor dari rasa sakit yang ia rasakan di sekitar badannya dan ia harus menahan malu demi bertemu istrinya. Dan keadaan yang membuat tercengang itu malah memecah tangis Wistara yang melihat lukanya, bukan betapa bagus tubuhnya.

"Sudah?" setelah sekian lama Syandana membiarkan Wistara menangis, akhirnya Wistara mengangguk seraya mengangkat pandangannya, menatap ke arah Syandana yang tersenyum lantas mencium pucuk kepalanya.

"Minum dulu," Syandana mengambil segelas air di atas meja nakas lantas memberikannya pada Wistara, yang sudah bisa ditebak kalau Wistara hanya akan minum dua teguk lantas mengembalikannya.

"Mas beneran gapapa? Ini banyak banget, loh, apa gausah ikut begituan lagi? Ini lagi masih basah, dan malah aku basahi lagi, ini ga sakit?" pertanyaan yang cukup membuat Syandana bingung menjawab, karena ia juga mengaduh kesakitan kala Wistara menyentuh area lukanya.

"Sakit, sayang, tapi ini masih belum apa - apa," Wistara merengut, tak suka dengan jawaban Syandana yang seolah mengentengkan luka - lukanya.

"Apa harus mati di tempat dulu baru tahu kalau ini parah, huh?" Wistara lagi - lagi menyentuh luka Syandana, buat Syandana kembali mengaduh kesakitan dan Wistara kembali berkata, "dasar, kalau bukan karena dijodohin aku males banget nikah sama berandalan kayak kamu, dari zaman sekolah hobi banget mengentengkan luka berat."

Syandana tertawa karena ucapan Wistara, "Waktu itu cuma tawuran monyet, jadi lukanya bisa dientengkan, teringat saya dulu benci sama Pasulit tapi saya tiba - tiba masuk jadi Pasulit."

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Where stories live. Discover now