Catatan Kesembilan

132 17 3
                                    

Bedebah!

.

.

.

Para Pasulit dengan luka - luka mereka membuat mereka mau tak mau segera dibawa ke markas utama untuk diobati. Para teroris itu sudah berusaha menyerang mereka, mereka semua membawa senjata tajam, senjata api, bahkan sebagian menghadapi dengan tangan kosong.

Surendra bahkan Garvi juga kini terbaring lemas akibat luka tembak yang mereka dapat di betis dan lengan atas mereka dan beberapa luka lain yang ada pada tubuh mereka, sedang Syandana mendapat luka di sekitar dada dan bahu yang begitu kentara, rasanya seperti kembali pada zaman peperangan. Bila dilihat, Surendra hanya perlu lilitan perban di betisnya walau ia mau tak mau harus susah berjalan dan sebagian besar tubuh atasnya juga dililit perban karena luka di perut dan bagian dadanya, Garvi harus mendapat plester luka di pelipis dan sebelah bibirnya yang sobek akibat menghadapi dengan tangan kosong, beserta lengan atasnya yang terdapat lilitan perban akibat luka tembakan, dan Syandana harus melilit sebagian besar tubuh atasnya dengan perban karena luka di sekitar dada dan bahunya tersebut.

Seragam mereka sudah penuh dengan darah para teroris itu karena berusaha menumbangkan para teroris yang semakin maju pada mereka, tapi beruntung para teroris itu akhirnya pergi setelah banyak para teroris yang tumbang akibat melawan Pasulit. Peperangan sementara itu terjadi sejak pukul satu pagi hingga pukul empat pagi, dan mungkin akan membuat pimpinan mereka jadi semakin ketat dan bisa - bisa mereka tak bisa bertemu keluarga mereka.

Banyak Pasulit yang terluka, bahkan ada yang tak sadarkan diri dan segera dilarikan ke rumah sakit. Yang hanya mengalami luka dan masih dalam keadaan sadar hanya diobati di dalam markas utama, tentunya dengan tenaga medis profesional dari rumah sakit dalam area.

Syandana berada satu ruangan dengan Surendra dan Garvi, keheningan dengan tiga kaleng minuman yang terbuka setelah mereka sedikit bersenang - senang, merayakan rasa sakit walau ancaman segera datang kembali. Mereka tak tahu apakah mereka akan bisa kembali bekerja dengan keadaan mereka yang tidak memungkinkan untuk sekedar bergerak ini, tapi namanya sudah kewajiban mau bagaimana lagi.

"Istri sama anak - anak saya aman ga, ya?" Surendra bergumam tiba - tiba, bertanya sendiri namun berhasil menarik perhatian Garvi dan Syandana yang cukup bisa mendengar gumaman di tengah keheningan itu.

"Kayanya yang baru diserang cuma kita - kita saja, ga tahu besok," Garvi menyahut, seraya memikirkan tunangannya yang ada di rumah pula.

"Tapi jangan perang dulu lah, saya belum nikah, padahal pernikahannya dua minggu lagi," Garvi menambahkan, seraya bersandar di tembok yang dekat dengan brankarnya.

"Saya lama - lama muak," Syandana berceletuk tiba - tiba, ia yang semula bersandar menegakkan tubuhnya, "kalau boleh egois, saya mau cari dalangnya."

"Tidak semudah itu, mereka bergerombol dan banyak, pimpinan mereka juga tidak akan secepat itu turun kecuali kita tumpas mereka semua, dalang dari semuanya juga akan tetap bersembunyi di balik tabirnya mengendalikan mereka kecuali jika yang dikendalikan sudah habis dan ia sudah tidak punya apa - apa lagi," Surendra menjawab celetukan Syandana seraya menatap ke arah langit - langit ruangan tempat mereka singgah.

"Menumpas mereka juga tidak semudah membalik tangan, bisa jadi dalang itu pintar dan menyiapkan cadangan, dan mereka juga pasti akan melindungi pemimpin dan dalangnya. Ah, entahlah, saya bingung sendiri mengatakannya." Surendra membaringkan tubuhnya seraya sedikit mengernyit sakit setelah berucap demikian, lantas menghela napas berat dan perlahan memejamkan mata.

Pengakuan | Sanwoo/Woosan [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon