ENAM

38 4 0
                                    

"Gus mau makan dulu, atau minum kopi?" tanya Najma dengan kepala tertunduk sopan.

Biasanya Hadavi setelah pulang dari mengajar atau berkeliling pondok akan makan atau minum kopi. "Saya langsung kekamar saja, istri saya ada dikamar kan?"

Najma tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Iya gus."

"Masya Allah, gus bucin banget." batin Najma.

Lelaki bergelar gus tersebut berjalan tak sabaran menuju peraduannya bersama sang istri. Hadavi tersenyum gemas, melihat istri yang memenuhi pikirannya ternyata sedang duduk di sofa memakan seblak pemberian Surya. Hadavi melangkah mengendap-endap mendekati Zea dan langsung memeluk erat tubuh kesayangannya itu dari belakang.

"Enak gak seblak nya? Mau lagi? Kalau mau, biar mas beliin."

Zea tersentak terkejut. "Astaghfiruallah Mas, Zea kaget."

Kecupan singkat berlabuh di pipi Zea. "Maaf sayang, jadi mau lagi nggak seblaknya?"

Zea tersipu malu. Tidak menyangka kalau Hadavi bertambah mesra seperti ini. Batin dan raganya belum siap sepenuhnya menerima segala keromantisan Hadavi. "Enggak usah mas, ini udah kenyang. Mas dari mana tau kalau Zea suka seblak ini?"

Hadavi terdiam, dia lupa mengatakan kalau seblak itu dari Surya. Dia berpindah duduk tepat disamping Zea. "Itu seblak dari ayah Surya. Tadi ayah kesini mau jenguk kamu, tapi kamu masih tidur jadinya gak tega buat bangunin."

Wajah Zea berubah jadi sendu, terlihat jelas oleh mata Hadavi. "Harusnya bangunin aja Mas" lirih Zea.

"Maaf, tadi juga ayah terburu-buru karena mau check up kesehatan bunda Nana habis melahirkan." Bunda Nana adalah istri Surya sekarang.

Tatapan sendu Zea langsung berubah penuh antusias. Dia teringat bahwa telah memiliki adik tiri lagi. "Bunda Nana melahirkan jam berapa Mas?"

"Mas kurang tahu untuk jam nya. Besok kita jenguk, mau?"

Zea mengangguk semangat. "Mau, mau banget Mas. Masya Allah gak nyangka aku punya adik lagi." katanya penuh haru.

Hadavi tersenyum melihat wajah bahagia Zea, walaupun dia tahu ada kegetiran disana. Kebahagiaan Zea sebenarnya hanya topeng untuk membalut luka tak kasat mata tentang kenyataan dirinya memiliki adik, namun bukan adik kandung tapi adik tiri.

"Sini di taruh dulu seblak nya." Hadavi menaruh seblak dari tangan Zea keatas meja.

"Kenapa mas?"

"Sini mas mau peluk. Mau peluk adek."

"Adek?"

"Hm, kayaknya panggilan adek cocok." kata Hadavi penuh lembut. "Cocok sama wajah kamu yang masih kayak bocil."

Wajah Zea bersemu merah. Entah dari mana Hadavi belajar hal tersebut. Zea nerapatkan tubuhnya dalam dekapan Hadavi. Hangat tubuh suaminya tersalur menenangkan hati Zea.

"Adek lagi seneng atau sedih?" tanya Hadavi lembut.

"Seneng. Apalagi tahu kalau udah punya adik kecil lagi."

"Yakin?"

Zea terdiam.

"Mas tanya lagi. Adek lagi seneng atau sedih. Gak perlu bohongin diri adek sendiri."

Zea mengeratkan cengkraman tangannya pada perut Hadavi. "Kalau sedih memang boleh mas?" lirihnya.

"Boleh. Kata siapa gak boleh."

Zea mendongak menatap lekat Hadavi. Matanya berkaca-kaca. Sekali lagi ia bingung bagaimana cara berterima kasih pada Allah telah memberikan suami sempurna seperti Hadavi.

"Sebenernya, adek sedih juga. Dulu waktu kecil, waktu mama sama ayah masih belum bercerai adek pengen banget punya adik biar bisa diajak main. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Jujur, adek iri sekaligus bersyukur karena adik-adik dapet kasih sayang lengkap kedua orang tua."

Hadavi mengecup kedua mata Zea. "Lain kali adek kalau sedih bilang sedih ya. Gaboleh dipendem sendiri. Jadikan mas sadaran adek, setelah Allah."

"Adek boleh merasa iri tapi selalu ingat bahwa Allah telah menakdirkan sesuatu sesuai proporsinya. Pernah dengerkan kata-kata bahwa Allah tidak akan pernah menguji umatnya diatas kemampuan. Nah kata itu harus selalu adek ingat. Mungkin dulu adek gak dapat kasih sayang penuh dari kedua orang tua adek, tapi sekarang insya allah sebagai suami mas akan berikan semua kasih sayang yang gak pernah adek dapat. Adek juga bisa anggep kedua orang tua mas, orang tua adek juga. Banyak yang sayang kamu."

Zea memeluk erat Hadavi erat. Wanita cantik itu menangis deras dalam pelukan suaminya. Lelaki ini lah yang ia tunggu selama ini.

"Nenek, lihatlah. Nenek pasti bahagiakan disana. Suami Zea sangat baik nek, sesuai dengan doa nenek dulu." batin Zea.

Hadavi mengecup berkali-kali kepala Zea.

"Pasti sakit banget ya dek. Mas gak menuntut adek jadi istri yang sempurna. Jadilah apa adanya, dan mas akan menjadi penyempurna adek." bisik Hadavi lirih penuh kesungguhan

"Masya Allah. Allahu akbar. Berkah apa yang telah kau berikan padaku." batin Zea menangis.

***

"Lucu banget kan mas. Masya allah, tampan banget Azis." Zea menggendong adik tiri nya yang baru beberapa hari lahir dengan nama Muhammad Azis Syafi'i. Perempuan itu nampak sangat bahagia menimang adik kecilnya.

"Semoga segera nyusul ya Zea. Biar nanti Azis punya temen main." sahut Nana.

"Iya nak. Ayah gak sabar menimang cucu dari kalian berdua." setelah tadi Surya dan Nana meminta maaf atas ketidak hadirannya dalam pernikahan sang anak. Hubungan komunikasi antara Zea dan Surya sedikit membaik. Zea pun memaklumi dan melapangkan dadanya.

"Insya Allah ayah doakan saja. Jika Allah menakdirkan, kami juga ingin punya lima anak." jawab Hadavi.

Zea melotot tak percaya, lima anak sangat banyak sekali. Belum malam pertama juga Hadavi sudah bermimpi meningingkan lima anak.

"Sini kalian berdua bunda fotoin. Semoga bisa segera nular."

Hadavi antusias sekali. Ia langsung menyerahkan handphone nya dan berpose merengkuh tubuh Zea dari belakang. Zea pun dengan malu-malu berpose sambil menggendong Azis.

"Adek nanti pasti bertambah cantik waktu hamil baby kita." bisik Hadavi.

"Mas, malu." namun dalam hati Zea mengaminkan semua do'a dan harapan suami maupun orang tuanya agar segera bisa mempunyai momongan.

Hasil foto yang selayaknya keluarga bahagia tersebut, Hadavi menjadikannya walpaper layar hanphone nya. Ia tersenyum bahagia melihat hasil foto tersebut.

"Ya Allah, semoga selalu seperti ini." batin Hadavi.

Zea tampak bahagia hari ini, Hadavi bersyukur atas hal itu. Nana mengajari Zea dasar-dasar mengurus bayi seperti mengganti popok, menyuapi bayi. Zea sangat antusias sekali, dan Hadavi pun dibuat klepek-klepek. Mata sayu nya tidak bisa beralih sama sekali dari istrinya.

Zea yang dilihat sedemikian rupa hanya bisa bersemu malu. Rasanya kupu-kupu bertebangan di perutnya. Setelah beberapa jam disana, akhirnya Zea dan Hadavi memilih pamit pergi.

"Ayah, bunda kami pamit pergi dulu." pamit Hadavi sopan.

"Mau kemana kok buru-buru sih. Bunda masih kangen sama Zea."

Zea menyahut. "Maaf Bunda, lain kali Zea akan main lebih lama lagi. Kami mau menghadiri pernikahan putra nya ustad Hasyim."

"Oh yaudah kalau gitu. Makasi ya udah jenguk Bunda. Bahagia selalu buat kalian." Zea memeluk Nana kemudian beralih pada ayah nya.

"Makasi ya Nak, sekali lagi maaf." Zea mengangguk tersenyum. Zea dan Hadavi pun menyalami Hadavi dan Nana. Mereka pun masuk kedalam mobil guna menuju tempat acara diadakan.

Tbc.

Bismillah allahuakbar

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HazeaWhere stories live. Discover now