Janji untuk Bahagia

1.3K 81 11
                                    

Semesta tak pernah puas menyakiti hati manusia, menghancurkan suka cita, meluluh lantakan kebahagian yang diterima. Tak sekalipun harapan dibiarkan tersisa, menyisakan isak tangis yang dibawa.

Raungan keputusasaan tak membuat semesta iba memberikan luka. Waktu terus berlalu, jiwa yang dipaksa kembali, masih belum menunjukkan peningkatan.

Semua anggota keluarga hanya bisa menunggu di luar setelah Juan dipindahkan ke ruangan ICU. Alat-alat medis yang baru kemarin dilepaskan kembali melilit tubuh ringkih itu.
Bahkan tubuh kurus itu dibiarkan terbuka tanpa ditutupi sehelai benang pun, hanya popok yang menutupi area pribadinya.

Citra tak kuasa menahan tangis mengusap dinding kaca pembatas ruangan, matanya sembab dengan isakan meminta Juan jangan menyerah.

Fahri berdiri disamping Citra, matanya memanas melihat keadaan anak bungsunya jauh dari kata baik.

Cantika memeluk Bagas meredamkan tangisnya, tak menyangka akan kembali keruangan ini lagi.

Tama hanya bisa duduk bersandar dengan pandangan kosong, mata yang selalu memandang rendah kini hanya penuh dengan penyesalan.

Mereka sama-sama hancur melihat kesayangan mereka sedang berjuang di dalam sana, belum ada kabar yang pasti dari Reza mengenai kondisi Juan sekarang.

Langkah kaki mendekati mereka, menatap mereka dengan tatapan sendunya. Snelli putih itu ternodai muntahan bercampur darah, menambah rasa sakit mereka mengingat kejadian menyakitkan.

“Silahkan ikut ke ruanganku,” ucap Reza melangkah pergi.

Mereka mengikuti Reza, masuk ke ruangan kerja yang di dominasi warna putih. Reza duduk sambil memegang kertas di tangannya. Matanya begitu serius dengan tulisan yang tertera di sana.

“Panik Attack,” perkataan Reza semakin mengheningkan suasana.

Hanya detik jam menandakan waktu terus berjalan, hingga menit berikut Reza kembali menjelaskan hasil pemeriksaan Juan.

“Juan mengalami Panik Attack, Panik Attack memicu kecemasan berlebihan yang mempengaruhi kinerja jantung dan paru-paru yang dipaksa bekerja dua kali lipat.  Untuk orang yang sehat secara fisik tidak akan terlalu berbahaya jika mendapatkan penanganan. Namun kondisi Juan berbeda.” Reza mengeluarkan hasil pemeriksaan jantung dan paru-paru juan. “Penyakit itu sudah bergerak ke jantung dan paru-paru Juan, membuat kinerja dua organ vital ini menurun drastis, hal ini diperparah akibat serangan Panik Attack yang memicu henti jantung dan henti napas.”

Hati mereka diremukkan oleh perkataan Reza yang penuh penderitaan.

“Beruntung Juan mau kembali  berjuang. Sekarang, kondisi Juan masih dalam kondisi kritis. Kedepannya jangan membuat Juan stress apalagi tertekan, karena akan membuat Juan teringat masa lalunya yang  kelam,” ucap Reza panjang lebar, terutama ia tujukan kepada ayahnya yang semakin tampak merasa bersalah.

Tama menunduk, meremas kedua tangannya yang bergetar. Sungguh ia kakek yang jahat membuat jiwa dan fisik cucunya kesakitan. Tangan yang seharusnya membelai dengan lembut, ia hantam kan ke tubuh ringkih tanpa perasaan. Mulut yang seharusnya mengeluarkan kasih sayang, melontarkan cacian kebencian. Sekarang, senjata yang jadikan menyiksa Juan, berbalik menyerangnya.

Sungguh Tama menyesal sering menyiksa Juan setiap berkunjung ke rumah anaknya. Sekarang luka yang ia berikan, semakin menyiksa Juan walaupun ia hentikan.

Tama beranjak dari duduknya, pergi keluar tanpa satu kata, berjalan gontai menuju ruang ICU. Dapat ia lihat dengan jelas, bagaimana perawat memantau kondisi Juan. Mengecek popok yang tampak mengembung.

Tama memalingkan muka, melihat suster menekan perut Juan yang membengkak, mengingatkannya menyiksa Juan dengan memukul dan menekan kuat perut membengkak itu tanpa ampun.

Tama semakin tak kuasa menahan tangis, melihat tubuh itu tampak bergetar dalam  pejamnya, dan menyentak detik berikutnya. Rasanya begitu sesak,tak terbayang bagaimana sakitnya Juan menanggung itu semua.

Dengan hati hancur, Tama memutuskan masuk ke dalam ruangan ICU tanpa ijin, membuat suster yang sedang berjaga di dalam memintanya keluar. Namun, Tama adalah Tama, dengan kekuasaannya berhasil membungkam suster itu.

Tama diminta memakai pakaian steril sesuai dengan aturan, barulah ia diperbolehkan mendekati brangkar.

Tama semakin terenyuh melihat cucu yang dulunya ia benci menjadi cucu kesayangannya sekarang. Teringat bagaimana tubuh mungil itu selalu meminta digendong seperti Citra dan Bagas. Namun hanya hentakan kasar ia berikan.

Sekarang, ia ingin menggendong Juan seperti keinginannya waktu kecil dulu, dan membebaskannya dari semua kesakitan ini.

Tama menangis keras di ceruk leher Juan, bersentuhan dengan tubuh nan dingin. “Sayang … hiks maafkan Kakek … Adek boleh benci Kakek, balas semua perlakuan kasar Kakek, pukul Kakek atau tendang Kakek, seperti yang Kakek lakukan dulu … hiks … Kakek nggak kuat melihatmu seperti ini … hiks.”

Diciumnya kening dan kedua pipi Juan, lalu mengusap bibir yang dijejali selang ventilator itu. Bahkan untuk bernapas Juan tidak bisa dengan sendirinya, harus diberi tekanan tinggi oksigen untuk membuat paru-parunya mengembang. “Sakit banget, ya? Masih sesak banget, ya, Dek?”

Tama tak kuasa menahan tangis melihat Juan masih berusaha mencari oksigen walaupun sudah dibantu ventilator, mulutnya mangap-mangap bersama tekanan oksigen yang diberikan.

“Sayang … hiks … jangan lupa bangun, ya? Kakek janji akan mengabulkan semua keinginan Adek, nggak akan marah-marah lagi, nggak akan pukul-pukul lagi. Adek mau kan?”

Dibalik pejam Juan, air mata keluar mendengar perkataan Tama memintanya kembali.

Tama yang melihatnya, tersenyum dalam tangisnya. “Kakek anggap Adek setuju.” Mencium punggung tangan Juan yang terbebas dari infus.

Pemandangan menyayat hati itu, tidak lepas dari Reza, Fahri, Citra, Bagas, dan Cantika. Mereka terharu melihat perubahan Tama begitu menyayangi Juan dan benar-benar menyesali perbuatannya.

Sekarang tugas mereka hanya berdoa, dan Reza mengupayakan kesembuhan Juan. Semoga Tuhan tidak membiarkan semesta mengambil Juan dari mereka.      

TBC

YEEE doubel up

Batasan LukaWhere stories live. Discover now