Prologue

24 9 0
                                    

"Cause there were pages turned with the bridges burned
Everything you lose is a step you take
So make the friendship bracelets
Take the moment and taste it
You've got no reason to be afraid

You're on your own, kid."

°°°

Milly benci kebisingan. Maka dari itu, benda pertama yang ia masukkan ke dalam tas ketika Donn Hughes-kerabat mendiang papanya yang ia hubungi dua hari lalu-mengabarkan bahwa ia sudah memesan tiket pesawat untuk menjemput Milly dari kota hujan di Washington adalah noice cancelling headphone berwarna pink kesayangannya. Tanpa benda merah muda tersebut, Milly bisa menjamin sepenuhnya bahwa perjalanan yang akan ia tempuh dari Forks ke Chicago akan dipenuhi dengan ketidaknyamanan yang tentu akan berpengaruh kepada moodnya yang sudah buruk sejak beberapa hari belakangan.

"Do you need anything else?"

Perhatian Milly teralih dari tas ransel bermotif bunga sakura di tangannya ke arah Samantha, rekan kerja papanya semasa hidup, yang baru saja lemparkan tanya dengan nada lembut dari ambang pintu kamar yang ia pinjamkan untuk Milly sejak perempuan berusia 18 tahun tersebut memutuskan rumah Mamanya bukan lagi tempat yang aman untuk ia tinggali beberapa hari lalu.

"I don't think so, Sammie, but thank you," jawab Milly, senyum manisnya sebabkan kacamata yang semula agak turun kembali terangkat ke atas.

"My pleasure, Sweetheart." Samantha menjeda, wajahnya tampak muram, seakan enggan terima kenyataan bahwa Milly akan meninggalkannya dalam waktu kurang dari satu jam. "I'm gonna miss you very much." Perempuan dengan blouse putih dan rambut blonde yang ia biarkan terurai di punggung tersebut menghela napas berat sebelum berjalan masuk untuk bawa Milly ke pelukannya.

"I'm gonna miss you too, please take care of Spiders and his friends." Spider adalah sebuah tanaman bonsai kesayangan papanya yang jelas tidak mungkin Milly bawa pindah ke Chicago, tapi Milly yakin Samantha dan suaminya akan mengurus tanaman-tanaman itu dengan baik.

"Of course I will, Baby. Kamu nggak perlu khawatir soal itu, oke?"

Mengangguk pelan, Milly kembali alihkan pandangannya dari Samantha ke ruang tamu yang berada tepat di depan kamarnya. Ada Jase, suami Samantha, Donn, juga seorang perempuan yang miliki mata persis seperti yang Milly punya. Seseorang yang bahkan namanya enggan Milly sebut.

"Dia nggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi, ever. Kamu tau Donn punya segalanya, kan? Dia punya kekuasaan, kekayaan, dan kekuatan. Donn juga punya anak laki-laki seumuran kamu yang bisa jadi sosok kakak, they will protect you. I will. Jase will. We all will, Princess."

"I know, Sammie. Thank you."

Karena Rosemilly Lilian memang tau dengan baik bahwa ia akan dijaga sepenuhnya oleh Donn di Chicago. Bahkan jauh sebelum papanya meninggal, Milly sudah tau bahwa kalau sesuatu terjadi padanya, orang yang bisa ia hubungi selain papanya adalah Donn. Pria dengan rahang tegas dan tubuh besar itu sudah memperlakukan Milly seperti anaknya sendiri sejak bertahun lalu. Namun ketika Samantha menyerahkan Mimo-boneka babi pink kesayangannya-ke tangannya buat dipeluk selama perjalanan, perasaan takut yang entah datang darimana tetap berhasil menenggelamkan tenang yang sebelumnya menetap di hati Milly. Matanya ikut membasah seiring derik hujan yang turun membasahi Forks sore itu. Milly memang membenci bising dan dingin. Tetapi setahun lalu waktu Papanya menertawakan Milly sebab gadis itu terjatuh di atas es yang licin di bulan Februari, pikiran bahwa tepat 18 bulan setelahnya ia akan pindah meninggalkan Forks, sendirian, lebih mirip seperti mimpi yang muncul ketika tidur di siang hari daripada kenyataan yang harus dihadapi.

"I haven't decide on the color of your room yet, kamu mau warna apa? Pink?"

Meski Milly tau cepat atau lambat Donn akan memecah keheningan di antara keduanya, perempuan tersebut tetap merasa lidahnya kelu buat langsung menjawab. "Mmm..." Milly menggigit bibir bawahnya, berpikir sekaligus mengumpulkan keberanian buat menjawab pertanyaan Donn. "I think pink is fine. It's great."

"Noted, salah satu staf di rumah bakalan nemuin kamu buat bantu pilih shade dan kalau kamu mau nambah meja belajar, ganti kasur, atau mindah-mindahin furnitur, kamu juga bisa minta tolong ke dia." Donn menatap gadis dengan cardigan rajut berwarna pink di sebelahnya sebelum kembali lanjutkan kalimat. "Tapi itu semua bisa dilakuin kapan aja, sesiapnya kamu, nggak harus besok kalau kamu masih belum mau ketemu banyak orang."

"Kayaknya... ketemu sama orang bakalan lebih seru ketimbang duduk sendirian di kamar."

"That's good, Baby." Donn tersenyum, sementara tangannya bergerak menepuk pelan kepala Milly, mencoba menunjukkan rasa sayangnya pada gadis dengan surai penuh jepitan hasil karya Samantha tersebut. "Nanti di rumah, kamu bakalan ketemu sama Sandra, my new wife, you know her, right?"

"Of course I know, she is a model, all of my classmates love to talk about her sense of fashion, it's amazing!"

Donn lepas tawa kecil begitu melihat bagaimana mood Milly dengan mudah berubah ketika ia berbicara mengenai hal yang ia suka. "You know what, Milly? Kamu bisa foto sama dia dan pamer ke temen-temen kamu kalau sekarang kamu tinggal sama seorang model terkenal yang sering tampil dimana-mana."

"Mereka semua pasti iri!" Milly menjawab bersemangat, membuat Donn kembali terkekeh di sebelahnya.

Buat sejenak, Milly lupa bahwa ia tengah berada di perjalanan mobil menuju bandara buat meninggalkan Forks. Namun ketika matanya menatap tulisan 'Selamat Tinggal Forks' yang tertulis di kayu besar di pinggir jalan, sebaris pertanyaan yang mengganggu hatinya kembali muncul ke permukaan. Milly mengeratkan pelukannya pada Mimo, seakan meminta bantuan pada boneka babi itu mengenai keputusannya untuk bertanya tentang satu hal yang sedari mengganjal di hatinya atau diam saja sampai mereka tiba di Chicago.

Belum sempat otak Milly putuskan jawaban, Donn sudah lebih dulu menerangkan apa yang abu-abu di kepala Milly.

"And I honestly don't know about my son, dia sering tidur di asrama kampusnya belakangan, tapi bisa jadi lagi ada di rumah karena besok jadwal rutinnya latihan." Donn menjeda penjelasannya, tangannya bergerak bawa Milly ke dalam rangkulan. "Wajahnya emang ... agak galak, badannya juga mendukung buat jadi penjahat, tapi dia sebenernya baik dan penyayang, kok. Mungkin terakhir kalian ketemu tinggi dia dan kamu hampir sama, besar badannya pun nggak jauh beda. Tapi sekarang, Aaron bahkan tumbuh lebih tinggi dari Papa, dan hampir nggak ada hari tanpa dia olahraga, jadi kalau kamu takut ya nggak papa. Cuma kalau dia berani nakal, laporin aja ke Papa, oke?"

Jauh sebelum Papanya meninggal, di salah satu malam Thanksgiving dimana Donn datang buat menghabiskan liburan dengan keluarganya, laki-laki itu memang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai papa buat Milly. Bahkan sampai saat ini, memanggil Donn papa rasanya sudah hampir sama seperti memanggil papanya dengan sebutan papa. Jadi tentu alasan Milly terdiam lama setelah Donn menyelesaikan kalimatnya bukan karena pria tersebut memanggil dirinya sendiri dengan papa, melainkan membayangkan bagaimana Aaron Beck Hughes yang selalu melemparinya dengan tatapan galak bertahun lalu ketika keduanya masih sering menghabiskan waktu liburan bersama tampak sekarang, ketika usia lelaki itu menginjak 19 tahun.

Aaron tidak pernah menyukai Milly, dan Milly tau. Kalau ditanya alasannya, lelaki berambut blonde itu selalu bilang dia punya banyak, tetapi yang paling sering Aaron adukan adalah karena Milly cengeng, clingy, dan kekanakan dengan segala jenis aksesoris rambut warna-warninya, padahal, kan, pada saat itu Milly memang masih anak-anak! Aaron menyebalkan.

"Did he... knew? I mean... about me?"

"No, but it will be fine."

God damn. Aaron yang terpaksa menghabiskan dua hari bersama Milly ketika mereka masih kecil saja sudah menunjukkan indikasi perilaku yang mirip dengan hewan buas yang bersiap memakan mangsanya, apalagi sekarang?! Bersamaan dengan mobil yang berbelok untuk masuk ke bandara, Milly mengembuskan napas beratnya lelah. Please, God, Milly cuma mau hidup tenang.

Kemudian tiga puluh menit setelahnya ketika Donn pergi ke toilet, Milly dengan kecepatan kilat membuka akun instagramnya untuk kemudian mengetikan nama Aaron di pencarian. Pencarian yang nggak susah, karena akun Aaron berada di urutan pertama dengan 500 ribu pengikut. Mata Milly refleks melotot ketika jarinya bergerak menggulir layar ponsel. Aaron yang sekarang memiliki tubuh super tinggi, rahang tegas, rambut blonde yang sering dibiarkan berantakan, dan ... cewek-cewek cantik nan seksi yang mengelilinginya kemana-mana.

Seiring dengan sesalnya yang menggunung sebab nggak mencaritau mengenai Aaron lebih awal, Milly mengentakkan kakinya kesal. "Kalau dia masih galak kayak dulu, bisa mati muda aku!"

°°°

Sabtu, 20 Januari 2024, di atas kasur.

No, Not Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang