Bab 09

170 21 0
                                    

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

“Ma! Kaos kaki Alan mana?”

Pagi-pagi yang indah di rumah tangga Bani dan Lia sudah ribut anak pertama mereka yang seperti biasanya tidak bisa mendapatkan apa-apa tanpa bantuan sang ibu. Bani sedang duduk sambil menyuapi anak bungsunya, sedangkan sang istri—Lia malah sedang duduk menyajikan sarapan di atas meja.

“Udah Mama taro di atas ranjang kamu, ya. Baru kemarin Mama cuci. Masa enggak nemu sih?” balas Lia dengan nada sedikit berteriak.

Hening. Tak ada balasan dari Alan. Bani pun menatap istrinya dan bertanya, “kunci mob—”

“Ma! Dasinya enggak bisa dipasang!” Baru saja Bani ingin menanyakan sesuatu kepada sang istri, Alan datang dengan penampilan sudah rapi dengan tangan membawa dasinya yang masih belum disampul dengan benar.

Lia menarik napas panjang dan kemudian menarik dasi yang ada di tangan anaknya itu. “Kamu itu lho. Udah segede gini masih enggak bisa masang dasi? Mau sampe kapan minta Mama mulu yang masangin? Nanti kalo kamu udah kerja kantoran kayak Papa kamu, masa mau nyuruh Mama juga? Belajar make sendiri dong, Lan. Udah gede gini juga. Malu sama adek kamu tuh,” omel Lia walaupun ia tetap memasangkan dasi tersebut untuk anaknya.

Alan hanya tersenyum kecil mendengarnya dan kemudian menjulurkan lidahnya ke arah adiknya yang menatap mereka dengan tatapan polos khas anak kecil. Bani yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya geli.

“Nah, udah rapi. Sekarang makan yang bener sampe kenyang trus berangkat sekolah sana. Bisa pusing Mama ngadepin kamu yang lebih tantrum daripada adek kamu,” ucap Lia sambil menuntun anaknya itu untuk segera duduk dan makan.

“Wih! Nasi goreng cumi! Mama tau aja yang lagi Alan pengen. Makasih, Ma!” ucap Alan.

Lia mendelik malas dan kemudian mengambil alih tugas memberi makan Avin dari suaminya. Lia juga meminta agar Bani segera memakan sarapannya juga agar tak terlambat bekerja. Bani sebagai suami bucin istri pun langsung menurut.

“Oh, iya. Ma, sendal Alan udah dibalikin anaknya Om Satya belum, Ma?” tanya Alan tiba-tiba.

Lia menatap anaknya dengan tatapan malas. “Sendal doang, Lan. Ngapain diributin sih? Di warung harganya sepuluh ribuan aja,” ucap Lia.

“Enak aja. Sendal Alan tuh sendal mahal. Enggak bisa disamain sama sendal nipon di warung, Ma.” Alan tak terima sendal kesayangannya disamakan dengan sendal murah.

Lia mengembuskan napas berat. “Terserah kamu aja deh. Mama capek. Tuh, tanya bapakmu aja sana. Pusing Mama!”

Alan merengut kecil dan menatap Bani. “Pa, sendal Al—” “Nanti Papa beliin baru. Udah, kamu makan aja trus berangkat ke sekolah. Nanti telat,” ucap Bani langsung menyela ucapan anaknya. Ia sudah malas membahas sendal pagi-pagi begini, mana di depan makanan pula. Apa tak ada pembahasan yang lebih berfaedah sedikit?

Havaianas ya, Pa!” ucap Alan.

Bani berdehem mengiyakan. Terserah saja, yang penting pembahasan sendal ini berakhir. Butuh sekitar lima menit untuk Alan menyelesaikan makannya dan kemudian ia pamit pergi. Ia bahkan mencium pipi Lia dan kemudian mencium tangan Bani sekaligus menjitak pelan kepala Avin yang membuat adiknya itu menangis kaget. Lia yang melihat itu tentu saja meneriaki Alan yang mana sudah berlari pergi.

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

Alan tiba di kelas dengan perasaan bahagia. Ia senang akan dibelikan sendal baru oleh ayahnya. Sesampainya dia di kelas, dia sudah melihat Ajun duduk di bangkunya sendiri sambil memakan snack yang sepertinya ia beli sebelum tiba di sekolah. Alan langsung duduk di samping Ajun dan mencomot makanan tersebut tanpa izin dari Ajun.

“Jeje mana? Tumben sendirian lo?” tanya Alan setelah mencomot makanan sahabatnya itu.

“Nyemplung got kali. Mana gue tau?” balas Ajun tak tahu. Alan yang mendengar kata ‘nyemplung got’ tentu saja kesal. Entah kenapa ia mengingatkan kenangan buruk masa kecilnya itu.

Alan menoleh ke tempat duduk Lena. Gadis itu belum sampai di kelas. Bahkan kedua sahabatnya juga belum. Kelas masih lumayan sepi dan beberapa anak-anak yang sudah ada di kelas juga sudah tak terlalu peduli dengan keributan yang akan dilakukan oleh Alan bahkan Lena. Sudah terlampau biasa bagi mereka.

Alan pun bangkit dari duduknya dan berjalan ke meja Lena. Pemuda itu membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan satu mangkok plastik kecil slime bening yang memang ia sengaja bawa. Dia duduk dan melumuri bangku Lena dengan slime bening tersebut sampai benar-benar merata.

Ajun yang melihat hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia sudah lelah sebenarnya dengan pertengkaran dua orang ini, tapi mau bagaimana lagi? Ditegur juga mana ada yang mau berhenti duluan.

Alan pun tersenyum puas dan kemudian membuang tempat slime tadi ke bak sampau dan membersihkan tangannya dengan tisu dan juga hand sanitizer. Alan kembali ke tempat duduknya dan tersenyum tipis.

“Enggak kapok lo?” tanya Ajun. Alan menoleh dan berkata, “salah dia enggak balikin sendal gue.”

Ajun menggeleng kecil. Gara-gara sendal rupanya. Batinnya kasihan.

Tak lama Jeje datang dan langsung duduk dengan perasaan lesu. “Kenapa lo?” tanya Ajun.

“Belum makan. Laper,” balas Jeje.

Alan yang mendengar itu langsung berseru, “gaskeun ke kantin yok. Mumpung jam masuk masih lama!” ucapnya. Ketiganya pun setuju dan berlalu ke kantin. Selisih dua menit, Lena dan kedua sahabatnya tiba di kelas.

“Gimana kerja kelompok lo kemarin?” tanya Sasa kepada Lena.

Lena mengeluh. “Kayak neraka! Tau aja lo gimana tuh anaknya Om Bani!” jawabnya sambil duduk. Gadis itu awalnya mengerutkan keningnya sebentar sampai Amel bertanya, “kenapa?”

Lena menggeleng kecil. “Kayak ada yang aneh, tapi gue enggak tau?” balas Lena.

Sasa menoleh ke arah meja Alan yang kosong dan hanya menyisakan tas pemuda itu saja. “Alan enggak ada di kelas,” ucapnya dengan nada khawatir.

Lena juga tahu itu. Ia bingung apa yang salah. Amel pun berinisiatif meminta Lena untuk berdiri. Ketika Lena berdiri, keduanya bisa melihat ada seperti sesuatu yang lengket di kursi Lena dan itu mengenai rok sekolah Lena di bagian belakang.

Sasa mencoba menyentuh kursi Lena dan kemudian mengembuskan napas berat. “Kursi lo ada slime. Rok lo kena slime.”

Lena menahan kesal begitu mendengar ucapan Sasa. Ia sudah tahu dengan jelas ini ulah siapa. Amel mengajak gadis itu ke kamar mandi untuk membersihkan roknya.

“Tapi ntar gue pake apa? Gue enggak bawa rok ganti?” tanya Lena. “Lo sama Amel ke toilet aja buat bersihin. Gue ke koperasi buat beliin lo rok baru. Ukurannya M, ’kan?” tanya Sasa.

Amel mengangguk. “Yuk, Len.”

“Ih, awas aja si Alan. Gue bales dia ntar! Liat aja nanti,” ucap Lena mengikuti Amel sambil menggerutu.

Amel menggeleng kecil. “Urusan bales dia tuh nanti aja. Sekarang kita pikirkan cara bersihin rok lo dulu.”

Lena merengut kesal. “Sehari aja tuh anak enggak bikin gue kesel kayaknya enggak bisa deh. Gue bakal bersyukur pake banget kalo dia tuh mampus,” ucap Lena kepalang kesal.

“Heh, mulutnya. Jangan gitu ih. Kata-kata tuh doa. Kalo dia mampus beneran, enggak kasihan lo sama orang tuanya dia?” tegur Amel.

Lena menutup mulutnya. Ia sebenarnya hanya kesal, bukan sampai hati juga dia mendoakan Alan mati. Namun, rasa kesalnya ini sudah memuncak.

Awas aja nanti gue bales. Batin Lena.

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

•.¸♡ Bab 9
•.¸♡ ditulis oleh girlRin

[01] Hello, My Dear Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang