21. THE FACT IS ...

Magsimula sa umpisa
                                    

"Una?"

"Ya?" Aku mendongak, mendapati Kale tengah menatapnya dari atas sampai bawah. "Kenapa? Jelek, ya?"

Kale menggeleng. "Sumpah, Na, lo cantik banget."

"Beneran cantik?" Aku taky akin sepenuhnya, tapi pertanyaan itu disambut dengan anggukan semangat Kale. Kedua kakiku yang telanjang bergerak gelisah, "Tapi nanti kita kayaknya perlu nyari dress code yang serasi deh."

Tiba-tiba, Kara menepuk bahuku. "Serahin itu semua ke gue, Aluna." Pandangannya beralih pada adiknya. "Gimana bakat terpendam gue, Le? Bagus, kan?"

"Lo salah jurusan, Kak. Harusnya lo ambil tata rias, bukannya komuninasi. Jadi lo juga enggak jadian sama Calvin."

"Lho, kok jadi bawa-bawa Calvin?" Kara menyisipkan rambutku ke belakang telinga dan merapikan anak rambut yang menyembul di bagian atas, lalu tersenyum. "Gue udah putus sama dia, Le."

Kulihat mata Kale membulat. "Hah? Putus? Kapan?"

"Nanti gue ceritain. Oh ya, kalian mau latihan lagi, kan? Cepetan gih latihan. Entar keburu kemaleman."

Kale meraih jemariku. "Na, bisa tunggu di depan enggak? Gue mau ngomong bentar sama dia."

***

Dentingan piano merdu terdengar ke seluruh penjuru rumah. Setelah berdebat beberapa saat, akhirnya diputuskan untuk memakai lantunan piano River Flows in You-nya Yiruma daripada Swan Lake dari Tchaikovsky. Aku yang memaksa Kale untuk mengubahnya dengan mengatakan River Flows in You lebih bagus karena selain iramanya yang sendu, pun arti dari lirik yang ada di dalamnya sangat sesuai dengan apa yang ingin kulukis.

Lalu, dia mengiyakan permintaanku setelah membela diri, "Padahal gue itu semalaman udah berusaha untuk enggak lupa not-not Swan Lake biar lancar latihan hari ini."

"Keren banget. Gila!" komentar Kara sambil bertepuk tangan dari sofa. Selama aku melukis, dia terlihat sangat menikmatinya. "Serius, gue mau nonton acara kalian nanti. Booking tempat buat gue, ya!"

"Itu acara sekolah, Kak. Mana bisa orang luar dateng." Kale mendelik tajam pada Kara.

"Bisa, Kak, bisa," sahutku. "Nanti gue kabarin, ya."

Undangan untuk para orang tua atau wali pasti ada, seperti tahun lalu. Tapi, kenapa Kale sepertinya tak mau ada yang melihat penampilannya?

"Ya udah. Latihan lagi, Na, biar gue lancar. Tadi ada yang lupa soalnya," kata Kale.

Ketika sedang asyik dan damainya suasana rumah dengan dentingan melodi yang dimainkan Kale, tiba-tiba saja atmosfir berubah keruh. Melalui sudut mataku, Kale mendapati Kara mematung. Pandangannya tertuju ke arah pintu masuk.

"Kale?"

Mendengar suara familiar di telingaku, membuatku membalikkan badan untuk mengetahui jelas apa yang terjadi.

"Nya, ngapain lo di sini?"

Jelas, perasaanku langsung kacau. Aku harus menyudahi aktivitas di sini, dan segera berdiri.

"Kale, kamu udah pulang ternyata," sambut mamanya Kale. Wanita yang berusia tak jauh dari Mami itu menghampiri Kale dan memeluknya sesaat. "Kamu ke mana aja enggak pulang? Mama khawatir sama kamu. Oh ya, terus Mama cerita deh sama calon tunangan kamu itu. Katanya mau bantu cariin kamu."

"Jangan bilang kalo—"

"Iya, Venya sini." Mama melambaikan tangan, menyuruh Venya masuk. "Tante kenalin dulu sama anak Tante."

Venya dengan langkah mantapnya menghampiri Kale. Tentu saja kalau dia tahu dari awal Kale-lah yang akan menjadi pasangan, dia tak akan melepaskannya. Aku yakin itu!

"Lho, lo ceweknya Gema kan?" tanyanya langsung padaku ketika mata kami bertemu. "Ngapain di sini?"

Benar. Lebih baik aku tidak menjawabnya. Aku terlalu lelah untuk menghadapi drama ini. Drama yang tak pernah kubayangkan. Venya ... Ah, sudahlah. Sebaiknya aku pulang.

Tapi dengan cepat, Kale menggenggam lenganku. "Mau ke mana, Na?"

"Latihannya cukup ya, Le. Gue capek." Aku hanya tidak mau seperti orang bodoh di sini. Karena apa pun yang kuusahakan akan kalah dengan apa yang dimiliki Venya.

"Kale, kejar!" teriak Kara sewaktu aku berlari keluar rumah. "Itu cewek lo!"

Itu yang aku dengar setelah mengangkat kaki dari rumah Kale.

"Lho, jadi selama ini kalian pacaran?" tanya Venya. "Ta-tapi kan gu—"

"Putusin pacarmu itu atau—"

"Atau apa, Ma?" Ada kemarahan yang terdengar dari suara Kale. Sumpah, aku ingin memeluk Kale sekarang juga. "Mama mau ngusir aku kayak Papa yang ngambil semua fasilitasku?"

"Kamu enggak boleh ka—"

"Kak, tolong anterin Aluna," kata Kale pada Kara. "Dia lagi sakit."

"Kale," Venya kali ini angkat bicara, "gue cinta mati sama lo."

"Telat! Gue udah cinta sama Aluna. Dan enggak ada yang bisa ngubah itu! Ini hidup Kale, Ma. Kale tahu apa yang buat hidup Kale bahagia!" []






SORRY [slow update]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon