4. OMELAN KANJENG RATU

471 260 179
                                    

POV KALE

Hampir seharian gue mengerjakan penyuntingan video. Sementara itu, cewek di hadapan gue ini tengah mengerjakan tugas yang dikirimi oleh Javier. Pun menyalin materi-materi yang telah dicatat oleh Gema. Ya seenggaknya ada yang bisa dia kerjakan selama gue sibuk.

Gue sebenarnya masih enggak habis pikir kenapa tiba-tiba dia berani menyatakan perasaannya. Jadi, selama ini dia menganggap gue bukan sebagai seorang sahabat, melainkan sebagai lelaki? Tapi kenapa di antara kami bertiga, yang dipilihnya itu gue? Iya sih, gue lebih ganteng. Tapi kenapa? Apa gue pernah kasih dia pengharapan? Kan yang gue harapkan cuma jadian sama Venya.

Serius, gue sama sekali enggak bermaksud memanfaatkan Aluna untuk situasi yang gue alami sekarang. Tapi, gue enggak tahu harus berbuat apalagi pas lihat Aluna masang muka sedih sewaktu nembak gue. Demi Tuhan, gue enggak bisa lihat dia sedih.

"Maaf, Na. Lo harus nungguin lama gue gini," kata gue sambil tetap menatap layar laptop.

"Nyantai, Le. Kan gue yang minta ikut lo tadi. Ya gue terima resikonya dong. Toh gue di sini enggak cuma diem doang, kan."

"Ya udah. Beli makanan lagi gih. Gue yang traktir."

"Ng..., makan apa ya yang enak?" Aluna bertopang dagu, hendak berpikir sesuatu. Dia melihat arloji di lengan kiriku. "Eh, udah lewat jam makan siang nih."

Pukul dua siang. "Eh, iya. Ya udah. Makan nasi gih pesen."

"Dunkin donut mana ada nasi, Le...."

"Oh, iya. Maaf. Ya udah kita cabut." Aku segera menutup laptop, dan merapikan segala peralatan.

 "Eh, Le," tiba-tiba Aluna mencondongkan kepalanya sampai-sampai aku memundurkan sedikit kepalaku, "boleh nanya enggak?"

"Boleh, Na, boleh. Tapi jangan ngagetin orang gitu." 

Aluna malah cengengesan, membuat gue menggelengkan kepala. "Nih, ya. Ng..., gue yakin ini bukan waktu yang tepat buat nanya hal ini. Tapi gue penasaran aja. Barang kali gue bisa ngewujudinnya dalam waktu dekat."

 Selesai menutup tas Aluna, lalu gue pun meletakkan kedua tangan di meja dengan jemari yang saling bertaut. "Ya udah. Apaan? Jangan aneh-aneh lagi deh. Udah mumet nih gue."

"Ih, aneh dari mana coba. Malah gue pengen ngasih tawaran ke lo." Aluna menjawabnya dengan penuh semangat, membuat gue menatapnya curiga. "Sebutin satu permintaan lo yang lo pengeeen banget!"

"Cuma satu?"

"Iya. Gue cuma bisa satu."

"Kenapa?"

"Ng..., enggak apa-apa, sih. Cuma takut aja dalam jangka waktu 30 hari ini gue enggak bisa ngewujudinnya. Soalnya pasti enggak gampang bikin lo jatuh cinta ke gue. Apalagi saingan gue nambah jadi dua."

Gue hela napas dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi, lalu bersedekap. "Mulai deh anehnya. Emangnya lo mau ngacak-ngacak hidup gue dari bagian mana lagi sih, Na?"

"Ih, Kale mah gitu. Enggak asyik, ah." Aluna berdecak sebal. "Tinggal ngomong aja susah banget. Lagian juga gue enggak niat ngacak-ngacak hidup lo, kok. Cuma ngasih warna dikit aja." Dia terkekeh. "Kan gue cuma minta 30 hari doang. Setelah itu, hak lo mau lanjut apa enggak."

Gue enggan menjawab. Bukan apa. Hanya saja gue merasa Aluna itu agak aneh. Gue rasa ada yang janggal di sini. Dulu, dia enggak pernah bertingkah laku seperti ini. Ya wajar-wajar saja gitu. Ah, gue kangen Aluna yang dulu. 

"Apaan, sih? Ngasih gue adek? Bikin anak?" Perkataan itu yang terlontar begitu saja dariku.

Aluna mendelik, lalu berkata, "Ih, mending gue bikin anak sendiri sama lo!"

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now