18. FALL FOR YOU

110 33 16
                                    

POV ALUNA

Pukul dua malam aku terbangun. Lampu kamar sudah diredupkan, tapi aku masih bisa melihat jam bulat yang ada di Seberang brankarku. terjaga. Itu yang ditunjukkan oleh jam bulat yang berada di atas nakas di seberang brankarnya.

Sesaat kuhirup oksigen banyak-banyak untuk memenuhi rongga paruku, lalu melapaskannya. Lama juga aku tertidur. Pikiranku pun juga mulai berisik, mencari aktivitas apa yang bisa kulakukan tengah malam begini di rumah sakit.

Perlahan aku bangun, dan duduk.

"Al, sini sama gue aja."

Suara Kale yang disusul oleh dengakurannya mengalihkan perhatianku. Senyumku terulas. Cowok itu menepati janji rupanya.

Aku menghampiri Kale yang tengah tertidur pulas di atas sofa dekat jendela sambil menarik tiang infus. Ternyata di luar sana sedang turun hujan. Itu terlihat dari balik tirai yang tidak sepenuhnya tertutup. Di meja persegi panjang di depan sofa, berserakan buku Matematika, lembar-lembar rumus, dan berbagai macam peralatan menulis.

Eh, iya. Besok ulangan, ya.

Ada pula parsel buah dan sekantung besar makanan.

Beneran bawa makanan dong! Kan jadi laper.

Aku duduk berlutut di dekatnya, dan menatap lekat wajah Kale. Ingin rasanya membangunkan cowok itu, tapi kasihan juga karena pasti Kale sangat lelah selama di sekolah kemarin. Buktinya dia sampai mendengkur halus usai mengigau tadi. Tapi ...

"Kale," aku mencoba membangunkannya. Siapa tahu dia mempunyai pendengaran yang peka. Aku benar-benar lapar sekarang. "Kale...," aku mengguncang-guncangkan lengannya.

Dan berhasil! Mata Kale bergerak-gerak dan dia membukanya perlahan walaupun aku yakin itu membukanya dengan setengah hati. Dia pun mengelus perutnya sambil berkata, "Kenapa, Na?"

Entah mengapa aku mulai terisak.

Isakanku berhasil membuatku seratus "Ke-kenapa, Na? Ada yang sakit?"

Aku menggeleng. Mungkin aku terbawa perasaan. Kale mengelus kepalaku, dan mengecup kepalaku. Hangat. "Udah ya enggak usah nangis," katanya sambil mengusap pipiku. "Lo udah hebat, Na." Dia membantuku untuk duduk di sofa. "Dan gue harus berterima kasih untuk itu."

Senyumku terulas sedikit. Kuraih jemari Kale yang masih tergantung di pipi, lalu mencium telapak tangan. Persetan dengan status! Hatiku kini sudah diberikan sepenuhnya buat Kale. "Alasan gue bertahan sekarang lebih banyak karena ada lo, Le."

Kale mengangguk pelan. "I'll try, Na. Bantu gue, ya."

"Jangan tinggalin gue, Le."

Kale mengangguk tanpa mengucapkan apa pun.

"Le."

"Hm?"

"Gue haus."

"Oh, ya, ya, ya. Bentar." Kale melesat langsung ke arah meja dan mengeluarkan sebotol air mineral. "Nih, Na. Minum dulu," katanya seraya memberikan botol itu pada Aluna.

"Thanks, Le." Aku meneguknya hingga setengah, lalu menutup botol dan menaruhnya di sembarang tempat.

"Mau makan enggak, Na? Gue kupasin apel."

"Iya boleh. Gue belum makan malam. Obat biusnya parah."

"Lho, dibius kenapa?"

"Tadi enggak tahu kenapa gue enggak bisa nengok ke kanan. Ke kiri terus ke arah jendela. Terus dibius deh biar bisa tidur."

"Lo nungguin gue, ya?"

Aku menggigit bibir bawahku. "Maybe yes, maybe no."

Kale memberiku potongan apel. "Sorry, kelamaan."

"Pasti capek ya, bolak-balik terus?"

Kale tersenyum. "Enggak ada yang capek selama itu buat orang yang gue sayang."

"Hah? Barusan lo ngomong apa?" Aku benar-benar tidak tahu harus merespons apa. Siapa tahu Kale hanya bercanda.

"Gue sayang sama lo, Na. Gue mau serius sama lo."

"Serius apa maksud lo?"

Kale menggaruk belakang telinganya, lalu mendengkus. "Seenggak percayanya gitu sama gue, Na?"

"Kalo Gema yang ngomong sih gue enggak heran."

"Kok Gema, sih? Gue beneran, Aluna."

Aku terdiam.

"Gue beneran mau jalan serius sama lo."

Aku masih terdiam.

"Iya, Na, kita pacaran. Beneran pacaran. Bukan 30 hari kayak yang lo bilang waktu itu."

"Ta-tapi kenapa? Ya maksud gue, kenapa tiba-tiba? Aneh aja buat lo yang labil tiba-tiba bilang kayak gitu."

"Al-"

"Lo enggak manfaatin gue, kan? Gimana Venya? Gimana calon tunangan lo itu?"

Kale mengelus pipiku lagi. "Lo enggak usah mikirin mereka. Hati gue udah penuh buat lo."

"Lo enggak salah makan kan, Le? Apa tadi dipukul anak-anak di sekolah, hah?" Aku membolak-balikkan pipi Kale memeriksa apakah ada memar atau luka di sana karena masih tidak percaya.

"Enggak. Gue masih enggak percaya," kataku lagi sambil menggeleng. "Apa jangan-jangan ada yang lo sembunyiin dari gue ya, jadinya lo harus jadiin gue tumbal?"

Detik berikutnya aku merasa jantungku berdetak lebih kencang. Kale menciumku! []


SORRY [slow update]Where stories live. Discover now