Bab 17

3 3 0
                                    

Orlyn memilih tidak keluar kamar semenjak Sahla ada di rumah orang tuanya. Dibentak Cein di depan Sahla membuat harga diri Orlyn runtuh. Bagi Orlyn Cein itu keterlaluan, seharusnya bagaimanapun Orlyn. Cein harus tetap membela Orlyn dari pada Sahla. Orlyn menutup wajahnya dengan selimut ketika pintu kamar miliknya terbuka pelan dari luar.

"Itu pasti Kak Cein, aku gak mau ngomong sama dia," batin Orlyn yang pura-pura sedang tidur sekarang.

Tidak lama Orlyn merasakan Cein naik ke atas ranjang. Orlyn beringsut menjauh dari Cein, lalu membalikkan badannya menghadap ke arah lain. Cein sendiri melihat ke arah Orlyn lalu menghela napas dalam.

"Orlyn, kamu marah?" tanya Cein.

Bukannya menjawab Orlyn justru mendengus kesal mendengar pertanyaan Cein. Tidak mendapat jawaban dari Orlyn membuat Cein kembali menghela napas dalam.

"Aku minta maaf karena tadi membentakmu di depan Sahla. Seharusnya aku memang tidak seperti itu, aku salah," lirih Cein.

"Syukur deh kalau ngaku salah," batin Orlyn menanggapi.

"Tapi, kamu pasti tahu, 'kan kenapa aku seperti itu? Sahla itu sahabat aku dari kecil, wajar kalau aku khawatir sama dia, Lyn. Dia juga sudah seperti adikku sejak meninggalnya Endo, karena..."

Orlyn membuka selimutnya cepat dan menatap Cein yang terkejut menatap Orlyn sekarang.

"Berhenti bilang kalau kalian itu sahabatan! Berhenti juga kalau kamu gak bisa lihat Sahla kenapa-kenapa sedikit saja karena mendiang Endo. Kalau, Kakak memang ngerasa dia lebih penting dari aku. Silahkan ajukan gugatan cerai buat aku dan setelah itu menikah sama Sahla!"

Lagi-lagi Orlyn memilih jalan pintas itu supaya Cein tidak repot-repot memilih ataupun harus menjaga perasaan Orlyn dan Sahla bersamaan.

"Orlyn, kenapa selalu bilang seperti itu? Itu bukan solusi, aku juga sedang belajar untuk lebih tegas dan menjaga jarak dari Sahla."

Cein sedikit kecewa mendengar ucapan Orlyn yang lagi-lagi memilih untuk berpisah darinya.

"Ck! Bulsit tahu gak! Kakak, itu lebih berat dan sayang sama Mbak Sahla. Jadi, gak usah repot-repot jaga perasaan aku. Toh, dari awal pernikahan kita ini juga karena terpaksa kok. Tidak perlu memikirkan bagaimana aku kalau udah pisah sama kamu."

Orlyn lalu turun dari ranjang dengan cepat dan keluar kamar. Cein melihat Orlyn yang berjalan keluar lalu kemudian memukul ranjang cukup keras. Cein lalu mengerang frustasi merasakan masalah yang lagi-lagi muncul karena Sahla.

***

Orlyn memasukkan sesuap penuh nasi yang sudah dicampur dengan sambal buatan sang mama. Sedangkan mama Orlyn sendiri sedang duduk di hadapan Orlyn sembari bertopang dagu. Mama Orlyn lalu menghela napas dalam dan duduk bersandar ke kursi.

"Cein gak kamu ajak makan juga?" tanya mama Orlyn.

"Gak mau," singkat Orlyn menjawab.

"Kamu paksa, dia baru aja sembuh. Kamu mau dia sakit lagi?"

"Dianya sendiri kok yang gak bisa jaga kesehatan, kenapa juga aku yang jadi susah."

Mama Orlyn menghela napas lagi lalu kemudian mendekatkan segelas air pada putrinya.

"Mama buatin Cein bubur ya? Mungkin perutnya belum enak buat makan nasi." Mama Orlyn menawarkan lagi.

Orlyn berhenti makan lalu meneguk air putih yang mamanya sodorkan tadi. Orlyn lalu menggeleng menanggapi ucapan sang mama.

"Gak perlu, Ma. Aku, buatin Kak Cein roti tawar sama susu anget aja, dia lebih suka makan seperti itu kalau lagi gak sehat."

"Memang kamu mau buatin sekarang buat Cein? Siang tadi dia cuma makan sedikit, malamnya kasian kalau dia justru gak makan apa-apa."

Mama Orlyn masih gak yakin kalau putrinya mau membuatkan makanan untuk Cein. Mama Orlyn tahu kalau putrinya itu sedang marah bahkan minta berpisah dari Cein, siang tadi Cein yang cerita saat Orlyn kerja.

Orlyn berdecak lalu melirik mamanya kesal.

"Kenapa harus gak mau, Ma. Dia masih suami aku," ujar Orlyn kesal.

"Tu, 'kan akhirnya kamu ngaku sendiri. Jadi bener kamu minta pisah sama Cein?" tanya mama Orlyn yang merasa umpannya di makan oleh Orlyn.

"Jadi ceritanya dari tadi mau jebak aku nih? Aku, memang minta pisah. Kayaknya pernikahanku sama Kak Cein sampai kapanpun gak akan berhasil. Dia itu lebih sayang sama Mbak Sahla, seharusnya sejak aku tahu Mbak Sahla sampai mengurung diri karena kami mau menikah. Aku, harus berhenti disitu gak ngelanjutin pernikahan ini."

Orlyn akhirnya mengutarakan semua yang ada di hati dan juga di pikirannya.

Mama Orlyn tidak segera menanggapi ucapan putrinya. Mama Orlyn lalu menghela napas dalam dan berat.

"Yakin, hanya karena Sahla kamu minta pisah?" tanya mama Orlyn kemudian.

Orlyn mengerutkan keningnya bingung dengan pertanyaan sang mama.

"Maksudnya?" tanya Orlyn bingung.

"Kamu minta pisah bukan karena kamu udah kepincut sama Kozie, 'kan?" tebak mama Orlyn.

"Ma, kok jadi bawa-bawa Kozie? Orlyn gak pernah kayak gitu," sangkal Orlyn semakin kesal saja dengan pembicaraan ini.

"Kalau memang gak karena itu, dari awal kamu gak boleh nyembunyiin status pernikahan kamu, Lyn. Kalau, Cein tahu tentang ini dia akan sangat kecewa. Tentang perpisahan juga, coba dipikirin lagi matang-matang. Kamu yakin masih gak suka sama Cein? Yakin belum menaruh hati sedikitpun sama suami seperti Cein?"

Mama Orlyn mulai mendoktrin putrinya perlahan, Orlyn sendiri terdiam dan berpikir sekarang. Sejujurnya Orlyn juga sedikit merasa aneh, melihat Cein yang terlalu dekat dengan Sahla. Orlyn jadi benar-benar cemburu, rasanya gak rela laki-laki miliknya di sosor cewek lain.



Dikamar Cein baru saja akan merebahkan dirinya, setelah sejak tadi dia mereview laporan yang masuk. Sudah beberapa hari ini dia kerja di rumah, sejak sakit Cein memilih ambil WFH. Kebetulan posisi Cein yang cukup bagus di perusahaan, jadi itu bukan masalah buat Cein. Tidak lama pintu kamar Orlyn itu diketuk dari luar dan kemudian terbuka dengan cepat.

"Aku, masuk," ucap Orlyn yang masuk dengan membawa mangkuk dan juga segelas susu hangat.

Cein yang sudah akan berbaring kembali duduk dan bersandar ke sandaran ranjang.

"Bawa apa? Kamu, udah selesai makannya?" tanya Cein lembut.

Orlyn mengangguk mengiyakan lalu kemudian duduk di tepi ranjang. Orlyn meletakkan segelas susu coklat di meja lalu menyodorkan mangkuk yang dia bawa untuk Cein.

"Roti tawar yang aku campur sama susu hangat. Kamu butuh makan, Kak," ujar Orlyn.

Cein tidak segera menerima mangkuk itu, Cein melihat mangkuk dan juga Orlyn bergantian.

"Aku, gak laper, Lyn." Cein tetap saja menolak.

"Ck, laper gak laper harus tetap makan. Kakak mau sakit lagi? Suka ya kalau aku khawatir sama Kakak?" tanya Orlyn mulai memaksa sang suami.

Cein tersenyum tipis lalu kemudian mengambil mangkuk itu dari tangan Orlyn.

"Khawatir sama aku juga bukan berarti kamu sayang sama aku, 'kan. Udah sini aku makan, kamu mandi dulu terus istirahat. Kamu, pasti capek seharian kerja," ucap Cein dengan nada dingin lalu kemudian makan makanan yang dia suka itu, tapi kalau Orlyn yang buat. Kalau orang lain rasanya seperti berbeda menurut Cein.

Orlyn tertegun dengan ucapan Cein, rasanya hatinya sakit mendengar Cein bicara seperti itu. Orlyn lalu menarik napas dalam lalu kemudian menahan tangan Cein yang akan memasukkan roti itu ke mulut.

"Gak usah dimakan! Mau kamu makan atau gak, aku gak peduli!"

Orlyn mengambil lagi mangkuk itu lalu keluar kamar, Cein sendiri terdiam melihat tingkah Orlyn. Setelah Orlyn pergi Cein justru tersenyum tipis.

"Kenapa dia itu terlalu tidak bisa menyembunyikan perasaannya sih," ujar Cein.

***

My HomeWhere stories live. Discover now