03. Janji Ayah Pada Abi

31 3 0
                                    

Benar. Dulu, Abi menolak menerima kehadiran Neal, begitu pun dengan Pangestu. Kedua anak laki-lakinya itu sangat kesal bahkan sama sekali tak ingin bertemu walau sebentar. Namun, tak lepas dari semua penolakan kedua putranya, ada Rafiq yang memendam rasa sakit juga marah di hatinya.

Selain harus menerima dengan lapang dada, lelaki itu juga harus menerima kenyataan dengan status barunya. Duda empat orang anak dalam usia muda. Masih perlu belajar mengurus bayi, balita, juga anak-anak yang baru akan beranjak remaja.

Belasan tahun Rafiq memendam rasa perih tanpa seorang pendamping bahkan, sentuh hangat seorang ibu atau mertua. Tidak, lelaki itu benar-benar mengurus empat anak laki-lakinya seorang diri, biar pun ada Diki yang sesekali datang membantu. Tetap saja, semua hal harus Rafiq sendiri yang melakukannya.

Bangun di tengah malam untuk membuat susu sambil menepuk punggung mungil Abi saat hendak tidur. Semuanya sudah Rafiq lalui sendiri, dengan kedua tangannya yang tak pernah lelah meski pekerjaan kantor selalu menuntut harus diselesaikan.

Kini, anak-anak itu sudah tumbuh besar, mengingat kedatangan Pandu bersama Siska, membuat Rafiq harus kembali memutar ingatannya saat dulu, Diki pernah memperkenalkan seorang wanita tepat di hadapan Neal.

"Maaf, Yah. Bukan maksud Pandu maksa atau minta Ayah buat menikah lagi, tapi Pandu ingin Ayah juga merasakan bahagia, Yah. Ini sudah cukup lama, setelah Ibu pergi, Ayah tahu itu."

Hela napas Rafiq kembali terdengar lelah. Lelaki itu duduk di samping Neal yang masih tertidur lelah karena lelah usai membuat kamarnya berantakan. Anak itu tak pernah suka jika ada wanita datang untuk merebut perhatian Ayahnya. Belum tahu alasannya, tapi Neal tak pernah suka sama sekali dengan sikap kakak pertamanya.

"Ayah tahu, tapi Ayah harap kamu juga nggak lupa Pandu. Bukan hanya Neal, tapi juga Abi. Apalagi Pangestu. Kamu sadar, kan?"

Pandu mengangguk, benar pemuda itu tak bisa mengelak ucapan lelaki yang sebentar lagi sudah tak lagi muda itu. Ia justru menatap adik bungsunya dengan cukup lama, kemudian mengalihkan pandangnya pada Abi yang masih berdiam diri tanpa mengatakan apa pun.

"Ayah, aku tahu ini salah. Tapi Ayah nggak mau cob? Seenggaknya buat berkenalan dengan Tante Siska," ucap Pandu.

"Abi nggak pernah tahu apa isi kepala Mas Pandu, ya. Tapi Abi juga nggak lupa kalau Ayah pernah janji sama Abi, Yah. Abi harap Ayah nggak pernah ingkar. Dan alasan kenapa aku takut kehilangan Neal. Ayah, udah janji, tolong jangan buat aku atau Neal kecewa."

Pandu kembali menunduk, ia benar-benar tak mengerti mengapa sulit sekali menjelaskan pada adik ketiganya kalau sang ayah juga butuh pendamping.

"Cukup Mas. Ayah juga masih berusaha sampai detik ini. Kita lupakan dulu soal Siska. Lagi pula, Ayah sudah meminta Pak Hamdan untuk mengantarkannya pulang," sahut Rafiq.

Laki-laki itu sudah sangat lelah, ditambah dengan Abi yang berdebat dengan Pandu, belum lagi Neal yang tiba-tiba mengamuk di kamarnya. Padahal, sudah biasa mendengar putra bungsunya mengambuk, tapi kali ini Rafiq tak bisa mengatakan apa pun pada anak-anaknya. Ia juga masih berusaha mencintai Neal, ingin sekali Rafiq mengatakan itu pada Abi, putra ketiganya.

Nyatanya, nyali lelaki itu tak sekuat baja. Hanya mampu memendam dan menatap teduh pada wajah sedikit pucat milik Neal. Tak hentinya Rafiq mengusap wajah Neal yang sedikit hangat itu. Sudah dua hari anak itu tidak masuk sekolah karena demam. Dan malam ini, tubuh anak itu kembali tumbang efek lelah.

"Aku tahu Ayah memikirkan Neal. Tapi perlu Ayah sadar, aku nggak sebodoh itu untuk lupa kalau sampai detik ini Ayah..." ucapan pemdua yang tentu sangat Rafiq kenal suaranya.

Lelaki itu pun menoleh, menatap lekat sosok yang berdiri tegap di ambang pintu kamar adiknya.

"Kapan kamu pulang, Pangestu?"

Sehangat Genggam Ayah Where stories live. Discover now