E : 06

158 18 5
                                    

SORE itu, sekali lagi aku mengumpulkan kembali sisa kekuatan dalam diri untuk melangkah menuju rumah Kak Us setelah aku yakin ketiadaan suaminya di sana. Sementara bunda masih berpergian ke pasar untuk membeli beberapa barangan rumah, setidaknya aku harus menggunakan kesempatan ini untuk memohon pada suaminya Kak Us. Hati ini menolak keras tapi apa aku masih punya pilihan?

Berat kaki ini ingin melangkah ke sana apa lagi setelah mengingat beberapa kejadian yang pernah terjadi di rumah itu antara aku dan Kak JJ. Kejadian di mana aku hampir saja menyimpan dendam khusus untuk Kak Us.

" Masuklah, Po. Sudah lama kau tidak kemari." Kak Us bersuara.

" Aku tahu kau masih marah padaku setelah kejadian itu kan. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Dia itu masih suamiku." Ujarnya tanpa aku meminta.

" Tidak apa-apa. Aku mengerti."

Aku sungguh mengatakannya. Aku benar-benar mengerti perasaan Kak Us waktu biar pun aku baru beberapa hari menikah. Perasaan ingin berkorban demi kebahagian orang yang kita cintai itu akan lahir dengan sendirinya.

" Aku belum pernah melalui hal yang bunda dan Kak Us lalui. Kau itu omeganya, pasangannya, tidak heran jika kau mepertahan dia." Terus terdengar suara bunda menegurku waktu itu dan sekarang aku malah melaluinya lebih parah daripada itu.

" Soal kemarin siang, aku sudah memintanya untuk merahasiakannya dari bunda." Suara Kak Us kembali membawaku pada realita.

Wajah itu kulihat seketika. Terlihat sekali garis kelelahan di wajahnya karena kelelahan menanggung beban tanggung jawab yang tidak seharusnya dia tanggung.

" Terus, apa katanya?" aku kembali memulangkan pertanyaan.

Terdengar keluhan dari belahan bibirnya.

" Dia seperti yang kau pikirkan. Kau sendiri tahu dia itu seperti apa. Menggertak terus. Tapi kau tidak perlu memikirkannya, selagi aku bisa, aku akan menghalanginya dari mengatakannya pada bunda." Janji Kak Us padaku.

Perlahan kau menganggukan kepala. Berat rasanya ingin menerima kata-kata itu. Bukan aku tidak mempercayainya tapi melihat tingkah suaminya yang sering kali menghina keluargaku, tidak mustahil jka perkara itu bisa sampai pada bunda. Tidak tahu kapan itu akan terjadi, cepat atau lambat.

" Kali ini, jika aku perlu mencium kakinya, akan aku lakukan, kak. Asalkan dia tidak mengatakan apa pun pada bunda. Aku tidak akan menerima apa lagi memaafkan diriku sendiri jika bunda kembali menangis dan alasannya kali ini adalah aku." Kataku.

Lantas sebuah pelukan ku dapatkan darinya. " Sabar ya. Kakak tahu kau kuat orangnya. Kita akan menghadapi ini semua bersama." Kak Us memujuk dengan bisikan halusnya.

Aku menggeleng. Dia tidak pernah mengerti apa yang telah aku lalui selama ini. Aku mengharap akan sebuah kebahagiaan setelah kelelahan mengharungi semua episode duka yang terus saja menghantui. Pada akhirnya, kebahagiaan itu tidak pernah sudi ada dalam kehidupan ku.

Aku hanya sebuah persinggahan untuknya.

Baru saja aku ingin meleraikan dendam yang menghuni hati malah ikatan itu semakin mati. Khawatir jika kali ini aku tidak tahu bagaimana caranya untuk melerai dendam itu nanti.

" Oh ya, soal Imm. Bagaimana itu bisa terjadi?"

Pelukan dilepas, aku memandanginya untuk beberapa ketika sebelum menunduk dan beralih memandang pada jendala ruang tamu rumah itu. Memandangi suasana sore hari itu.

" Aku bertemu dengannya di Kota." Tenang aku menutur kata.

" Kapan?"

" Beberapa bulan lalu. Dia menghadiri temu duga di perusahaan ku bekerja. Waktu itu, aku dan bos yang mewancarainya."

2. Drapetomania [ MileApo ]Where stories live. Discover now