[8] Menaruh Rasa

20 2 0
                                    

Perasaan ini pernah hilang. Namun, kembali lagi.

***

Dineshcara keluar dari kelasnya, netra hitamnya langsung menemukan sosok Ishara yang berdiri sendirian di dekat pintu kelas. Ia menoleh kepada teman-teman sekelasnya yang masih ada beberapa belum pulang, mereka semua hanya mengibaskan tangannya, seolah tengah mengusir Dineshcara dari kelas.

Melihat yang ditunggunya sedaritadi sudah datang, Ishara menyapanya dengan lambaian tangan. Raut wajah lelah benar-benar tergambar di wajahnya.

"Mau langsung pulang?" tanya Ishara, diangguki Dineshcara dengan semangat.

Gadis itu sudah tidak ada energi lebih, ia ingin pulang segera setelah berhasil menghindar dari seribu pertanyaan Sahna dan yang lainnya.

Laki-laki yang kini berstatus sebagai kakak kelasnya itu mengulurkan tangan. "Gue liat-liat, lo kalau jalan suka gandeng tangan teman. Gak mau gandeng tangan gue juga?"

"HAH?!" Dineshcara cepat-cepat membekap mulutnya sendiri kala menyadari bahwa teman-temannya masih menyaksikan interaksinya dengan Ishara. "Gak ah, gak suka gandeng tangan cowok."

"Kenapa?" Ishara bertanya bingung.

"Takut sama urat-uratnya yang pada keliatan."

Jawaban yang Ishara rasa cukup aneh itu mengundang tawanya. Puas tertawa seorang diri, ia segera mengajak Dineshcara untuk pulang. Tidak hanya Dineshcara yang kehabisan energinya di hari ini, ia juga sama.

Langkah kaki mereka berdua yang menuju parkiran diikuti Sahna di belakangnya dengan jarak yang tidak terlalu dekat tetapi juga tidak terlalu jauh. Sahna benar-benar menyaksikan setiap interaksi mereka, sesekali juga ia tertawa pelan saat ada hal lucu yang mereka lakukan.

Sahna sangat menyadari, Dineshcara tidak pernah sebahagia ini. Ia dekat dengan Dineshcara sudah sejak awal mereka disatukan dalam satu kelas sampai sekarang sudah semester dua, itulah mengapa ia bisa merasakan apa yang Dineshcara rasakan saat ini.

Jangan nangis lagi, Dinesh, batin Sahna.

"Besok weekend, lo ada acara gak?" tanya Ishara begitu sampai di parkiran dan sudah duduk di motornya. Satu tangannya menurunkan footstep agar memudahkan Dineshcara naik ke motornya.

Dineshcara bergegas naik ke atas motor Ishara dan berusaha menyamankan duduknya. Tas yang sedaritadi ia gendong di punggung, ia taruh di antara tubuhnya dengan tubuh Ishara. Walaupun sudah ada tas Ishara sebagai batasnya, tetap saja, tas laki-laki itu seperti tidak ada isinya dan Dineshcara rasa tidak cukup jika hanya menggunakan tas milik laki-laki itu.

"Kayaknya gak ada, Kak," jawab Dineshcara.

Ishara sudah melajukan motornya membelah jalanan Kota Bandung. Di jam pulang sekolah seperti ini, jalanan kota hampir dipenuhi oleh kendaraan yang dikendarai oleh siswa-siswi berseragam putih abu-abu.

"Besok mau main sama gue gak, Din?" tanya Ishara seraya mengarahkan salah satu kaca spionnya kepada Dineshcara.

"Ke mana?"

"Ke mana pun lo mau gue turutin. Kalau misal lo ada wishlist, kita bisa coba wujudin satu persatu wishlist lo," saran Ishara.

"Ada. Kak Ishara mau tau gak wishlist pertamaku?" tanya Dineshcara berhasil membuat Ishara penasaran.

"Apa?"

"Dinesh pengin ke bulan. Kak Ishara bisa bantu wujudkan gak kira-kira?"

"Bisa. Kita bakalan pergi ke bulan sama-sama. Tapi, kita perlu banyak belajar dulu biar kita tahu di bulan itu seperti apa dan bagaimana. Wishlist lo selanjutnya apa?"

Prolog Tanpa EpilogWhere stories live. Discover now