16

997 272 82
                                    

Happy Eid Mubarak. Mohon maaf lahir batin 😘

###

"Buk." Omar duduk di karpet, menyandar dekat kaki Cindy. "Lamarin cewek ya."

Cindy yang tadinya fokus pada televisi akan kajian ustadz Adi Hidayat sontak melihat Omar. "Risma?" Refleks ia menyebut nama karyawannya.

"Bukan tapi Khaira. Ibu pernah ketemu kok."

Perasaan Cindy tidak pernah bertemu dengan orang baru selama ini, lalu bertemu di mana dirinya? "Iyo ta? Ketemu ndek ndi (di mana)?" tanyanya.

Pria itu mengangguk lalu mengubah duduknya menghadap Cindy. "Butik sebelah toko. Inget nggak?"

"Yang mana? Di sana kan nggak cuma satu, Om."

"Nanti kalau ketemu lak eling (pasti ingat). Yang penting lamarin dia. Tapi, Buk, sebelumnya Ibuk harus tahu kondisi mereka dulu."

Wanita yang masih cantik di usia tidak muda lagi itu mengecilkan suara televisi sebelum akhirnya fokus pada Omar. "Piye-piye?"

"Jadi Bapak dia mengalami gangguan mental. Ya nyambung, ya nggak. Pas aku tanya apa dari lahir, Khai bilang nggak. Kemungkinan ada sesuatu yang bikin beliau kayak gitu. Pas Ardi aku suruh cari tahu, tetangganya bilang, mereka itu orang pindahan dan kondisi bapaknya seperti itu."

"Terus?" sahut Cindy.

"Khai punya dua adik. Satu sudah kerja, satu masih SD. Kalau siang sama adiknya yang SD. Kalau sore sama yang nomor dua. Ibunya sudah meninggal, keluarganya cuma bulek sama pakleknya saja. Tiap pagi dia bikin kue dititip-titipin ke bakul sama kerja di butik sebelah toko."

Sepertinya Cindy tahu maksud Omar menceritakan hal ini padanya. Mungkin putranya itu takut kalau ia keberatan dengan wanita pilihannya. Namun, ia bukanlah orang berpikiran sempit. Di mana bibit, bobot, dan bebet adalah poin utama untuk menjadi pasangan putranya. Tapi tidak berarti ia menyalahkan orang yang masih memang teguh hal itu, hanya saja ia memiliki kriteria sendiri untuk kebahagiaan putranya.

"Jadi kapan Ibu sama Bapak bisa ke rumah dia?"

Omar tercengang. Apa semudah itu ibunya menyetujuinya? "Ibuk nggak keberatan? Beneran?"

Wanita itu menggeleng. "Buat apa? Ibuk keberatan kalau dia masih bersuami tapi jalan sama kamu."

"Buk, bapaknya kurang jangkep (lengkap tapi di sini konteksnya kurang normal) lho. Nggak apa-apa?"

"Kamu nikah sama anaknya apa bapaknya? Anaknya to? Jadi ya nggak ada masalah buat Ibuk." Cindy menepuk bahu Omar pelan. "Om, sekarang itu dunia medis sudah sangat maju. Semua bisa dikonsultasikan sama dokter. Kita bisa tanya apakah penyakit bapaknya Khaira menurun atau tidak. Kita bisa bawa beliau ke psikolog untuk tahu penyebabnya. Kalau bisa milih Khaira juga nggak mau punya bapak kayak gitu."

"Beneran Ibuk setuju?"

"Iyooo. Jadi kapan mau dilamarin. Buruan timbang disaut wong maneh (buruan daripada diambil orang lagi."

"Nanti aku kasih tahu lagi." Pria itu langsung berdiri. "Aku ke kamar dulu, Buk."

###

"Mbak kapan libur?" Setiap hari Minggu Bayu libur, jadi ia bisa membantu Khaira lebih lama dari biasanya. Kebetulan hari ini kakaknya itu ada pesanan lumpia dari Bu RT sebelah dan tugasnya menggoreng.

"Besok. Kenapa?" sahut Khaira tanpa melihat adiknya.

"Besok yang mau ngelamar Mbak ke sini."

Aktivitas Khaira membungkus lumpia terhenti. Ia menengok Bayu yang tangah mengangkat lumpia dari wajah. "Jadi, Bay? Mbak kira nggak jadi lho."

Bayu memasukkan gulungan lumpia dengan cepat karena susah terbiasa. Ia tidak lagi takut terkena minyak seperti awalnya. "Jadi. Wong orangnya serius gitu."

Perasaan Khaira mendadak takut. Bagaimana kalau orang itu nantinya mengerikan? "Tapi aku belum tahu orangnya, Bay. Gimana kalau dia galak, suka main tangan? Mati aku nanti."

Pemuda berkulit sawo matang itu meletakkan sutil di serok. Ia lalu duduk di depan Khaira. "Insyaallah nggak, Mbak. Biarpun aku juga baru kenal dia tapi aku yakin banget dia baik. Insyaallah dia nggak seperti yang Mbak takutkan."

"Bay, kamu yakin? Ini Mbak lho yang kamu lempar ke dia bukan bantal."

Pemuda itu tertawa keras. Siapa juga yang menganggap Khaira bantal. "Insyaallah yakin. Kan besok ketemuan dulu Mbak. Baru deh ngomongin soal nikah dan lainnya. Nanti aku ke rumah Bulek, kasih tahu acara besok. Biar Pak lek yang gantiin Bapak," terang Bayu yang sudah kembali ke depan wajan.

"Bay ... kamu siap sama semua perubahannya nanti? Tugasmu bakal lebih banyak. Waktu mainmu mungkin berkurang soalnya harus jagain Bapak sama Bima."

"Nggak apa-apa, Mbak. Nanti sesekali waktu aku main." Mengorbankan waktunya yang tidak banyak itu bukan sesuatu yang besar bagi Bayu. Teman-temannya tahu bagaimana kondisinya, mereka biasanya yang datang ke rumah.

Khaira tak mendebat lagi. Ada saja jawaban Bayu padanya. Mungkin tidak ada salahnya bertemu dan soal kelanjutannya, apa katanya nanti.

###

"Khai. Nasinya sudah matang?" Bulek Yeni datang membantu Khaira memindahkan ayam goreng ke piring saji. "Alhamdulillah ya Khai ada pria yang serius sama kamu. Nggak kayak Haikal itu. Cabe-cabean dia tuh."

Khaira mengangguk. Sampai sekarang saja ia masih tidak percaya ada seorang pria yang serius padanya. Mungkin pria itu sudah putus asa mencari pasangan jadi mau saja padanya.

"Siapa namanya, Khai?"

"Nggak tahu, Bulek, yang kenal Bayu," balas Khaira. Ia meniriskan risol mayo buatannya untuk disuguhkan nanti.

"Lho kok iso (kok bisa)? Koncoe Bayu to (temennya Bayu kah)?"

"Nggeh, Bulek."

Setelah semua hidangan siap, Khaira ke kamar. Ia perlu waktu untuk menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan sebab sebelumnya baik-baik saja. Sungguh aneh karena dirinya nervous tidak jelas padahal tidak tahu siapa orang yang akan ditemui Khaira.

Irama jantung Khaira semakin brutal kala ia mendengar suara riuh di ruang tamu. Suara Bulek mempersilakan para tamu seperti alunan terompet malaikat Israfil yang mematikan. Tubuhnya gemetar, tangan Khaira tak berhenti meremas gamis cokelat hadiah dari tempat kerjanya.

Suara ketukan di pintu kamar menarik atensinya, menambah ketegangan Khaira. Ia hilir mudik mengusir gugup yang menerpanya. Ia terus beristighfar tapi tak mampu meredam kecemasannya. "I ... iya, Bay?"

"Ayok ke depan. Mereka sudah menunggu."

Tubuh Khaira rasanya tak bertenaga, tak bertulang dan hampir jatuh jika tidak pegangan kursi. "Sebentar." Khaira memejamkan mata, menarik napas kuat-kuat agar semua gelisah yang ia rasakan hancur lebur berganti keberanian. Langkahnya pelan mendekat pintu, keringat dingin mengucur seolah ia akan menghadapi hukuman mati.

Tangannya berhenti beberapa senti dari gagang pintu. Tatapannya pun terpaku pada benda itu. Di sana, di balik pintu ini masa depannya dalam pertaruhan, dan Khaira berdoa semoga hal baik yang ia dapatkan. Khaira kembali mengisi rongga dadanya dengan oksigen sebelum membuka pintu kamar, senyum wanita itu terlihat terpaksa.

"Lama banget, sih, Mbak. Ayok." Bayu mendahului Khaira.

Kepala Khaira tertunduk saat mengikuti Bayu ke ruang tamu. Ia tak berani dan belum siap menatap pria yang ingin meminangnya. Ia lebih memilih memperhatikan plester rumahnya yang banyak retakannya.

"Khai."

Refleks Khaira mengangkat wajahnya. Ia mengenal suara ini. Matanya terbelalak seperti melihat hantu, mulut sedikit terbuka tapi tanpa suara.

Tbc.

Bisa ke Karyakarsa ya buat baca cepat. Makasih. Bisa pake link di bio. Mamarikaaa❤️

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang