18

14.4K 1.1K 13
                                    

Satu minggu setelah aku mengetahui berita perceraian Arsen, aku merasa agak canggung menghadapi Gerald yang selalu datang ke rumahku untuk bermain dengan Ranran. Kurasakan perasaan kasihan untuknya, karena jika aku mengambil sudut pandang sebagai orang tua, aku pastilah akan merasa kecewa akan perceraian anakku. Dan dari sifat Gerald yang suka menutupi isi hatinya, aku yakin ia pasti berusaha untuk tidak menampakkan kekecewaannya itu.

Seperti yang kulakukan seminggu terakhir, aku mengamati Gerald yang sedang menggandeng Ranran selagi berjalan menyusuri jalan setapak menuju kuil untuk berdoa. Kulihat lelaki itu dengan sabar menuntun dan mengajari Ranran yang mudah terdistraksi untuk berdoa. Meski Ranran sering terdistraksi, ia dapat menyelesaikan doanya hari itu dengan dibimbing oleh Gerald. Sementara, Gerald membiarkanku berdoa dengan tenang.

Selama berdoa, aku meminta kepada Tuhan agar senantiasa melindungi orang-orang yang kucintai. Juga, berharap bahwa kehidupan kami akan selalu damai seterusnya. Aku juga berdoa untuk Arsen, berharap ia bahagia dan sehat.

Kami bertiga berjalan-jalan di sekitar kuil usai berdoa. Aku menggendong Ranran sambil menikmati pemandangan di sekitar kuil. Udara yang segar, kicauan burung yang merdu, juga cuaca yang tak terlalu dingin menjadikan hari itu terasa sempurna. Sambil duduk di sebuah kursi yang sengaja diletakkan di bawah pohon ginkgo, aku dan Gerald menikmati teh yang kubawa dari rumah.

Kulihat lelaki itu tampak menatap langit dengan tatapan sendu selagi kami duduk. Dengan sedikit gugup dan berhati-hati, kuputuskan untuk menanyakan keadaannya.

"Paman baik-baik saja?"

Gerald melirik ke arahku dengan wajah datar dan mata berkilat bingung. "Soal apa?"

"Aku tidak sengaja mengetahui soal... perceraian Arsen," kataku pelan. "Aku pikir, Paman akan merasa kecewa padanya."

Lelaki tua itu terdiam. Ia mengalihkan tatapannya dariku dan menatap langit awal musim semi yang tampak cerah. Kicauan burung di sekitar kuil mengisi keheningan yang tercipta di antara kami. Ia menarik napas panjang-panjang sebelum menjawabku.

"Daripada kecewa, aku merasa bersalah. Aku yang memaksanya menikah," katanya pelan. "Andai aku tidak memaksakan kehendakku, mungkin ia sudah bahagia dan memiliki sebuah keluarga yang akan menyambutnya di rumah setiap hari."

Matanya kembali tertuju kepadaku, memberiku senyum sedih dengan mata menyorot lemah. Ia hanya menatapku selama beberapa detik, mengalihkan tatapannya ke arah Ranran dan menyentuh tangannya. Ranran menggenggam erat jari Gerald sambil menatapnya dengan wajah polos.

"Kupikir, aku adalah seseorang yang bijak begitu usiaku mencapai 50 tahun. Ternyata, aku hanyalah seorang lelaki tua yang sombong." Ia berujar dengan suara pelan.

Aku hanya diam dan mendengarkan dengan seksama. Ia bersuara lagi dengan lirih.

"Kau tahu, aku sudah melakukan sebuah kesalahan yang sangat besar. Tidak hanya pada Arsen, tapi juga padamu. Namun, aku sadar aku tak bisa meminta maaf pada kalian." Ia kembali menatapku. "Kesalahan itu terlalu besar. Sekadar permintaan maaf tidak akan cukup."

Aku menelan ludah kasar. Hatiku bagai diremas saat mendengar ucapan Gerald. Kenangan-kenangan masa lalu mengenai hubunganku dan Arsen yang tak direstuinya menyesakkan dadaku. Padahal, aku yakin aku sudah berdamai dengan hal itu. Tidak kusangka, aku masih sesak saat mengingatnya.

"Aku tidak membencimu, atau menyimpan dendam padamu, Paman," cicitku pelan.

"Ya. Aku tahu. Kalau kau dendam, mana mungkin kau biarkan orang tua ini menemui cucunya."

Cucunya. Ini kedua kalinya ia menyebut Ranran sebagai cucunya. Selama ini, ia sama sekali tak pernah menyinggung tentang status Ranran yang merupakan cucu tak resminya.

"Kau seseorang yang sangat baik. Terlalu baik, sampai aku merasa malu pada diriku sendiri," ujarnya lagi.

Ranran menggeliat di pelukanku, sepertinya mencari posisi yang nyaman karena mengantuk. Aku membetulkan posisi Ranran, memastikannya nyaman dalam gendonganku.

"Aku tidak yakin apakah aku orang yang baik," jawabku lirih.

"Kau jelas orang yang baik. Orang baik, selalu tidak tahu bahwa diri mereka adalah orang baik. Juga, kau adalah ibu yang sangat hebat untuk Ronan." Gerald tersenyum samar. "Kau melalui semua ini tanpa mengeluh. Tidak pernah sekalipun kulihat dirimu mengeluh selama ini."

Ia menepuk bahuku, dengan wajah yang dipenuhi rasa bersalah.

"Aku mengerti sekarang, alasan mengapa putraku begitu tergila-gila padamu." Matanya sedikit berkaca-kaca. "Sayangnya, semua itu sudah terlambat. Kurasa, kau sudah banyak berubah pikiran sekarang, 'kan?"

Aku tidak bisa membalas. Sejujurnya, aku pun tidak tahu. Jika dikatakan berubah pikiran, aku masih sama, masih mencintai Arsen. Hanya saja, saat ini prioritasku adalah Ranran. Sama sekali tak terlintas dalam benakku memikirkan hal lain selain masa depan Ranran.

Percakapan kami tak berlanjut. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Gerald. Dan lelaki itu tidak menanyakan apa-apa padaku. Kami memutuskan untuk bangkit dari kursi, berniat kembali ke rumah sambil membawa Ranran yang sudah tertidur dalam pelukanku. Yang tidak kusangka, aku bertemu dengan Helena Baldwin di kuil bersama dengan kekasih barunya.

Mereka bergandengan tangan, tampak bebas dan mesra. Saat tatapannya bertemu dengan mantan mertuanya, wajahnya berubah terkejut. Ia tampak lebih terkejut lagi saat melihatku meski kami belum pernah bertemu sebelumnya. Mungkin ia mengira aku adalah istri muda Gerald atau semacamnya.

"Ayah... maksudku... Paman," sapanya kikuk, sesekali melirikku dengan tatapan aneh.

"Kulihat kau bersama dengan kekasih barumu. Atau, ia adalah kekasih lamamu?" celetuk Gerald tak acuh, melirik lelaki berwajah hangat di samping Helena sejenak.

Helena tampak tersenyum canggung. Aku memasang wajah bingung, bertanya-tanya apa maksudnya dengan ucapan Gerald mengenai kekasih lama. Mataku mengamati Helena yang ternyata sedang mengamatiku juga.

"Namanya Leila. Yang ia gendong adalah anaknya," kata Gerald, memperkenalkanku pada Helena.

Perempuan itu mengerjap kaget saat Gerald memperkenalkanku, tapi ia segera tersenyum dengan sopan. Aku mengangguk satu kali, memberi senyum tipis kepadanya.

"Bagaimana kabar Paman?" tanya Helena, mencoba ramah setelah ia tampak terkejut sebelumnya.

"Seperti yang kau lihat, orang tua ini baik-baik saja dan belum terlalu pikun," jawabnya. "Bagaimana dengan putraku? Masih keras kepala?"

"Ia masih mencari kekasihnya," sahut Helena, melirik ke arahku sesaat dan kembali menatap Gerald.

"Ha... kurasa ia akan segera menemukannya," balas Gerald membuatku berkedip bingung.

Helena mengangguk dengan wajah serius. "Iya. Aku juga berpikir begitu, Paman."

Aku tidak yakin, tapi aku berprasangka jika Helena sudah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Namun, perempuan itu tidak berkomentar apa-apa. Gerald juga tidak mengatakan banyak hal. Alih-alih, ia memutuskan mengakhiri pembicaraan dan mengajakku pulang.

"Kalau begitu, nikmati liburanmu. Aku akan pulang bersama dengan anak-anakku," kata Gerald pada Helena.

Perempuan itu mengangguk kecil, melirik sekali lagi ke arahku dan mengulas senyum.

"Anak yang lucu," komentarnya sebelum kami pergi.

"Terima kasih," gumamku pelan dan melewatinya, mengikuti Gerald yang melangkah pergi.

Lelaki itu tampak santai, cenderung tak terlalu ambil pusing setelah bertemu dengan mantan menantunya. Mungkin ia sudah melupakan perceraian anaknya. Mungkin juga, ia sebenarnya merasa tak nyaman tapi memilih menyembunyikannya. Kami bertiga kembali ke rumah dengan diantar oleh supir yang membawa kami ke kuil.

Sepanjang perjalanan pulang, tak ada kata yang terucap di antara aku dan Gerald. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku memikirkan sikap Helena yang terlalu tenang padahal ia sudah tahu siapa diriku. Juga, sikap Gerald yang seakan menyatakan pada Helena jika aku kini adalah anaknya. Aku tidak yakin apa artinya itu, hanya saja kuharap tak akan ada masalah serius yang datang padaku di masa depan.

Note:

Hidden story 4 sudah tersedia di karyakarsa.

Fault in LoveWhere stories live. Discover now