28

9.1K 727 11
                                    

Hari demi hari berganti. Aku tidak sadar bahwa Arsen akhirnya sudah tinggal di rumahku selama tiga bulan. Ia meninggalkan Edorra untuk tinggal denganku, kembali ke sana jika ada pekerjaan penting dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bisa ia tangani dengan menggunakan laptop atau personal tablet-nya. Kadang, aku bahkan melihatnya sedang rapat sambil menggendong Ranran.

Setiap tiga atau empat hari sekali, lelaki itu akan mengganti bunga yang ada di kamarku dan ruang tamu. Kadang, ia akan mengajakku dan Ranran pergi berpiknik bersama. Aku melihat banyak perubahan dari sikap Arsen. Bukan perubahan yang mendadak, tapi perubahan-perubahan kecil yang diusahakannya menjadi sebuah kebiasaan. Seperti dirinya yang menyapaku dengan manis setiap aku bangun tidur, atau mengucapkan sepotong kalimat cinta untukku sebelum kami berpisah untuk tidur.

Arsen tidak pernah mengeluh soal tempat tidurnya, meski aku sudah berusaha meyakinkannya agar tinggal sementara dengan Gerald. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal di rumahku. Katanya, ia lebih betah bersamaku dan Ranran. Untuk saat ini, aku bisa lega karena sedang musim panas. Namun, jika akhirnya sudah memasuki musim gugur, aku khawatir lelaki itu akan kedinginan.

"Kau sungguhan tidak mau tinggal sementara di rumah ayahmu?" tanyaku, menatap Arsen yang baru selesai membaringkan Ranran di atas ranjangnya.

Ia sedang mengusap wajah Ranran dengan lembut. Kulihat, Arsen menarik tangannya sebelum melirik ke arahku. Sorot matanya tampak penuh tanya, sekilas tampak khawatir kala beradu pandang denganku.

"Apakah keberadaanku di sini membuatmu tak nyaman?" tanya Arsen.

"Bukan begitu! Aku hanya khawatir padamu, Arsen! Kau sudah tidur di ruang tamu selama tiga bulan! Aku tidak punya cukup uang untuk merenovasi rumah dan menambah kamar sekarang," jawabku cepat, memberi penjelasan dengan kening berkerut.

"Aku baik-baik saja. Sungguh," balas Arsen. "Tidak masalah bagiku untuk tidur di ruang tamu. Anggap saja aku sekalian menjagamu dan Ranran."

Aku tersenyum geli sambil menggeleng kecil. Jujur saja, aku menyukai perhatiannya. Aku sangat menikmati semua sikap manisnya padaku selama tiga bulan terakhir. Keberadaan Arsen saja saat ini sudah lebih dari cukup untuk menenangkanku. Akan tetapi, aku juga mendapati bahwa diriku masih meragu.

Keraguan dan kecemasan itu tidak sebesar tiga bulan lalu. Namun, aku masih belum benar-benar berani mengambil keputusan untuk mempercayakan hatiku untuk Arsen lagi. Semua yang kumiliki saat ini terasa cukup. Namun, aku tak berpikir jika Arsen merasakan hal yang sama sepertiku.

Sering kulihat dirinya menatapku lekat dengan wajah gelisah. Kadang, kutangkap pula raut cemburunya setiap aku berinteraksi dengan Miro. Meski sudah berulang kali kuberitahu bahwa aku dan Miro tidak punya hubungan seperti yang ia pikirkan, ia tetap cemburu. Sikapnya mengingatkanku akan diriku sendiri, saat aku mengejar-ngejar cinta Arsen yang bahkan tak kutahu apakah ada atau tidak untukku.

Aku memandangi wajah Arsen dengan hati gelisah. Mungkin, raut wajahku sepenuhnya menunjukkan kegelisahanku. Arsen mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tanganku ringan dan segera menarik tangannya setelah tatapanku terfokus kepadanya.

"Aku sungguh tidak apa-apa, Leila." Arsen mengulang kalimatnya lagi. "Atau... jika kau begitu khawatir, bagaimana kalau kau menerimaku sebagai suamimu?"

Aku mengedipkan mataku saat mendengar ucapan Arsen. Kutatap wajahnya yang mengukir senyum tipis.

"Aku tidak berniat memanfaatkan kesempatan, tapi aku sungguh ingin menikahimu, Leila," katanya lembut dengan tatapan hanya menyorot kepadaku.

Aku mengulum bibir, melirik Ranran yang terlelap, kemudian beralih menatap Arsen. Mungkin Arsen menyadari keberatanku dalam membahas topik ini. Ia menarik napas dan tersenyum samar.

Fault in LoveDove le storie prendono vita. Scoprilo ora