Arisa diam saja. Justru karena diantar berdua sama Adli itulah --, batin Arisa.

"Aman insya Allah. Ada Adli," gumam Yunan sambil makan.

Suami yang terlalu santuy, imbuh Arisa dalam hati. Suaminya terlalu percaya dengan Adli.

Arisa mengamati putrinya yang tersipu malu. Dijamin, Elaine dalam hati senang karena akan diantar ke sekolah berdua saja dengan Adli, tanpa ada Haya bersama mereka.

"Atau Kak Arisa dan Kak Yunan mau ikut, mungkin?" tanya Adli berbasa-basi. Padahal dalam hatinya ...

Jangan ikut, plis. Jangan ikut.

Arisa menoleh ke suaminya yang duduk di sampingnya.

"Aku di rumah aja lah. Mau istirahat. Capek kemarin di pengadilan," sahut Yunan.

Ya iyalah capek. Kemarin ngomel-ngomel terus sih! pikir Raesha sambil melirik nyalang ke arah Yunan yang duduk di seberangnya.

"Ibu kenapa ngeliatin Om Yunan?" tanya Ishaq polos.

Muka Raesha merah padam. "E-Enggak! Ibu gak ngeliatin --"

Tuh 'kan. Kak Arisa ngelirik ke arahku! jerit Raesha dalam hati. Benar-benar, Ishaq. Mulutnya harus ditatar supaya gak ngomong sembarangan.

Ismail cekikikan. Yunan melirik sekilas ke arah Raesha, sebelum menundukkan pandangan. Masa' iya, Raesha ngeliatin dia?

"Kalian berangkat berdua aja, Adli. Titip Elaine, ya," kata Arisa ramah.

"Iya, Kak," sahut Adli berusaha menyembunyikan kegirangan hatinya saat menjawab. Uhuyy!! Dia mengantar Elaine tanpa ada Haya! Momen langka, ini!

Arisa diam-diam mengamati Raesha dan Yunan yang sedang meneguk minuman hangat.

Bahaya mereka kalau ditinggal di rumah. Walaupun Yunan dan Raesha tidak berbuat yang aneh-aneh, bagaimana kalau ada makhluk-makhluk ajaib yang muncul dan membuat mereka jadi --

Arisa memutuskan tidak jadi mengekori putrinya dan Adli ke madrasah. Lagi pula, kalau dia ikut Adli dan Elaine, nanti dia pulangnya gimana?

.

.

Adli berdehem. "Kamu mau dengar musik?" tanya Adli.

"Enggak, Om," jawab Elaine gugup. Pendingin mobil menyala padahal, tapi berduaan bersama Adli membuat Elaine merasa panas, entah mengapa.

Hening. Adli merasa detak jantungnya tak keruan. Haruskah ia membuka jendela kaca? Bagaimana seharusnya? Tiap berdua dengan Elaine, dia merasakan desakan aneh dalam dirinya, seolah ia tidak tahan ingin mengungkapkan perasaannya. Sabar. Sabar. Tunggu Elaine lulus madrasah. Inhale. Exhale. Inhale --

"Om sering ketemuan sama Tante Elena?"

Pertanyaan itu membuat Adli spontan bengong.

"Ketemuan sama ... Elena?" gumam Adli berusaha mencerna pertanyaan Elaine. Otaknya penuh dengan Elaine. Begitu disebut nama selain Elaine, fokusnya jadi pecah tak keruan.

"M-Maksudku, di luar kantor atau -- di luar persidangan," lanjut Elaine memainkan jemarinya gelisah.

Alis Adli bertautan. "Enggak. Kenapa aku harus ketemuan sama Elena? Meeting membahas kontrak 'kan sudah selesai. Belum ada hal yang perlu dibahas juga."

"Oh. Kupikir ... "

Adli melirik wajah Elaine yang tertunduk. Berusaha memahami arah pertanyaan Elaine tapi gagal.

"Soalnya, Tante Elena sepertinya orang yang sangat penting buat Om. Sampai masuk ke mimpi Om segala."

Mata Adli membulat mendengarnya.

"Apa?? Mimpi ... Elena?" tanya Adli membelalak.

"Iya. Aku dengar waktu itu di kamar mendiang Mbah. Om manggil-manggil nama Elena pas tidur," kata Elaine membuang muka ke arah samping kaca mobil.

Bibir Adli ternganga. Berusaha menyatukan kepingan-kepingan pertanyaan Elaine, sebelum wajahnya berubah semerah kepiting.

"B-Bukan! Bukan Elena! Itu --," ucap Adli gugup. Untungnya dia masih bisa fokus menyetir di jalan tanpa menabrak.

"Hah?" sahut Elaine dengan tampang heran.

"A-Aku ... gak sedekat itu sama Elena. Dulu pun, cuma pacaran sebentar saja. Aku gak pernah mimpi Elena sekalipun," jelas Adli salah tingkah.

Kening Elaine berkerut. Oh ya? Bukan Elena yang disebut Om Adli waktu itu?

"Yang sering aku mimpiin itu -- bukan Elena, tapi --"

Elaine terdiam melihat perubahan warna di wajah Adli. Merah sampai ke telinga.

Gimana ini? Apa sekalian saja bilang kalau aku -- pikir Adli galau.

Adli kembali fokus ke jalanan. Tidak! Dia harus menahan diri! Tahan! Jangan ngaku dulu, pokoknya!

Sekarang rona merah muncul juga di pipi Elaine. Bohong. Namanya kah yang disebut Adli saat mengigau waktu itu?? Bohong, 'kan??

Adli menelan saliva. Pikir sendiri lah, Elaine! Masa' aku harus bilang sekarang? Sekarang belum saatnya!

Adli menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Lain kali jangan berdua saja dengan Elaine. Jangan lagi.

Elaine merapatkan bibir, sebelum membuang pandangan ke luar kaca mobil.

Bohong, 'kan?? Gak mungkin Om Adli mimpiin aku! Om Adli mimpi apa tentang aku?? jerit Elaine dalam hati.

Adli terdiam menahan rasa bersalah.

Semoga dia gak tanya, aku mimpi apa! Maaf, Elaine! Mimpiku gak bener banget, deh pokoknya!!

.

.

***

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now