56 - Mata-mata

237 56 27
                                    

.

.

Memata-matai orang, sebenarnya bukanlah hal yang baik, sekalipun maksudnya baik.

.

.

***

"Tidak ada??" bentak Theo pada pemuda malang si ahli IT yang disuruh mencari data di komputer milik Johan.

Pemuda itu menggeleng. "B-Benar-benar tidak ada, Pak. Saya sudah buka satu per satu file-nya. Di inbox e-mail-nya juga tidak ada apa-apa. Hanya ada kumpulan karya lukis dan invoice pembelian lukisan digital yang dikirim dari akun toko online."

"Kamu! Bongkar semua barangnya! Dia mungkin menyimpan data itu di external hard disk atau flash disk atau apapun itu! Cari sampai ketemu!!" perintah Theo pada dua orang pengawal yang berjaga di teras.

Kedua pria itu langsung masuk ke dalam kontrakan Johan dan mengeluarkan barang-barang di dalam laci serta lemari.

"Periksa semuanya! Lemari bajunya juga! Cek bagian atas lemari! Keluarkan semua pakaiannya! Bisa jadi dia menyembunyikan laptop atau alat penyimpan memori komputer di sana!"

Barang-barang yang ada di dalam laci kerja, dikeluarkan semuanya hingga seisi rumah petak itu berantakan.

Sementara para tetangga bukannya tidak tahu. Mereka tahu, tapi tidak berani melarang karena tahu ada beberapa pria bersenjata di rumah Tyo a.k.a Johan. Entah terlibat apa kakek-kakek itu, batin mereka bertanya-tanya. Mereka bahkan tak berani melapor pada RT.

Setelah nyaris sejam, pencarian itu tak membuahkan hasil.

"Benar-benar tidak ada, Pak. Kami sudah bongkar semuanya," lapor anak buah pada Theo.

"Brengs*k!!" maki Theo sembari memukul pintu. Emosinya naik ke ubun-ubun. Pria bernama Johan yang sudah menjadi mayat itu, berkata jujur?? Data-data itu benar-benar sudah dimusnahkan? Bahkan tak ada satu pun jejak yang menunjukkan bahwa Johan dulunya adalah detektif swasta? Satupun??

Atas perintah Theo, mereka kembali ke mobil. Mobil yang paling depan, membawa Theo dan Edwin, seorang paranormal yang menolong Theo saat kesurupan.

"Aku masih tidak percaya! Data itu benar-benar dihapus! Padahal dia pasti tahu kalau data itu bisa menjadi ladang uang. Bayangkan! Aib putra angkat seorang konglomerat! Kalau dia memegang rahasia aib putra konglomerat, setidaknya dia bisa kaya raya dengan memeras keluarga Danadyaksa! Tapi data itu malah dihapus! Benar-benar bodoh orang itu!"

Pria bernama Edwin menoleh ke arah rekannya. Air mukanya masih tenang, tidak seperti Theo yang wajahnya memerah lantaran menahan emosi. Theo merasa emosinya jadi lebih mudah terpancing setelah sempat kesurupan jin gila itu.

"Mungkin konglomerat itu -- Yoga Pratama -- yang memintanya menghapus semua data. Dari informan kita, Yoga pernah menghubungi Johan untuk membuntuti kedua anak angkatnya," sahut Edwin.

"Ya. Disitulah letak kebodohannya. Johan pasti dibayar untuk tutup mulut. Tapi dia tidak cukup cerdas untuk menyadari bahwa dia bisa memeras keluarga itu berulang kali," komentar Theo sambil melipat tangan.

"Memangnya, apa yang ada dalam pikiranmu? Apa yang membuat Yoga sampai meminta detektif swasta untuk membuntuti anak-anaknya sendiri?" tanya Edwin.

Theo mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan hubungan kakak-adik angkat itu. Yunan Lham dan Raesha Akhtar."

"Rencana kita menyuap Johan sudah gagal. Terpaksa laki-laki itu kita habisi. Dari pada dia bicara ke mana-mana. Sialnya, aksi saling tembak dan kejar-kejaran mereka sempat terekam kamera CCTV. Untungnya di gang sempit tempat orang kita menembaknya, tak ada kamera. Mereka juga membereskan TKP secepat kilat sebelum warga keburu mengecek suara tembakan," ucap Edwin sebelum melengos.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now